Derai Maya Episode 6
Novie Purwanti
Gadis bergamis bunga-bunga kecil merah muda melangkah menuju ruang rawat inap. Hijab putih lebarnya melambai tertiup sepoi sore. Masih ada waktu tiga puluh menit sebelum jam besuk berakhir. Tujuan Syita jelas, Kamar Bougenville. Di sanalah Rere terbaring lemah.
Sepatu karet mendadak terasa berat, Syita mulai melambatkan kakinya. Ia duduk di kursi besi, memegang dada. Detakan liar terasa di telapak tangannya. Gadis itu membuka tas, mengeluarkan air mineral. Mulutnya rakus meminum tetes demi tetes sampai habis. Berharap bisa meredakan gejolak di dalam sana. Botol bening itu dilemparkan ke tempat sampah tepat di sampingnya.
Gawainya bergetar. Syita mengambil dari saku gamis. Membaca beberapa pesan masuk secara beruntun.
Syita, kamu sudah sampai mana? Rere dari tadi menunggu. Jam kunjungan sudah hampir habis.
Syita, cepatlah ke sini. Rere histeris. Dia ditenangkan oleh perawat. Disuntik entah apa.
Sekarang Rere sudah tidur.
Syita menggigit bibir bawah. Bulu mata lentiknya mengerjap, membayangkan sosok yang dulu pernah menguasai jiwa raganya. Ingin sekali gadis itu berlari ke dalam kamar, memastikan sendiri kondisi Rere.
Ia membaca pesan dari Ustazah Zulfa.
Selalu menyebut Asma Allah dalam setiap kesulitan. Percayalah, cahaya itu akan datang dari arah tak terduga.
Bibir merah muda alami itu berkomat-kamit.
“Yaa Ghofuur, Yaa Haadi. Ampuni hamba, Ya Allah. Berikan petunjuk-Mu.”
Gadis itu berdiri, wajahnya menunjukkan kebulatan tekad. Dengan tenang, langkahnya masuk ke dalam kamar. Dia mendorong pintu, mencari ranjang urutan nomer dua dari depan.
“Assalamualaikum,” lirihnya sambil membuka kain penutup.
Seorang gadis berjaket jeans belel menyambut Syita. Mata Nadin melebar melihat penampilan teman lamanya. Terbata, ia menjawab salam.
“Syita, kamu benar-benar berubah!” Nadin menjabat tangan erat.
Syita melihat tubuh kurus yang sedang tertidur pulas. Selimut bergaris hitam putih menyelimuti area pinggang ke bawah. Napas Rere teratur, bibir keringnya sedikit terbuka.
“Kenapa Rere bisa sampai seperti ini, Nadin? Kukira dia bahagia dengan pasangan bulenya dulu.”
“Ceritanya panjang, Syi, tak cukup dua hari untuk menceritakan semuanya. Intinya Rere ditipu sama orang itu. Dia dijadikan simpanan dan dijadikan pelacur yang melayani wanita-wanita belok.”
“Rere bukan tipe orang yang diam saja ketika ditindas.”
“Dia menghilangkan mobil mewah pasangan bulenya, Syita. Itu digunakan untuk menjerat Rere. Mereka mengancam akan membeberkan aib kepada keluarganya di kampung kalau tidak mau menggantinya. Setelah lunas, Rere melarikan diri. Dia meminta tolong aku untuk mencarimu. Dia ditemukan menyayat pergelangan tangan di kamar kostnya. Kondisinya benar-benar berantakan.”
“Jadi, Rere bukan … pasanganmu?”
“Ih! Aku masih doyan cowok, kali! Aku membantunya karena dulu Rere sering menolong. Sebenarnya dia gadis yang baik, sayang nasibnya tragis.”
Syita menatap lembut wajah pucat itu. Ternyata, rasa yang selama ini bergelayut membebani hati telah pupus. Ketika melihat Rere lagi, nyaris tak ada hasrat sedikit pun. Dia hanya merasa kasihan, gadis itu tulus mendoakan Rere supaya bisa menemukan jalan menuju cahaya, seperti dirinya.
“Nadin, aku sudah menepati janji menjenguk Rere. Kalau dia bangun nanti, tolong sampaikan maafku padanya. Setelah ini, apa pun yang terjadi pada Rere tidak ada sangkut-pautnya denganku.”
Nadin mengernyitkan alis. “Tega sekali kamu berkata seperti itu, Syita. Apa kamu nggak ingat telah banyak dibantu Rere? Mana balasanmu?”
“Aku sudah meninggalkan dunia kelam itu, Nadin. Aku nggak mau terhubung dengan apa pun dan siapa pun yang membuat hidupku hancur. Menolong? Rere menolongku? Yang ada dia meminta imbalan, aku dijadikan budak napsunya saja. Kamu juga tahu sendiri, kan, Din?”
“Tapi, aku nggak sanggup menanggung biaya rumah sakit ini sendiri, Syita.”
Syita melengos. Dia mengambil amplop dari dalam tasnya. Meletakkan ke dalam genggaman Nadin.
“Ini ada uang dua juta. Hanya ini yang aku punya, Din. Maaf tidak bisa membantu banyak. Aku permisi dulu, Assalamualaikum.”
Syita tak menunggu jawaban salam dari Nadin. Setengah berlari keluar dari ruangan, hampir saja menabrak seorang perawat yang lewat.
Lorong berkeramik putih menggemakan suara decitan sepatu. Syita langsung menuju parkiran. Pikirannya berkecamuk. Antara sedih dan bersyukur. Syita telah menerima segala masa lalu gelapnya. Ia memutuskan untuk jujur kepada Aris. Sebelum janur kuning melengkung. Sebelum janji suci terucap.
Gadis itu siap dengan segala risikonya. Ia mengeluarkan benda pintar, menulis sesuatu.
Mas, aku ingin berbicara secara pribadi. Bisakah?
Jempolnya lincah menari pada layar ponsel.
Bisa, kapan?
Sekarang.
Kamu di mana? Sebentar lagi aku pulang kerja.
Aku di Masjid Agung. Kutunggu kamu di sana.
Iya.
***
Aris mengusap wajahnya. Nyaris tak percaya dengan apa yang tertulis di layar ponsel. Syita ingin bertatap muka secara pribadi? Apa yang akan gadis itu bicarakan? Lelaki itu sangat penasaran. Ia segera mematikan komputer daan merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya.
“Mau pulang, Pak?” Suara jernih mengagetkan Aris.
Setiap kali OB baru itu menyapa, jantung seakan lepas dari cengkeraman otot.
“Iya, ada urusan.”
“Biar saya saja yang merapikan meja Bapak.”
Yatno tersenyum, memperlihatkan dua ceruk kecil di pipinya. Gigi putih bersih berderet rapi.
“Baiklah, jangan membuang satu kertas pun, ya. Kamu letakkan saja di atas meja saya.”
Aris mengambil ransel merek ternama. Ia tidak suka memakai tas koper, menurutnya tidak praktis dan ribet. Aris lebih suka tas punggung yang ringkas dan bisa memuat banyak barang.
“Sebentar, Pak. Emak menitipkan sesuatu buat Bapak.”
Yatno memberikan kresek putih pada Aris. Pada saat menerimanya, jemari mereka bersentuhan. Hal itu mengirimkan sengatan listrik pada Aris. Tak sadar ia menggosokkan tangan pada belakang celana, berusaha menghalau perasaannya.
“Kebetulan rambutan depan rumah berbuah lebat. Emak menyuruh saya memberikan sebagian kepada Bapak, sebagai ucapan terima kasih telah menerima saya bekerja di sini.”
“Iya, terima kasih kembali. Saya permisi dulu.”
Aris memasukkan kresek ke dalam tasnya. Lelaki itu melangkah keluar, berpamitan dan menjabat tangan semua rekan kerja berjenis kelamin sama. Setelah check clock, Aris segera meluncur ke Masjid Agung menggunakan motor bebek hitam kesayangannya.
***
Masjid megah berkubah biru langit berdiri dengan gagah. Menaranya menjulang tinggi lebih dari 20 meter. Sinar mentari sore membiaskan cahaya, menyinari setiap manusia yang berada dalam kekuasaannya.
Aris menuju tempat wudu pria, dia mensucikan diri lalu salat sunnah dua rakaat di dalam rumah Allah. Setelah itu Aris menengadahkan tangan, berdoa. Ia memohon agar apa pun yang akan terjadi setelah ini, bisa melewatinya dengan hanya berpegangan pada tali Sang Penguasa Semesta.
Ponsel bergetar, Aris membukanya.
Aku ada di sebelah pintu masuk dekat pancuran air.
Dia mematikan gawainya. Menyandang tas dan melangkah menuju tempat janjian. Lelaki itu melihat seorang gadis berhijab lebar duduk bersila. Punggungnya menyandar pada tembok putih. Matanya menatap lurus ke depan. Ia tidak menyadari kalau Aris sudah berada di sebelahnya.
“Assalamualaikum, Syita.”
Ucapan salam membuyarkan lamunan Syita. Ia tergagap menjawab. Spontan gadis itu bergeser, membuat jarak selebar dua meter.
Aris duduk sambil memangku tasnya. Wajah bersih itu menatap lantai marmer yang terasa dingin menembus celana kain yang dipakainya. Semilir angin membuat ujung hijab Syita berkibar.
“Ada apa? Apa yang ingin kamu bicarakan?”
“Sebelumnya aku ingin minta maaf dulu padamu. Sebenarnya aku takut menceritakan semua ini. Takut mengecewakan keluargaku dan … kamu.”
Syita memilin ujung hijabnya. Kepalanya menoleh ke arah kiri, melihat pasangan yang riuh ramai bercanda dengan kedua buah hati mereka.
Aris menebak-nebak. Apakah mungkin Syita akan jujur tentang masa lalunya? Sejujurnya, Aris sendiri tidak tahu harus bersikap bagaimana bila hal itu terjadi.
Lelaki itu memejamkan mata. Memohon petunjuk.
***
Aris dan Syita memandang air mancur di kejauhan. Gemerciknya membuat hati Syita yang bergejolak sedikit teredam. Ia meremas tangan hingga rasa sakit menjalar. Tak memedulikan sapuan ekor mata Aris yang sempat mengabadikan sikap canggung calon istrinya itu.
Kalau memang kejujuran harus diucapkan saat ini juga, gadis itu sudah siap.
“Maaf, aku memanggilmu ke sini. Aku mau bercerita tentang masa laluku. Sebelum kita melangkah lebih lanjut.”
“Kalau kamu belum siap, aku sanggup menunggu.”
Syita mengela napas. Sekejap dia memandang wajah bersih di sampingnya. Namun cepat-cepat ia membuang muka.
“Tidak apa-apa. Aku sudah siap dengan segala risikonya dan apa pun keputusanmu setelah ini. Sebenarnya … aku … aku dulu pernah bekerja di club malam.”
Syita menunggu tanggapan, tapi pemuda di sebelahnya tampak tenang dan menunggu.
“Di sana aku bertemu dengan seorang gadis yang menjerumuskanku di lembah hitam. Beberapa tahun kami menjalin hubungan, sampai akhirnya dia meninggalkanku. Untung saja Ustazah Zulfa datang menolong. Beliau membimbing dan menyemangati ….”
Syita tak sanggup meneruskan ceritanya. Lidah gadis itu mendadak terasa kelu. Bayangan hitam terpampang jelas, ia menggelengkan kepala mencoba menepisnya dari ingatan.
“Sekarang terserah kamu, mau melanjutkan hubungan ini atau tidak.”
Aris menggeser duduknya, sedikit mendekati Syita. Ia tak menyangka gadis itu begitu nekat, tapi Aris tidak terlalu terkejut karena ia sudah tahu. Lelaki itu juga akan mengambil kesempatan, jujur kepada Syita.
“Aku memilihmu karena Allah memberi petunjuk lewat istikharah berulang. Bagaimanapun masa lalumu, aku menerima semuanya. Sebab, masa laluku juga suram. Apa kamu mau mendengar?”
Syita mengangguk samar. Percuma saja, sebab Aris tak pernah menoleh lagi kepadanya. Mata lelaki itu terpaku pada percikan air yang menyerupai uap.
“Sejak kecil aku merasa ada yang beda, tak pernah tertarik lawan jenis ….” Belum selesai Aris berbicara? Syita menyela cepat.
“Apa kamu gay?”
Aris terkejut, spontan dia menoleh pada Syita. Begitupun gadis bertahi lalat itu. Pandangan mereka bertemu sejenak sebelum beralih lagi ke seluruh penjuru bangunan.
“Oh, itu … aku tidak sampai berzina.” Aris berkata gusar, “sejujurnya aku juga tak yakin bisa menjalankan tugas sebagai suami yang baik. Jadi, apa kamu mau meneruskan pernikahan ini, Syita?”
Syita tertawa miris, ia menangkupkan jemarinya di bibir. Tertawa sambil menangis, itu yang sekarang dilakukan Syita. Perasaan campur aduk menderanya. Sedih, senang, kecewa, ketakutan menyatu sempurna. Cairan bening mengalir dari sudut mata, cepat-cepat ia usap dengan ujung hijab.
“Takdir macam apa ini, Mas? Mungkin kita memang berjodoh.”
Aris ikut tertawa. Entah menertawakan apa.
“Apakah kamu mau mendampingi pria malang ini, Syita?”
“Insya Allah, Mas. Aku akan belajar menjadi istri yang baik, semata-mata hanya karena Allah. Karena sangat susah bagi kita untuk mencintai secara lahiriah. Hanya kebaikan saja yang akan menyatukan hati kita, Mas.”
“Iya, Syita. Aku juga akam berusaha mati-matian.”
“Jangan, Mas. Berusaha hidup-hidupan saja.”
Mereka menertawai hal yang tidak lucu, tanpa menyadari bahwa saat itu telah tertanam satu titik kecil di dalam hati keduanya.
“Sebentar lagi magrib, aku sekalian salat di sini.” Aris berdiri, menepuk kakinya dari debu. “maaf, permisi dulu mau ambil air wudu.”
“Iya, aku juga. Terima kasih untuk hari ini.”
“Sama-sama.”
Kedua orang itu pergi ke arah berlawanan, tanpa saling menoleh. Wajah keduanya diliputi senyum. Harapan mekar, rasa syukur menguasai. Mereka hanya ingin merajut rumah tangga, meski tanpa cinta. Untuk saat ini.
Tetapi bukankah cinta itu luas? Bukan hanya sekedar kenikmatan organ kelamin semata.
Mereka ingin menyingkap tentang cinta sebenarnya. Bersama-sama, salung bahu membahu.
***
Acara akad nikah sudah selesai tiga jam lalu, berjalan dengan lancar tanpa kendala. Perjanjian berat itu dilaksanakan di depan rumah Syita. Halaman luas berubah menjadi tenda pengantin bernuansa biru.
Saat ini, Syita dan Aris tengah duduk di atas pelaminan. Para tamu undangan sudah banyak berkurang. Dua orang fotografer asik mengambil gambar kedua mempelai yang sama-sama canggung. Mereka duduk setegak batu karang.
Mereka sibuk memberi aba-aba pengantin untuk bergaya sesuai arahan. Meskipun membutuhkan waktu lama, akhirnya beberapa foto bagus berhasil didapat.
“Dik, sudah masuk waktu zuhur, acaranya sudah selesai, kan? Aku mau salat dulu,” ujar Aris ketika melihat fotografer mulai merapikan peralatan mereka dan suara musik dihentikan.
“Kayaknya sudah selesai. Aku juga gerah dengan baju pengantin ini. Sumuk, berat. Sebentar kutanyakan Ibu dulu.”
Syita berdiri, mengangkat gaun pengantin warna senada dengan tenda. Ia mendekati ibunya yang sedang asyik berbincang dengan tamu. Syita berbisik pelan.
“Ibu, Mas Aris mau salat. Apa acaranya sudah selesai?”
“Sudah, Nduk.”
“Kalau begitu, aku juga mau ganti baju, nggih?”
Wanita paruh baya itu mengangguk. Syita tersenyum lebar dan memberi tanda berupa anggukan kepala pada Aris di atas kursi pelaminan. Lelaki itu turun, Syita ingin menggoda suaminya. Ia mengulurkan tangan di bawah tangga.
Aris menerima uluran tangannya. Dengan gagah, ia turun tangga dibantu Syita.
“Terima kasih, Dik. Ternyata kamu romantis juga.”
“Aku hanya tidak mau kamu jatuh, Mas.”
Mereka saling menatap, tak ada getar cinta di dalamnya. Yang ada hanya perasaan saling mengasihani nasib buruk yang akan selalu menghantui. Bisakah itu disebut cinta?
“Aku akan berusaha menjadi istri terbaik, Mas. Kuharap kamu juga.”
“Tentu saja.”
“Ayo, Mas. Kita salat berjamaah.”
“Ayo, Dik.”
Syita melepaskan tangannya dari genggaman Aris, beralih pada rok pengantin yang menjuntai. Ia mengangkat kain itu agar tidak terinjak. Ketika gadis itu hendak melangkah, suara teriakan mengagetkannya.
“Syita!”
Syita menoleh. Ia sangat mengenal suara itu.
“Rere ….”
Seorang gadis jangkung berlari menuju pengantin wanita. Keringat menetes dari pelipisnya. Tepat di belakangnya, Nadin berjalan cepat. Wajahnya muram.
Syita membeku. Tak menyangka seseorang yang tak ingin dikenang dan ditemui dalam kehidupan malah datang pada pesta pernikahan.
Tanpa rasa malu, Rere memeluk erat tubuh Syita. Gadis itu menangis, suaranya menyayat hati. Dia mengguncang bahu Syita yang lunglai.
“Syita, kumohon … jangan lakukan itu. Aku minta maaf, maafkan aku, Syita ….”
Punggung Rere berguncang. Semua orang yang ada di sana melihat kejadian dengan penasaran. Aris mengernyit, menerka siapa gadis kurus yang histeris sambil mendekap istrinya.
“Rere, sadarlah! Aku sekarang sudah menikah.”
“Pernikahan akan menghancurkanmu, Syita. Percayalah! Saat suamimu tahu borok terpendam, maka ia akan mencampakanmu begitu saja.”
“Aku sudah bercerita semuanya, Rere. Suamiku menerima apa adanya.”
Rere membeku. Ia melepaskan pelukannya. Menatap tajam gadis berbaju pengantin itu. Mencari kejujuran dalam manik hitamnya.
“Apa kamu gadis masa lalu istri saya?” Aris merangkul bahu Syita, memberinya perlindungan.
Kedua orang yang tingginya hampir sama itu saling menantang. Rere mengangkat dagunya, tak mau kalah. Aris semakin mempererat rangkulannya.
Bersambung ….
Novie Purwanti, penulis adalah seorang guru taman kanak-kanak yang menyukai dunia literasi. Medsos yang aktif dan bisa dihubungi adalah FB Novie Purwanti.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita