Agasri Episode 4
Novie Purwanti
Keesokan harinya, aku membawa Emak dan Bapak ke rumah kami di kota. Mas Agas memberi Anto uang untuk mengganti genting yang sudah tak layak pakai. Sebenarnya, uang yang dimiliki suamiku itu berapa banyak, sih? Kok nggak habis-habis? Tapi aku segan menanyakannya. Kami belum sedekat itu, masih banyak pintu hati yang harus kubuka, sedikit demi sedikit.
Mungkin rejeki Mas Agas mengalir seperti air bah karena dia nggak segan-segan membantu orang dan mengeluarkan sedekahnya.
Dua hari kemudian, aku sudah membuka lagi warung penyetan. Dalam waktu hanya tiga jam, semua jualan habis tak tersisa. Pelanggan datang seperti semut menemukan gula, ramai sekali. Kami tutup lebih cepat hari itu.
Haah, enak sekali selonjoran sambil melihat acara musik dangdut.
Emak dan Bapak sampai mangap-mangap nggak percaya, mereka terlihat bahagia menghitung uang laba. Bapak bahkan mengipaskan lembaran kertas pada keringat di dahinya. Lalu dicubit Emak sambil melotot. Benar-benar deh pasangan ini. Kompak sampai tua.
“Mak, Bapak, seminggu lagi aku pindah ke rumah Mas Agas di luar kota. Jadi kalau ada yang bingung tanyakan saja, nggih.”
“Emak sudah bisa kok, Sri. Kemampuan memasakmu itu kan, menurun dariku. Rasa sambelku lebih mantap dari buatanmu. Tenang saja, emakmu ini akan menghasilkan banyak uang.” Emak menepuk dadanya, bangga.
“Nggak capek, Mak?”
“Lebih capek buruh tani, Nduk,” sahut Bapak lirih. “Kalau lihat duit, capeknya hilang. Huwahahah.” Dia tertawa terkial-kial sampai terbatuk-batuk.
Emak segera mengambilkan air putih untuk Bapak. Melihat mereka rukun, hatiku menjadi tentram.
“Mas, semoga kita bisa terus akur seperti mereka, ya.” Aku menyenggol bahu Mas Agas yang asik menonton televisi.
“Kamu dibesarkan oleh keluarga yang hebat, Sri. Makanya kamu juga tumbuh menjadi wanita kuat dan cantik.” Hidung nggak bangirku dipencet mesra. Tet tot.
Aduh, kalau begini aku jadi lapar. Ingin makan nafkah batin. Hihi.
“Mas ….” Aku mengedip-ngedipkan mata sok imut, lalu memonyongkan bibir dan melirik kamar. Mas Agas membalas menaik- turunkan alis lebatnya. Yes! Dia tanggap.
“Ah, capeknyaa … Mak, Bapak, aku mau tidur dulu, nggih.” Aku berdiri, berlagak memijiti pundak dan menggeret suamiku ke dalam kamar, “Mas Agas kuculik sekalian.”
Aku menempelkan kepala pada lengan kekar lelakiku, menciumi aroma tubuhnya yang wangi. Setibanya di kamar, segera kukunci pintu dan kudorong Mas Agas sampai terjatuh di tengah ranjang.
“Tangkap aku, Mas!”
Aku menerjang garang, siap berperang di medan juang semalaman.
***
Ayu tersenyum ramah pada beberapa pelanggan yang datang. Ia menanyakan menu yang dipesan dan dengan cekatan menyiapkan makan siang. Tubuh ramping itu bergerak lincah menghantarkan piring kayu. Aku memandangnya sambil memasukkan sambal ke dalam plastik kecil. Persiapan buat pemesan makanan yang dibungkus.
“Berapa, Bu? Penyet Ayam tiga, lele satu tambah tempe seporsi dan teh botol empat,” seorang lelaki berseragam biru mengeluarkan lembaran uang. Aku menerimanya sambil menghitung total biaya di mesin kasir. Lalu menyodorkan uang kembalian.
“Terima kasih, Pak Guru.” kataku singkat mengulum senyum.
Rombongan orang-orang tanpa tanda jasa itu meninggalkan warung. Mereka terlihat puas, terbukti dengan keringat yang menetes-netes dari kening. Merasakan ledakan kedahsyatan sambal tomat buatanku.
Sudah satu minggu warung ‘Penyetan Sri’ beroperasi. Meskipun belum banyak pelanggan yang datang, namun hasilnya cukup memuaskan. Enam puluh persen jualan habis. Lumayanlah. Sisanya bisa untuk besok lagi tapi sering juga kuberikan pada anak-anak pengamen yang sering lewat.
“Ayu, sudah jam satu lebih. Kamu salat dulu sana. Biar aku yang jaga. Aku tadi sudah salat duluan.”
“Iya, Mbak.” Ayu pergi ke lantai dua yang digunakan sebagai gudang makanan sekaligus kamarnya.
Ibu muda itu benar-benar menjaga sikapnya. Bila ketemu Mas Agas, dia hanya mengangguk hormat sambil tersenyum. Dia juga tanggap dengan tugas-tugas yang kuberikan. Mungkin karena terbiasa bekerja sejak remaja.
Mas Agas yang mempunyai ide membangun warung ini di halaman rumahnya yang luas. Dia hanya menyisakan tempat untuk jalan dan memarkir mobilnya.
Padahal awalnya, aku ingin yang sederhana saja. Tinggal memasang tenda kain dan lesehan. Tetapi pemikirannya beda. Otak bisnisnya berpikiran jauh ke depan. Aku sih, tidak masalah. Tinggal terima jadi. Semua modal dari Mas Agas.
***
“Aku akan membangun warungmu dua lantai, Sri. Lantai satu buat tempat makan. Lantai dua dijadikan gudang sekaligus tempat tidur buat karyawan. Aku nggak mau rumah kita ini kotor.”
Teringat kata-kata Mas Agas waktu memutuskan sepihak. Aku baru tahu sifatnya yang tak bisa diganggu gugat. Dia sangat protektif dengan barang-barang miliknya. Semua hal yang menyangkut penempatan ranjang, sofa, lemari sampai peralatan dapur dia yang mengatur. Tak ada tempat buatku untuk usul. Mungkin selera kami berbeda jauh. Aku sederhana, Mas Agas lumayan mewah.
Pernah aku diajak membeli gamis di sebuah butik. Mataku hampir copot melihat harganya. Mahal banget! Paling murah empat ratus ribu, itu pun nggak ada kerudungnya. Sayang sekali uang dihambur-hamburkan untuk hal sepele itu. Lagian, memakai baju murah saja aku kelihatan cantik, kok. Ehem.
Akhirnya aku tarik tangan Mas Agas keluar. Kupaksa dia mengantarkan ke pasar. Lebih cocok dan bisa menawar harga. Dapat banyak lagi, itu yang kupikirkan. Namun apa jadinya, Mas Agas malah marah-marah. Dia tak berkata apa-apa sih, hanya mobilnya dibawa pulang lagi. Hari itu aku gagal mendapat baju baru dan dicueki semalaman.
Sampai sekarang Mas Agas belum mengajak membeli baju lagi. Ah, ngenes. Tahu begitu aku akan mengambil beberapa setel. Menyesal selalu belakangan.
Diperlukan waktu dua bulan untuk membangun warung. Mas Agas melarangku kerja bila dia sudah pulang ke rumah. Nggak boleh ngurusin warung lagi ketika bersamanya. Akhirnya diputuskan untuk berjualan pagi sekitar pukul sembilan sampai menjelang Magrib. Pangsa pasar utamanya adalah siswa, karyawan dan guru sekolah tepat di depan warung. Juga para tetangga.
Ayu kuhubungi setelah semuanya siap. Dia datang dengan membawa ransel berisi pakaian yang warnanya sudah pudar. Kasihan sekali melihatnya. Wanita itu menolak ketika kutawari baju-bajuku yang masih bagus.
“Wegah, Mbak. Aku bisa kelelep pakai baju Mbak Sri. Kebesaran. Hahaha ….”
Benar juga, sih. Body kami kan jauh berbeda. Ayu juga belum mau untuk memakai jilbab. Dia suka memakai kaos dan celana jeans seperti Sani. Aah, jadi kangen anak itu. Betah sekali dia di rumah Ustaz Salam. Sampai jarang ngabari emaknya ini. Kalau pulang mau kujitak itu anak.
Keributan di luar mengakhiri lamunanku. Tiga orang lelaki berkaus hitam gambar tengkorak bajak laut masuk ke warung sambil misuh-misuh. Mereka mendatangiku. Melotot dan berkacak pinggang.
Ada apa ini? Siapa mereka?
“Siapa pemilik warung ini!” pria berambut gondrong gimbal bertanya kasar. Kedua temannya bersiri di belakang.
Aku keluar dari meja kasir. Menahan dag dig dug jantung. Sempat kulirik beberapa pelanggan yang menatap penasaran.
“Aku, Cak. Ada apa ini?”
“Bu, setiap usaha yang ada di wilayah ini harus melapor pada Cak Kodrat. Sepertinya sampean belum laporan.”
“Siapa Cak Kodrat itu?” tanyaku sok bingung. Aku menguatkan diri berbicara dengan preman-preman ini.
“Dia yang menangani keamanan daerah ini.”
“Tapi aku sudah lapor pak RT, RW dan membayar biaya keamanan di sana, Cak.”
Lelaki itu misuh keras. Menggelegar. Aku sampai terlonjak. Aduh, sungguh menyeramkan.
“Sampean itu kuberi tahu, Bu! Kalau kepingin warungmu utuh segera lapor ke Cak Kodrat. Kalau enggak, kami tak menjamin. Mengerti!!” Lelaki itu menggebrak meja, membuat benda-benda di atasnya sedikit terpental.
Dia memberi kode kepada temannya untuk keluar. Mereka pergi dengan ribut. Sumpah serapah keluar dari bibir-bibir hitam menjijikkan.
Aku terduduk lemas, menghela napas, menormalkan detak jantung yang seperti hendak melompat keluar. Ayu datang membawa segelas air putih. Kuambil gelas itu, namun merosot. Tangan ini bergetar hingga tak sanggup menggenggam apa pun. Ayu membantu menyorongkan gelas ke mulutku.
“Terima kasih, Ayu. Aduh, aku takut sekali. Kepalaku pusing.”
Aku memegang kepala yang tiba-tiba berdenyut setelah meneguk air.
“Mau kupijit, Mbak? Supaya agak mendingan.” jemari Ayu memijit pelipisku perlahan. Rasanya sedikit enteng. Aku memejamkan mata merasakan pijitan itu. Haah, enak sekali.
“Kamu berbakat jadi tukang pijit, Yu.”
“Ah, Mbak Sri ini bisa saja. Aku terbiasa mijitin Ibu dan Bapak yang capek habis dari sawah.”
Jemari Ayun turun ke bahu, menekan otot yang ternyata sakit. Aku teringat almarhum Mas Bejo yang dulu suka memijit sampai mata ini terpejam. Andai Mas Agas juga seperti Mas Bejo. Aah, entah kenapa aku kangen dengan almarhum suamiku itu.
“Ayu, tolong kamu jaga warungnya, ya. Aku mau istirahat.”
“Iya Mbak Sri. Tenang saja.”
Semangat rasanya anjlok. Hatiku terasa hampa, sepi. Saat-saat seperti ini aku butuh teman bicara. Kaki ini gontai keluar dari warung. Membuka pagar hitam dan masuk rumah dengan terseok.
Aku merebahkan diri dan menekan tombol panggilan di ponsel ketika sudah sampai kamar. Spring bed ukuran besar memantulkan bobot tubuh. Tak bisa memberi kenyamanan.
Rupanya gawai Mas Agas tak bisa dihubungi. Aku terus mencoba menelpon sampai sepuluh panggilan. Nihil, tak ada yang mengangkat. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Aku meringkuk menutupi wajah dengan kedua telapak tangan.
“Mas Bejo ….”
Lalu menangis terisak-isak.
***
“Bu Nurul, tadi ada beberapa preman ke warung. Pakai gebrak-gebrak meja kek di sinetron. Ngeri banget, Bu. Mereka menyuruhku melapor ke Cak Kodrat. Sebenarnya dia itu siapa?” Aku mengaduk gelas, menenggak es degan dengan rakus. Manis dingin membasahi kerongkongan.
Tidur selama satu jam lumayan bisa membuat badanku segar lagi. Pusing berdenyut-denyut sudah minggat. Ilham datang tiba-tiba tanpa diduga. Segera aku meloncat dari tempat tidur. Memacu kaki bersandal jepit hijau menuju penjual es degan langganan yang berjarak beberapa puluh meter.
Bu Nurul duduk di atas kursi plastik. Dia menatapku dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Begitu terus sampai musim duren berubah jadi musim rambutan. Ealah.
“Sampean itu kurang opo to, Ning. Punya suami kaya, ganteng kok yo susah-susah jualan. Kalau jadi aku, tinggal ongkang-ongkang kaki menikmati gaji suami.”
“Nggak enak ngganggur, Bu. Bawaannya pingin makan aspal. Sumpek. Hahaha.” Aku tertawa garing, dasar ibu-ibu kepo! “Siapa, sih, Cak Kodrat itu?”
“Semua pedagang kawasan sini tahu siapa dia, Ning. Ia penguasa sebenarnya. Nggak ada yang berani menantangnya karena dulu pernah membunuh orang. Setelah keluar penjara nggak tobat, malah menjadi preman kampung.”
“Lho, aku kok nggak tahu, Bu?”
“Kamu kuper, Ning. Nggak gaul.”
“Di rumahku dulu aman, Bu. Nggak ada preman. Makanya aku kaget ketika jualan di sini.”
Wanita berusia awal empat puluhan itu mendecakkan bibir tipis bergincu oranye, membuat suara seperti cicak ingin kawin.
“Di sini bayarnya dua kali, Ning. Tiap akhir bulan ngisi kas karang taruna yang dibina RT dan kas paguyuban dagang yang sekarang dikuasai Cak Kodrat.”
“Owalah, Bu. Apa nggak ada yang mengeluh? Kasihan para pedagang kecil.”
“Nggak ada yang berani, Ning. Tapi kalau suamimu yang protes aku yakin Cak Kodrat mau mendengarkan.”
“Kenapa, Bu?”
Wanita itu baru mau menjawab ketika dua motor berhenti di depan lapaknya. Mereka pesan beberapa bungkus es degan. Bu Nurul segera sibuk dengan aktivitasnya. Aku undur diri, tak tahan dicueki. Lebih baik membantu Ayu jualan di warung.
Bersambung ….
Novie Purwanti, penulis adalah seorang guru taman kanak-kanak yang menyukai dunia literasi. Medsos yang aktif dan bisa dihubungi adalah FB Novie Purwanti.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita