Kisah Tiga Wanita

Kisah Tiga Wanita

Kisah Tiga Wanita

Terbentang jarak antara kau dan aku. Sebuah meja lingkaran dengan dua buah americano yang tak lagi panas. Aku menggeser amplop itu padamu. Membuat wajahmu makin masam.

“Luke, bukannya kau sudah janji akan datang ke pernikahanku. Apa sesulit itu?” aku mengawali percakapan, mengesampingkan getir yang terasa di mulut.

“Luce, aku tidak bisa. Menyaksikan kau berjalan di altar. Di sana mencoba membangun rumah tangga dengan seseorang yang sama sekali tidak mencintaimu.  Aku tidak pernah berjanji Luce, kau yang menyimpulkan seperti itu.” ia menjawab. Yang aku yakini dia juga menyimpan getir itu di sana. Bukan hanya di mulut, tapi juga hatinya.

“Cinta seperti sebuah biji Luke, semakin sering kau siram dan kau rawat. Ia akan tumbuh juga. Bukannya cinta juga seperti itu. Aku yakin dia akan mencintaiku suatu saat nanti,” mencengkram ujung mantel di balik meja, aku membual. Mana bisa aku jatuh cinta pada orang lain selain kau Luke.

“Luce, pernikahan bukan hal yang mudah. Terlebih lagi dia bukan orang yang tepat untukmu.”

Menyesap kopi yang telah sepenuhnya dingin, aku mencoba membuang rasa itu. Tapi pahitnya kopi tak membuat rasa getirnya mereda.

“Lalu Luke, menurutmu siapa orang yang tepat untukku?” pertanyaan itu menguap di udara. Dapat kulihat napas pria itu tertahan di tenggorokan. Dia tak akan berani menjawab. Pun jika ia menjawab, semua telah terlambat.

“Hanya aku yang tepat untukmu Luce.” Rahangnya mengeras. Dia menjawabnya dengan satu tarikan napas. Tapi mengapa Luke? Kenapa tak dari dulu?

“Istrimu sedang hamil Luke, jangan bercanda seperti itu kepadaku.” menundukkan wajah kumainkan cangkir kopi untuk mengalihkan perhatian.

“Itu bukan anakku,” ia menjawab dengan tegas. Tak ada keraguan padanya.

“Sebenci itukah kau padanya Luke? Dia sangat mencintaimu. Dan kau memberinya racun sebagai balasan cinta.”

“Bukankah itu berarti kita sama Luce? Aku mencintaimu dengan segala yang aku punya. Dan kau memberikan undangan pernikahanmu sebagai balasannya. Itu berarti kita seri.” Ia menyeringai, mengulik luka lama yang membekas dihatinya.

“Tapi kita adalah kakak dan adik Luke Winston.”

“Kita hanya dua anak dari panti asuhan yang berbagi nama belakang sama karena diadopsi orang yang sama Lucy Winston! Kita tak punya hubungan darah! Apa salah untukku mencintaimu?” Ia menggebrak meja. Membuat berpasang-pasang mata mencuri pandangan pada kami.

“Tapi ayah dan ibu tak ingin kita bersatu Luke, tolong pahami itu.” Aku tak sanggup menatap dirinya yang begitu terluka. Ah, seandainya kami diadopsi dua orang yang berbeda. Maka akan lain cerita. Maka tidak ada seorang adik perempuan yang diam-diam mencintai kakaknya. Jika ia mengatakannya sejak kami masih di pantai asuhan, aku bisa kabur dan mencari orangtua lain. Dan bukannya orangtua yang sama dengannya.

“Cukup Lucy, aku lelah denganmu. Aku akan datang, tapi jangan pernah berharap aku akan memberikan restu pada kalian.” Ia mengambil undangan dengan penuh amarah. Ia lantas berdiri. Meninggalkanku yang tak mampu untuk berkata-kata. Bahkan sekadar mengucapkan terima kasih karena ia bersedia datang. Justru ketika ia semakin menjauh, aku menenggelamkan diri pada kedua tangan di meja. Menangis sesenggukan.

***

Satu potong tiramisu telah tandas, hormon kehamilan membuatku tidak bisa mengerem napsu makan. Bersandar pada bahunya yang kuat, aku merasa hidup.

“Mau potongan kedua?” Ia mengusak kepalaku lembut. Mata kami saling bersirobok.

“Tidak ah, aku takut jadi gemuk. Seharusnya kau tidak bawakan aku tiramisu tadi. Bawakan aku sekeranjang penuh brokoli saja.”

“Wajar ‘kan wanita hamil gemuk. Bukannya kau semakin cantik jika gemuk. Aku kangen pipi gembilmu, ke mana hilangnya mereka setelah kau diet dengan makan brokoli-brokoli rebus itu?” Ia tak pernah gagal membawaku pada awang-awang.

“Kalau begitu besok bisa bawakan aku tiramisu lagi?” Aku bersandar manja pada tubuhnya. Dan ia tak segan-segan menghadiahkan kecupan-kecupan kecil di bibir.

“Ah, aku lupa. Apa suamimu pulang cepat hari ini?” Ia menghentikan ciumannya. Pertanyaan darinya membuatku terbentur pada realita. Aku dan dia bukanlah apa-apa selain pendosa, dengan bercinta tidak dalam ikatan pernikahan. Kami berselingkuh.

“Yah, dia bertemu dengan adiknya. Adik yang sangat ia cintai.” Penekananku pada kata cinta membuat ia tersenyum sinis.

“Julia, aku tidak tahu secantik apa dia. Tapi aku berterima kasih padanya, karena dia telah membuat suamimu tergila-gila. Hingga dia tak sadar kita sampai sejauh mana.” Tangannya beralih pada gundukan di perutku.

“Leon, haruskah kita lari saja? Aku sudah tidak tahan hidup dengan pria yang tidak mencintaiku. Aku ingin kau saja yang ada dihidupku.” Aku menelusuri rahangnya yang terpahat sempurna, membawaku pada sebuah kecupan di ujung bibirnya.

“Ya Julia, inilah yang selama ini aku nantikan darimu.” Ia memangkas jarak di antara kami. Aku tak keberatan jika harus berpisah dengab suamiku. Toh, sejak awal cintaku tak pernah bisa mengetuk pintu hatinya.

***

Aku terpaku di tempatku berdiri. Ia memandangku dengan senyuman di balik lensa kameranya.

“Elsa, kau harus tersenyum jika aku membawa kamera. Senyumanmu harus diabadikan karena kau jarang sekali tersenyum.” Ia tak pernah gagal membuat ujung bibirmu terangkat membentuk senyuman.

“Calon pengantin kita sedang senang rupanya. Bisakah kau tidak menghalangi jalanku?” Aku menyilangkan tangan di depan dada. Dan ia menurunkan kamera sembari menunjuk penjual permen kapas dengan dagunya.

“Asalkan kau mau mentraktirku itu.”

“Kamu sangat kekanakan Yeoreum. Baiklah, kebetulan aku juga sedang ingin menikmati cheating day di cuaca dingin seperti ini.”

Selagi dia memesan dua buah permen kapas, aku menerima panggilan video dari putriku Aimee. Satu-satunya alasan untukku tetap hidup dan berjuang mengeruk pundi-pundi uang.

Mommy, kalau liburan nanti aku mau pergi ke rumah Papa. Kita sudah lama tidak liburan ke sana. Aimee kangen.” Bibirnya mengerucut meminta dicubit.

“Tentu saja, kalau papamu tidak sibuk, Sayang. Nanti kita ke sana saat musim semi untuk melihat bunga Sakura ya.” Aku melambaikan tangan padanya sebagai akhir obrolan kami.

Foto putriku, menghiasi layar utama ponselku. Putriku Aimee, ia mewarisi mataku yang berwarna keabuan. Wajahnya adalah perpaduan antara ras kaukasoid dan oriental khas Asia Timur. Ia adalah perpaduan sempurna antara aku dan papanya. Seandainya saja kami masih bersama, maka tidak ada yang bisa menggantikan kebahagiaan kami. Hanya karena ia bekerja sebagai freelancer, orangtuaku memaksa kami bercerai. Dengan dalih gajinya tak akan bisa menghidupi aku dan Aimee. Padahal dia adalah pria paling baik yang pernah aku temui.

Pria yang lebih muda dariku satu tahun. Pria yang memiliki semangat musim panas yang tak pernah padam. Seperti arti namanya, Yeoreum ‘untuk musim panas’ dalam bahasa Korea.

“El, aku rasa kita harus rujuk. Aku sudah punya pekerjaan tetap sekarang. Orangtuamu tidak akan keberatan lagi untuk menerimaku.” Ia selalu berujar sesuka hati. Aku selalu membenci tabiatnya itu, tapi untuk sekarang aku menyukainya.

“Bagaimana dengan calon istrimu?” aku bertanya, menatap lurus pada matanya.

“Aku akan membatalkan pernikahan kami. Hari ini juga, setelah aku menyadari bahwa aku sangat mencintai kalian berdua. Hingga menembus jarak ribuan kilo dari Korea hanya untuk menyusulmu dan Aimee.” Ia mengulurkan padaku permen kapasnya.

“Yeoreum, itu berarti kau harus berurusan lagi dengan ayah dan ibuku. Apa kau tak lelah pada mereka?” Aku menyambut uluran permen kapasnya.

“Demi kau dan Aimee, apa pun akan aku lakukan. Bahkan jika aku harus berlari telanjang di sini.” Sebuah cincin bertabur berlian meluncur dari gagang permen kapasnya. Mendarat pada telapak tanganku.

“Elsa, maukah kau sekali lagi memakai nama Park di belakang namamu?” Sebuah lamaran yang sangat aku nantikan. Tanpa menjawab, aku segera memeluknya.

“Kau sudah tahu jawabannya bodoh!”

Tak membalas pelukanku, ia justru berlari-lari. Mengekspresikan kegembiraannya dengan memeluk orang-orang lain di taman sambil berkata, “Dia menerima lamaranku!”

Aku membuka ponsel, tak ingin menikmati kebahagiaan ini sendiri. Membuka aplikasi pesan aku menulis sesuatu pada grup favoritku. Grup dengan tiga orang wanita penyuka makanan manis.

***

Cotton Candy : Tebak siapa yang baru saja dilamar teman-teman?

Tiramisu Lady : Wah, selamat ya. Aku dan pacarku akan berlibur ke Hawaii minggu depan selama tiga hari. Jadi jangan hubungi aku selama tiga hari itu ya.

Sweet Americano : Akhirnya aku berhasil membujuk kakakku di pesta pernikahanku nanti. Apa kalian ingin aku undang?

Cotton Candy : Oke, aku akan datang bersama tunanganku.

Tiramisu Lady : Wah, pasti meriah. Aku jadi ingat adik iparku yang mau menikah.

Sweet Americano : Aku tunggu kalian ya.(*)

Reza Agustin lahir di Wonogiri pada dua puluh tahun yang lalu pada 20 Agustus 1997. Pecinta webtoon dan drama Korea, meskipun jarang update drama terbaru. Kunjungi instagram-ku dengan mengetik @reza_minnie.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita