Bintang Tak Selalu Bersinar Terang

Bintang Tak Selalu Bersinar Terang

Bintang Tak Selalu Bersinar Terang 

Malam sudah larut saat Bunda memasuki kamar Bintang. Gadis berusia sebelas tahun itu masih asik berdiri dekat jendela dan memandang bintang di langit. Besok pagi Bintang harus mewakili sekolahnya dalam pemilihan siswa teladan di kabupatennya.

“Sudah malam, Bintang. Tidurlah agar besok bisa bangun pagi,” bisik Bunda sambil memeluknya dari belakang.

“Bintang belum ngantuk, Bun. Masih ada satu lagi yang Bintang belum yakin,” kata gadis berambut hitam panjang lurus itu sambil kembali ke meja belajarnya.

“Jangan terlalu kau paksakan, Bintang. Ingat, Bunda tidak menuntut kau harus menang. Bunda sayang sama Bintang, meskipun besok tidak menang,” tegas Bunda sekali lagi.

Bintang menatap Bunda yang duduk di sisi pembaringan. Perempuan itu kemudian membimbing Bintang agar segera tidur. Kali ini Bintang menurut.

“Kau tahu, berapa jumlah teman sekelasmu tahun ini, Bintang?” tanya Bunda sambil menyelimuti tubuhnya dengan selimut kesayangannya.

“Tiga puluh dua, Bund,” jawab Bintang setelah mengingat-ingat.

“Berapa jumlah sekolah di kabupaten kita? Ratusan kan?” tanya Bunda lagi. Bintang hanya mengangguk. Menatap Bunda dengan tatapan tak mengerti.

“Jadi, ada ribuan anak kelas lima tahun ini di kabupaten kita. Nah bukankah kau sangat hebat? Bintang adalah sepuluh anak terpilih di kabupaten kita,” kata Bunda masih terus menatapnya.

Bintang hanya diam. Matanya menatap pajangan puluhan tropi, piala dan piagam yang memenuhi ruangan itu. Tapi itu semua milik Mbak Wulan, kakaknya. Semua itu merupakan bukti bahwa Mbak Wulan memang gadis yang pintar dan berbakat. Sayang sekali Tuhan tidak memberinya usia panjang. Setahun lalu, Mbak Wulan meninggal karena menderita kanker darah setelah selama beberapa bulan keluar-masuk rumah sakit.

Ia ingat, beberapa hari lamanya Bunda menangisi kepergian Mbak Wulan. Bukan hanya Bunda, guru-guru dan teman-teman di sekolah semua menyesali kepergian Mbak Wulan yang pintar dan baik hati.

“Aku pun ingin membuat Bunda bahagia, Kak. Bangga seperti kebanggaan Bunda terhadap Mbak Wulan,” janji Bintang setiap meilhat foto kakaknya.

Untuk itu Bintang terus berjuang keras, belajar lebih tekun dan tak kenal lelah. Berbagai kegiatan di sekolah ia ikuti, hingga beberapa kejuaraan bisa ia raih. Namun ia bukanlah Mbak Wulan. Mereka berbeda. Bila Mbak Wulan selalu menang di lomba-lomba tingkat provinsi, maka tempat bintang hanya menang di kabupaten, itu pun juara dua atau tiga.

Dan hari ini adalah pemilihan siswa teladan sekabupaten yang ia ikuti. Ada sepuluh peserta terbaik yang datang dari puluhan kecamatan.

“Sepuluh besar itu sudah bagus, Bintang,” kata Bu Retno sambil membelai pundaknya.

“Tetap semangat, ya?” katanya sambil memegang tangan Bintang yang gemetar. Bintang hanya mengangguk. Hatinya mulai ragu. Dengan perasaan berdebar-debar ia memasuki ruang seleksi untuk menjalani tes tertulis. Setelah itu nanti akan ada seleksi untuk menilai ketrampilan para peserta. Beberapa jenis ketrampilan dan kesenian yang mereka kuasai harus diperagakan di depan juri.

Bintang selama ini aktif dalam berbagai kegiatan esktra. Ia menyiapkan diri untuk mengikuti seleksi keterampilan. Berbagai prakarya dari peserta ditampilkan. Setelah itu mereka akan menampilkan kemampuan seni yang mereka miliki. Bintang akan membawakan sebuah tarian daerah yang paling dikuasainya. Beberapa kali ia tampil membawakan tarian itu di berbagai acara. Setelah itu juri akan merekap hasil lomba dari berbagai bidang untuk menentukan siapa pemenangnya.

Saat pengumuman itu pun tiba. Bintang ingin sekali mendapatkan juara pertama dalam lomba itu. Ia ingin membuktikan pada Ayah dan Bunda bahwa ia tak kalah pintar dengan Mbak Wulan. Mbak Wulan dulu selalu menang dalam lomba-lomba yang diadakan di tingkat kabupaten.

Namun hasil pengumunan ternyata sangat mengecewakan! Bintang harus rela menerima kekalahannya. Jangankan juara, ia hanya berada di peringkat lima dari sepuluh perserta yang ikut berlomba.

“Tak perlu kecewa, Bintang. Itu sudah bagus, kau tahu, ada ratusan sekolah di kabupaten kita. Kita termasuk peringkat lima. Itu sudah bagus!” berkali-kali Bu Retno berusaha membesarkan hatinya agar tidak kecewa.

Bintang sangat kecewa. Tangisnya benar-benar pecah saat ia bertemu Bunda di rumah. Bukan hanya kecewa, tapi juga malu. Semula ia begitu yakin akan menang dalam lomba itu. Ia merasa bisa mengerjakan semua soal tertulis dengan baik. Penampilan tariannya juga mendapat tepuk tangan yang meriah dari juri, guru pengampu dan teman peserta yang lain. Banyak di antara mereka yang memuji keindahan gerakan tariannya.

“Bunda semalam kan sudah bilang, Bintang. Menang atau kalah Bunda akan tetap sayang sama Bintang. Kaulah satu-satunya putri Bunda,” kata Bunda lembut.

Mata Bintang menatap keluar jendela. Ratusan, ribuan atau bahkan jutaan bintang bertaburan di langit yang cerah. Pandangannya sedikit kabur, air bening mulai meleleh di kedua pipinya.

“Kau lihat Bintang, di langit yang luas ada jutaan bintang. Tapi tidak semua bersinar terang. Ada juga yang redup, kan? Kita pun seperti itu. Ada jutaan atau bahkan ratusan juta putri cantik dan manis sepertimu, tapi tidak semua bernasib mujur,” kata Bunda sambil mengangkat dagu Bintang, hingga mata mereka bertatapan.

“Ibu bersyukur memilikimu. Bintang pasti masih ingat apa yang Bunda bilang tadi malam, iya kan?” kata Bunda sambil mengusap air bening yang meleleh di pipi Bintang. Matanya sejenak berkerjap seperti kerlip bintang di langit.

Bunda benar, meskipun ia kalah, namun ia harus bersyukur. Ada puluhan siswa lain di sekolahnya yang tak pernah mendapat kesempatan untuk ikut berlomba. Ia satu-satunya yang mendapatkan kesempatan itu.

“Kau tetap Bintang di hati Bunda, juga Bintang bagi guru dan teman di sekolahmu,” peluk Bunda kemudian membawa Bintang ke peraduan.(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita