Menyeberang
Saat malam tiba di sebuah kota, kehidupan di dalamnya berangsur-angsur memusat ke tengah-tengah—tempat berkumpulnya mall, kafe dan pasar malam. Nyaris semua kendaraan hilir mudik dari dan ke arah itu. Sementara di sebuah daerah tidak jauh dari sana dan dipisahkan oleh sungai, dengan infrastruktur jalan yang berbukit-bukit—tepat pukul delapan—nyaris tidak ada kehidupan. Jikalau hujan turun, pengendara sepeda motor harus berhati-hati agar tidak tergelincir sebab di sana-sini banyak jalanan yang tertutup longsoran tanah yang liat setelah terkena air.
Di sana hampir semua orang memiliki kebiasaan yang sama, bersantai di atas karpet di dalam rumahnya masing-masing. Ada yang menyantap makan malam, mengerjakan pekerjaan rumah atau bahkan menonton siaran televisi. Itu pun jika listrik dari PLN sedang mengalir. Jika tidak maka terdengarlah umpat para orang tua tentang zaman batu dan sebagainya. Sementara anak-anak duduk melingkari sebuah lilin dan memperhatikan api yang bergeliat ke kanan dan kiri oleh angin. Takjub. Di dalam pikirannya barangkali api itu semacam pertanda Tuhan sedang bermain sulap. Kemudian di tempat tidur mereka bermain-main dengan bayangan jemarinya dengan membentuk rusa dan burung, yang-entah-mengapa-selalu-tidak-bernama.
Di sisi lain—seberang sungai—listrik tidak pernah putus mengalir seolah lumbungnya selalu melimpah. Barangkali karena itu orang-orang yang tinggal di sana berlomba-lomba memasang lampu paling banyak dan paling terang tanpa perlu was-was. Keramaian di jalan tidak pernah mati sebab cahaya yang terang sering kali membuat orang-orang lupa jika malam sudah tiba dan sudah waktunya mengistirahatkan tubuh di peraduan masing-masing. Namun, kesadaran untuk tidur sering kali baru tiba ketika burung-burung gereja yang bertengger di atas atap dan kabel-kabel listrik mulai bercuit-cuit.
Sebuah keluarga di daerah yang sebut-saja-bersisi-gelap, malam-malam duduk melingkar, ayah, ibu dan kedua anaknya yang berusia 10 dan 17 tahun. Sudah sejak dulu yang entah tepatnya kapan, ayah dan ibunya bercerita bahwa betapa beruntungnya mereka yang hidup di seberang sungai. Tempat di mana cahaya tidak pernah padam. Sesekali ayah dan ibu mereka secara bergantian menceritakan pengalamannya menyeberang dan merekam semua ekspresi yang tidak pernah mereka cecap sepanjang hidupnya. Mereka pikir itu adalah kebahagian yang hakiki dan alangkah baiknya jika kedua anaknya kelak dapat mencecap semua bentuk kebahagiaan yang demikian.
Orang tuanya bermimpi dapat membelikannya buku-buku, baju, serta sepatu baru sementara itu kedua anaknya bermimpi bisa menjadi kaya. Cara menjadi kaya yang terpikirkan oleh mereka adalah dengan menjadi orang yang cerdas. Menjadi anak sekolahan. Menjadi seseorang yang istimewa. Kata “istimewa” merujuk pada sesuatu yang lain daripada yang lain. Berbeda.
Di sisi ini, di daerah di mana peradaban gotong royong masih sangat kental, empat orang yang berbeda memiliki satu tujuan yang sama. Mereka bahu membahu untuk mewujudkannya. Dan mereka tahu betul bahwa semuanya harus dimulai dari diri mereka sendiri. Tubuh, pikiran dan hati semuanya harus punya tujuan yang sama. Dan oleh karena itu ayah meyakinkan ibu, dan ibu beserta ayah meyakinkan anak-anaknya untuk memiliki tujuan yang sama pula. Mereka butuh waktu bersama dan penghasilan yang lebih banyak. Dari tabungan yang diperoleh dari gaji semasa bekerja di seberang, mereka membeli sepetak kebun dan menggarapnya bersama-sama.
Sebuah keluarga yang lain—di seberang, malam-malam sibuk dengan urusannya masing-masing. Ayah sedang lembur di kantor, ibu sedang menyelesaikan proposal yang hendak dibawanya ke kantornya yang terlihat seperti perpustakaan pribadi, tetapi buku-buku di dalam lemari kaca itu tidak sekalipun dibaca. Satu dari dua anaknya sedang belajar matematika di kamarnya dan satunya lagi sedang keluar bersama beberapa orang teman yang menjemputnya tadi. Entah tujuannya ke mana. Tidak seorang pun ingin tahu apa yang sedang dikerjakan masing-masing. Tidak seorang pun yang merasa itu perlu. Masing-masing mencari dan punya tujuannya sendiri. Barangkali kata gotong-royong di sisi ini lebih akrab di sebut sebagai “kerja tim”. Dan karena “tim” lebih akrab di dengar di kantor-kantor, mereka tidak mengenal kata “tim” di rumah. Rumah hanya tentang “tempat” bukan orang-orang yang tinggal di dalamnya.
Di sebuah jalan, seorang anak yang pergi bersama teman-temannya tadi terlihat sendiri. Tidak tahu kemanakah gerangan teman-temannya yang membawanya keluar tadi. Bisa saja dia yang meninggalkan atau malah yang ditinggalkan. Saat itu pukul dua lewat sepuluh menit. Ia mengikuti ke mana saja langkah kaki hendak membawanya. Ia merasakan sesuatu. Perasaan yang sama ketika ia mencecap secangkir teh yang seharusnya terasa manis tetapi malah asin.. Dia membayangkan setiap manusia di dunia ini melupakan siapa dirinya selepas bangun tidur. Oleh karena itu, setiap pagi dibayangkannya mereka berkata pada dirinya sendiri di depan cermin, bahwa aku adalah seorang guru, aku adalah seorang fisikawan, aku adalah seorang presiden, aku adalah seorang ibu, aku adalah seorang anak, aku adalah seorang mahasiswa, dan sebagainya dan sebagainya.
Di antara orang-orang yang berhasil meyakinkan diri mereka sebagai seseorang, entah itu seorang guru, seorang mahasiswa, seorang presiden, seorang penulis dan sebagainya. Ada orang-orang yang tidak peduli siapa mereka sebenarnya dan terus saja menikmati ketidaktahuan tersebut dan memilih hidup sebagai mesin. Menurutnya itu jauh lebih baik dibandingkan orang-orang yang ingin tahu siapa diri mereka, tetapi tidak bisa memutuskan apa pun. Di hadapan cermin, di setiap pagi, ia melihat tatapannya sendiri yang kosong, sekosong pikirannya saat berada di jalan itu sendirian.
Beberapa waktu kemudian, entah pada langkah ke berapa, ia sampai pada suatu tepian sungai dan berhenti tepat selangkah dari air yang mengalir itu. Dari tempat ia berdiri, ia melihat sisi sungai yang lain. Ia tahu kehidupan macam apa yang ada di sana. Dulu, sepasang suami-istri yang pernah bekerja di rumahnya sebagai supir dan pembantu bercerita tentang banyak hal tentang kehidupan seberang. Apa kabar mereka, sekarang?
Di sisi yang lain itu, ada seorang anak dari sebuah keluarga yang bermimpi untuk menyeberang sungai tersebut. Ia sedang berdiri, terus menerus meyakinkan dirinya untuk menyeberang. Aku harus menyeberang. Aku harus menyeberang. Ulangnya entah sampai berapa kali. Entah sudah sejak kapan ritual itu sudah dilakukannya.
Kedua orang ini sama-sama berdiri di tepi sungai yang sama tetapi saling berlawanan. Mereka berdiri di sana, tetapi pikirannya sama-sama tidak berada di sana, melayang ke seberang sungai satunya lagi. Keduanya saling berhadapan tetapi tidak saling melihat satu sama lain. Pandangannya saling terpaut tetapi yang mereka lihat adalah dirinya sendiri di kejauhan. Sama-sama memanjatkan harapan tetapi dengan arah tujuan yang saling berlawanan.
Aku ingin menyeberang, keduanya menggumam serentak.
Keduanya tidak tahu itu, kecuali dari sudut pandang yang lain, sebutlah sudut pandang ketiga. Hanya ia yang bisa menyaksikan dua anak manusia yang sedang memanjatkan harapan. Ia melihat apa yang tidak mereka lihat. Ia mendengar apa yang tidak mereka dengar. Ia tahu apa yang tidak mereka ketahui.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita