Bakso

Bakso

Bakso

Di sebuah tempat makan sederhana, aku mengajakmu mampir setelah puas berkeliling kota dengan sepeda motor berwarna merah hitam peninggalan orangtuaku semasa hidup mereka. Setelah memesan dua mangkok bakso aku menyusulmu yang sudah lebih dahulu mengambil tempat duduk. Saat itu hujan perlahan-lahan turun. Dan kau bilang ingin hujan cepat reda agar tidak duduk lama-lama di dekatku. Karena katamu duduk di dekatku seperti ini bagaikan menduduki bara api. Tidak peduli semanis apa makanan yang sedang kau makan, ia seketika menjadi hambar. Perut tiba-tiba menjadi kembung. Begitu katamu.

Sementara itu aku ingin hujan turun makin lebat agar aku bisa mengobrol denganmu. Dan karena kedua harapan yang berseberangan itulah barangkali yang membuat hujan jadi tidak reda-reda dan tidak pula lebat begitu kataku kepadamu.

“Bagiku mengobrol itu menyembuhkan. Faktanya ada banyak orang kaya yang harus membayar seseorang untuk diajak mengobrol. Kau harusnya merasa beruntung bahwa kau tak perlu membayarku untuk mendengarkanmu bercerita.”

Aku melihatmu menggaruk-garuk kepalamu yang entah sedang gatal benar atau pura-pura. Mangkok baksomu sudah bersih—kau makan dengan amat baik. Sementara punyaku masih tersisa setengahnya.

“Kau tahu, sering kali aku didera perasaan bersalah telah keras menegurmu dan mengadukanmu kepada Ibu dan Nenek.”

Seketika kau tersenyum simpul. Dalam jeda itu aku mengunyah bakso yang tersisa.

“Mengapa kau tidak juga jera dimarahi seperti itu? Yah, kau tahu kan. Kau punya banyak orang di sekelilingmu yang bisa tahan mengocehimu berjam-jam.”

Kulihat senyummu jadi makin lebar.

“Itu kan gara-gara Kakak.”

“Apakah seharusnya aku tidak pernah mencampuri urusan pribadi seperti yang kulakukan padamu selama ini? Bagaimana jika setahun yang lalu, aku tidak pernah pindah ke rumah yang ada di sebelah rumahmu tepat setelah kedua orangtuaku meninggal dunia karena kecelakaan?” tanyaku.

“Dan mungkin aku akan menjadi seorang bangsat. Ibu dan nenek tidak pernah menaruh curiga kepadaku selama ini.”

Aku menatap kedua matamu lamat-lamat. Ditatap demikian kau lantas menundukkan pandangan seraya berkata, “Sejujurnya, tidak pernah sekali pun teman-temanku memaksaku untuk mengikuti gaya hidup mereka yang memang sudah rusak itu. Suatu kali ketika aku berkumpul bersama mereka—hanya dengan melihat mereka merokok—aku lantas merasa ingin mencobanya. Andai tidak ada yang mengatakan dengan sungguh-sungguh bahwa itu salah—meskipun sebenarnya di dalam hatiku sendiri aku menyadarinya dan sudah menjadi rahasia umum bahwa merokok itu tidak dianjurkan bagi anak di bawah umur—aku tidak pernah dapat berhenti menghisapnya.”

“Jadi, tidak apa-apa jika orang-orang memarahimu seperti itu?”

Aku meletakkan sendok dan garpu ke mangkok yang menimbulkan suara berdenting setelah menghirup kuah terakhir.

“Barangkali itu karena aku juga menginginkannya. Tepat di saat itu sebenarnya aku merasa amat lega, aku merasa diperhatikan. Dan kalau dipikir-pikir alasan sebenarnya aku merokok pun adalah untuk mencari perhatian. Ibu dan Nenek seringkali abai dengan kenyataan bahwa aku butuh diperhatikan.”

“Apakah kau tahu bahwa aku mencemaskanmu. Oleh karena itu aku ingin mengobrol denganmu.”

“Aku tidak pernah melakukan hal-hal seperti ini dengan siapa pun sebelumnya. Kami juga makan bersama tetapi segera setelah itu kami beranjak entah ke mana.”

“Apakah kau kira aku bisa mengobrol begini dengan semua orang?”

“Orang-orang hidup dengan cara dan gayanya masing-masing, bukan? Lagi pula aku juga mengobrol dengan teman-temanku, Ibu dan Nenek.”

“Apa yang kalian obrolkan?”

“Tentang apa saja. Membicarakan teman perempuan yang cantik, tempat nongkrong yang seru, menggosipkan guru-guru di sekolah, membanggakan barang-barang baru yang sedang kami punyai, atau bahkan saling adu ketampanan satu sama lain.”

“Tidak adakah pembicaraan tentang apa yang sedang dirasakan satu sama lain? Apa keinginan kalian yang ingin diwujudkan tetapi terkendala oleh sesuatu dan sebagainya—tipikal pembicaraan yang bukan hanya mengungkapkan apa, siapa, kapan, dan di mana tetapi lebih tentang mengapa dan bagaimana?”

Kau diam. Sementara aku meneguk habis secangkir air yang kutuang tadi. Tenggorokanku terasa amat kering dan asin.

“Ya, ada banyak orang yang berusaha mengubur segala duka nestapanya pada musik keras, game, rokok bahkan yang terparah narkoba. Sementara aku memilih untuk menggali semuanya, membingkai dan memajangnya. Menurutku tidak hanya kebahagiaan saja yang layak diberi tempat yang khusus. Tepatnya, tidak akan ada yang bisa disebut sebagai kebahagiaan jika tidak ada yang disebut sebagai kesedihan.”

Kau meraih gelas yang berisi air putih dan meneguknya pelan.

“Oleh karena itu, aku selalu mencatat dan menyimpan apa saja, misalnya rekaman percakapan, foto, video atau hal-hal lain yang mengingatkanku pada peristiwa-peristiwa tertentu. Yang menyakitkan, menyedihkan, membuat marah, dan membahagiakan semuanya mempunyai tempat yang sama spesialnya. Dan dengan begitu, dengan cara yang demikian, aku mencoba berdamai dengan diriku sendiri.”

Kau menuangkan air pada gelasku yang memang masih kosong sejak aku menghabiskannya terakhir kali.

“Aku mengkhawatirkanmu karena kulihat kau berusaha mati-matian menguburnya. Hal yang menyakitkan bagiku, justru ketika harus selalu menyaksikan kau berlindung pada senyum palsumu itu, artinya kesedihan itu ada di dalam sana. Semakin sering kau menguburnya seperti itu, ia akan terbenam makin dalam dan mengakar kuat dan meracunimu diam-diam.”

Kau mengetuk-ngetuk meja dengan gelas kosong secara perlahan-lahan.

“Namun jika kau mengambil sikap marah pun tetap tidak ada gunanya. Tetaplah seperti itu—kau sudah melakukannya dengan benar—tetapi tetap luangkan waktumu untuk mengobrol denganku, hanya untuk memastikan bahwa tidak ada lumpur yang mengendap di dalam sana.”

“Apa yang akan kau lakukan jika menjadi aku?”

“Aku tidak tahu.”

Saat itu kau memalingkan wajahmu ke arah jalan. Aku tahu kau berharap hujan cepat reda agar kita dapat pulang.

“Apa kau tahu bahwa aku tidak menyukai sekolah?”

Segera setelah mendengar pernyataanku itu kau menatapku lamat-lamat.

“Aku tahu apa yang kalian—para siswa—pikirkan tentang sekolah dan merasa memahaminya. Apa manfaatnya dari proses mendapatkan materi, menghafalnya dan melupakannya tepat setelah  ujian selesai kan. Aku tidak pernah bisa berpura-pura nyaman berdiri di depan kelas seolah sedang menyampaikan petuah yang berguna bagi murid-muridku itu. Karena hal-hal yang berguna justru tidak mereka pelajari.”

“Ya, tujuan kami tetap bersekolah setiap hari hanya untuk memperoleh uang jajan, bergaul dan mendapatkan pacar.”

“Tetapi untuk—dengan tegas—memutuskan keluar dari sekolah tampaknya terlalu ekstrim. Itu butuh keberanian yang besar.”

“Ya.”

“Oleh karena itu, jalan tengahnya bagi kau yang tidak terlalu senang belajar adalah terus mengupayakan lulus sekolah sambil terus meluangkan waktu untuk mencari tahu apa yang kau ingin pelajari. Luangkan waktumu untuk mengenal siapa dirimu. Dan aku akan membantumu—sebisaku—menunjukkan jalan untuk meraihnya.”

“Sejujurnya aku tidak tahu apa yang kuinginkan.”

“Teruslah mencari! Aku pun demikian.”

“Hingga sekarang?”

“Ya!”

“Kak …. Apa yang paling ingin kau lakukan dalam hidupmu?”

“Menurutmu?”

“Menikahlah, Kak!”

“Mengapa kau selalu memburuku untuk menikah sementara untuk Ibu kau tidak pernah merelakannya bahkan hingga sekarang?”

Kau diam.

“Aku kadang-kadang merasa cemburu karena kau begitu, Dik. Bagaimana jika setelah menikah aku tidak akan mengurusmu lagi dan pindah menuruti suami? Tidak terpikirkankah di benakmu atau memang itu yang kau harapkan sebenarnya?” Aku menyeringai lebar.

“Menikahlah, Kak!”

“Tahu tidak? Aku yang memilih hidup seperti ini.”

“Yang bagaimana?”

“Aku tidak mencintai laki-laki itu? Bagiku tidak ada keintiman yang dapat dibangun oleh waktu. Jika sejak awal keintiman itu tidak ada maka selamanya tidak akan muncul. Tidak peduli seberapa sering kami duduk berdekatan dan ia memanggilku dengan ratusan panggilan sayang.”

“Apakah ada seseorang yang lain yang kau cintai?”

“Ya!”

“Siapa?”

Aku merapatkan bibirku dan menggelengkan kepala.

“Apakah ia tahu bahwa kau mencintainya?”

“Entahlah.”

“Kau pernah memberi tahunya?”

“Jika ia juga punya perasaan yang sama denganku maka ia seharusnya dapat merasakannya tanpa perlu aku memberi tahu. Kenyataan bahwa sampai saat ini hubungan kami berdua tidak pernah ke mana-mana adalah—mungkin—ia tidak tahu, makanya tidak peduli atau sekalipun tahu tetapi tetap tidak mempedulikannya.”

“Tidakkah itu yang membuatnya jadi rumit?”

“Mungkin …. Karenanya aku jadi tidak pernah beranjak dari tempatku sejak pertama kali terpesona padanya.”

Kau diam. Tampak seperti memikirkan sesuatu yang entah apa.

“Kau tahu mengapa aku mengajakmu mampir ke warung bakso ini?”

Kau menggeleng.

“Karena aku ingin mengenangnya. Ia suka sekali bakso. Kalau ada kesempatan, ia akan mengajakku untuk menemaninya makan di sini, selalu di meja yang ini. Saat itu, bahkan hingga sekarang, kupikir itulah momen terbaik yang pernah kurasakan.”

Kau tersenyum.

“Bayangkan olehmu Dik, momen terbaikku ternyata adalah di sebuah warung sederhana dan makan bakso dengannya. Padahal aku pernah membayangkan setidaknya di restoran atau tempat-tempat romantis lainnya sambil makan steak atau tiramisu. Barangkali hal itu menunjukkan jika aku terlalu tamak dan Tuhan tidak suka itu. Makanya, kau jangan membayangkan yang tidak-tidak seperti itu ya.”

Kau menggigit bibir bawahmu.

“Tetapi kenyataan bahwa di sinilah tempat aku menemukan momen terbaikku menunjukkan bahwa sebenarnya kebahagiaan itu sederhana. Penerjemahannya yang barangkali jadi tidak sederhana lagi.”

“Baiklah, aku mengerti, Kak.”

Kau tersenyum lagi, dengan senyum yang … aku tahu kau sedang mengejekku.

“Baiklah, mari pulang kalau begitu.”

Aku bangkit dari kursi dan kau mengikutiku dari belakang, meninggalkan dua mangkok dan dua gelas yang kosong melompong.(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita