Hujan

Hujan

Hujan

“Hujaannn!!!”  teriak  Thole  saat  langit  kembali menumpahkan air ke permukaan bumi. Bocah berusia sebelas tahun itu segera melepas kaosnya, kemudian berlarian di bawah hujan yang mengguyur deras. Terdengar suara Emak mengingatkan  agar  tak bermain hujan-hujanan. Namun Thole  tak peduli. Ia  berlari ke halaman, ke jalanan lalu bertemu  teman-teman  yang lain.

Mereka  berlarian sambil  menari di bawah hujan.  Menyanyikan  lagu-lagu yang sedang  hit di saat itu,  sambil pinggulnya digeyal-geyol ke kanan dan ke kiri. Sesekali mereka mampir di rumah tetangga, mandi di bawah pancuran air dari cucuran atap rumah.

Puas berlarian, mereka akan duduk-duduk di ceruk-ceruk tempat air tergenang, menepak air hingga kecipaknya saling terpecik di wajah-wajah mereka. Suara tawa berderai terdengar  di antara deras hujan.

“Dingin, Di?” tanya Thole  pada Adi saat  melihat temannya mulai menggigil kedinginan. Adi tidak  menjawab, ia hanya mengangguk, kemudian berteduh di teras rumah Bu Darmi.

“Sudah, Le … sudah main hujannya. Kalo sakit besok ndak bisa sekolah, lho …,” teriak Bu Darmi mengingatkan mereka.

Beberapa anak  menepi, kemudian berlari pulang menerobos hujan yang masih terus mengguyur.  Anak-anak perempuan sudah pulang lebih dulu.

Tinggal Thole  sendirian.

“Kamu belum  pulang, Le?” teriak Bu Darmi dari teras rumahnya. Tangan kurus bocah laki-laki itu  hanya garuk-garuk kepala mendengar teriakan perempuan bertubuh subur itu. Namun, daripada perempuan bawel itu  terus  saja meneriakinya, Thole   memilih pergi. Bu Darmi  tidak akan berhenti berteriak sampai Thole  pergi.

Tak masalah ia tak boleh berkubang di sana, toh seluruh desa bisa digunakan  sebagai tempat bermain.

“Sampai kapan kau akan terus main hujan seperti ini, Le?” tanya Emak sambil menjerang air panas. Meskipun Emak selalu melarang dia bermain hujan-hujanan, tapi perempuan dengan tubuh ramping itu selalu menyediakan air panas setiap melihat Thole  bermain hujan-hujanan.

“Kau tidak pergi ngaji, Le?” tanya Emak setelah ia mandi  dan  hanya mengenakan pakaian yang biasa ia gunakan untuk bermain. Thole menggeleng.

“Hujan deras, Mak … tadi mereka bilang nggak akan ngaji,” kata Thole  sambil menatap wajah Emak yang mulai keriput.

“Kamu tidak kasihan sama Mbak Rara? Ia pasti sudah nungguin kamu di masjid,” Emak menasihati.

Sekali lagi Thole  menatap wajah Emak yang selalu tersenyum itu. Hatinya bimbang. Apa yang Emak katakan benar, kasihan Mbak Rara menunggu sendirian di masjid. Karena teman-temannya sepakat untuk tidak berangkat ngaji hari ini.

“Berangkat, ya … nanti pulangnya Emak jemput.”

Emak menyerahkan sepasang baju dan celana beserta kopiah yang biasa ia pakai untuk ngaji.

Thole  tak bisa menolak tatapan Emak yang penuh harap dengan payung tergenggam di tangan. Emak mengantar sampai halaman. Ia melambaikan tangan setelah mengucapkan salam.

Thole  kembali berlari menerobos hujan yang mulai reda. Beberapa kali ia menoleh ke arah Emak sebelum akhirnya menghilang di kejauhan, di antara rinai hujan yang  tak juga bosan turun ke bumi.

Dan benar dugaan emak, Mbak Rara duduk sendirian di teras masjid. Tangan gadis berjilbab ungu  itu terhenti membuka halaman buku Iqranya saat melihat Thole  datang.

“Alhamdulillaahhi … kau datang, Le?” antara kagum dan  bersyukur Mbak Rara berteriak.

Thole tersenyum. Ah ada hikmahnya juga Emak menyuruhnya mengaji. Hari ini Mbak Rara akan jadi miliknya. Ia bisa belajar lebih banyak dari biasanya.

Sampai hari beranjak senja, masjid masih saja sepi. Tak ada teman Thole  yang datang pada sore itu. Hanya  dirinya dan Mbak Rara. Emak yang berjanji menjemput, tak kunjung datang. Hujan kembali turun dengan derasnya. Lebih deras dari hujan yang sebelumnya. Suara guruh dan kilat sesekali terdengar memekakkan telinga.

“Nanti kalo hujan sudah reda, biar Mbak antar pulang,” kata Mbak Rara menenangkan Thole  yang terus mondar-mandir berkeliling tak tentu arah di  serambi masjid. Sesekali terdengar suara gemuruh air mengalir.

“Hujan benar-benar lebat, Le …,” terdengar suara Mbak Rara bagai sebuah keluhan. Matanya yang bulat menatap hujan yang tanpa ampun menghajar apa saja di sekitarnya. Bibirnya komat-kamit mengucapkan doa.

“Aku mau pulang, Mbak!” tekat Thole  menimbulkan bias cemas  di wajah  Mbak Rara.

“Aku antar, Le …,” teriak Mbak Rara, meskipun percuma.

Thole  sudah terlanjur melesat di antara hujan. Tubuhnya yang kurus itu dengan cepat  menghilang dalam deras hujan.  Mbak Rara menyambar payung dan mengejar Thole.

“Tunggu  Mbak, Le!” teriaknya hingga langkah Thole terhenti.

“Maafkan aku, Mbak! Aku hanya tak ingin Emak menjemputku dalam hujan seperti ini,” katanya. Sepasang bola mata yang menyiratkan rasa khawatir menatap Rara yang tak kalah cemasnya.

Mbak Rara  mengangguk,  “Sudahlah, mari aku antar.”

Namun belum sempat mereka melangkah, tiba-tiba bumi tempat mereka berpijak  terasa bergetar. Tanah itu bergerak! Rara menarik tubuh Thole  ke belakang, nyaris keduanya terjengkang.

“Mundur, Le … menghindar, Le … sesuatu sedang terjadi ….” Rara menarik  tangan Thole  untuk berbalik ke belakang. Tanah di depannya retak, dan perlahan membuat rongga yang menganga.

Perlahan tanah  di depan mereka amblas, pohon-pohon di atasnya roboh. Beberapa di antaranya masih tegak berdiri, namun segera roboh tertimpa pohon lain yang  tumbang. Berkali-kali Mbak Rara mengucap takbir.

“Emaaakk … Emaakkk!” ucap Thole  bercampur  tangis. Mbak Rara memeluk tubuh kurus Thole agar tak berlari.

“Jangan ke sana, Le … berbahaya!” teriak Mbak Rara  di antara isak tangis yang tertahan.

Bagaimana nasib Emak? Bukan hanya Emak, tapi orang-orang desa yang lain? Teman-teman dan tetangganya? Teriak Thole dalam hati. Air matanya deras mengalir sederas rinai hujan yang selalu ia kagumi, namun sore ini telah merenggut semua miliknya.

Tanah di depannya kian lebar menganga dan perlahan bergerak turun. Pohon-pohon semakin rendah, terbenam  kian dalam hingga akhirnya tak terlihat sama sekali. Di depan mereka kini terbentang  jurang  yang sangat luas. Tebing-tebing di sebelah sana masih saja menumpahkan air tak henti-hentinya. Membawa apa saja yang tersisa di atasnya. Satu per satu rumah-rumah nun jauh di depan sana ambruk, menyatu dengan tanah. Terbawa lumpur dan tanah yang memiliki kekuatan mahadahsyat, lalu mengalir entah ke mana.

“Emak ada di sana, Mbak!” teriak Thole  sendu sambil tangannya menunjuk ke arah kampung tempat tinggalnya. Kini hanya  hamparan lumpur berair yang terlihat di depannya.  Air matanya berlinang  sederas hujan di senja itu.

“Bapak  dan ibu Mbak Rara juga ada di sana, Le …,” suara Mbak Rara terdengar menggantung di antara rinai hujan yang tak kunjung reda.

Senja mulai turun saat hujan masih terus mengguyur. Seluruh desa telah tertimbun dalam lumpur. Hanya menyisakan sepasang anak manusia bersama sebuah masjid yang masih berdiri kokoh di belakang mereka.

Entah apa yang terjadi pada mereka dan bagaimana keadaan mereka. Sebilah pedang tak kasat mata serasa mencincang dan menyayat hati keduanya, menyisakan isak tangis dan air mata  mereka, tapi tak seorang pun melihat dan mendengarnya.(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita