The Birthday Boy
Aku akan membuat pesta ulang tahun di sebuah taman bermain yang indah. Di sana ada banyak kuda unicorn. Semua temanku pasti datang dan kami akan bersenang-senang selama pesta. Taman bermain itu sangat luas, jadi kami bebas berlarian ke sana-kemari. Rumputnya empuk dan halus. Tidak perlu takut sakit jika terjatuh. Sayangnya tidak akan ada gula-gula manis di pestaku. Ibu bilang gula-gula bisa mengganggu pertumbuhan gigi kami. Namun, aku yakin ibu akan membuatkan bolu buah kesukaanku. Hmm, teman-temanku nanti pasti menyukainya juga.
Sejak kecil ia belajar bahwa hari kelahirannya bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa, kecuali bagi dirinya sendiri. Ia tidak perlu repot-repot merayakan, maka seumur hidup ia tidak pernah membuat sebuah selebrasi istimewa untuk hari ulang tahunnya sendiri.
“Perayaan-perayaan ulang tahun itu tidak penting, Nak. Kecuali buat kamu, tidak ada yang istimewa dengan hari ulang tahunmu untuk orang lain,” begitu jawaban ibunya saat ia mengutarakan keinginan untuk merayakan ulang tahun seperti teman-temannya di sekolah.
Ia merengek, tidak puas dengan jawaban ibunya. Ia baru masuk taman kanak-kanak kala itu dan mulai mengenal konsep pesta ulang tahun saat teman-temannya merayakan di sekolah. Ada nyanyian dan kue-kue manis. Semua orang bersuka cita. Si teman yang berulang tahun selalu jadi pangeran atau putri, meskipun untuk sementara saja. Jiwa kecilnya juga ingin mengalami kemeriahan yang serupa itu.
“Nak, pada hari kelahiranmu, di bagian lain bumi ini mungkin ada yang sedang kehilangan. Jagat raya ini punya cara untuk tetap seimbang. Kamu bahagia, mungkin saja orang lain yang tidak kamu kenal menangis. Jadi ingatlah itu selalu. Semua hal tentang ulang tahunmu kamu khususkan untuk dirimu saja,” urai ibunya menanggapi rengekannya.
Itu adalah satu-satunya pembicaraan mereka tentang hari ulang tahun. Ia tidak sepenuhnya mengerti maksud ibunya, ia sudah mematri sebuah pemahaman tentang hari ulang tahun dalam benaknya. Ia tidak akan pernah tahu bahwa jawaban itu adalah satu-satunya cara ibunya untuk berdamai dengan kenyataan: kelahirannya adalah kematian bagi mimpi-mimpi ibunya.
Tidak pernah ada badut di pestaku. Aku tahu beberapa orang takut pada badut. Namun, tahun ini aku ingin mengundang beberapa badut ke pestaku. Bukankah itu terlalu kekanak-kanakan? Ya, mungkin juga. Aku hanya ingin tahu rasanya ada badut di pestaku. Orang-orang yang memiliki ketakutan terhadap badut itu, aku harap bisa sembuh dari fobia mereka. Semoga saja itu hanya fobia masa kecil yang sudah berlalu.
“Ayahmu tidak bisa lagi tinggal bersama kita. Ia harus ada di tempat lain demi melanjutkan hidupnya. Kita pun demikian, harus berada di sini agar terus hidup,” jawab ibunya ketika menjawab pertanyaannya tentang sosok ayah. Sejak ia lahir memang tidak pernah ada sosok ayah dalam hidupnya. Ia tidak bertanya lagi. Sama seperti ketika ia merengek tentang pesta ulang tahun, pertanyaan itu menjadi satu-satunya pertanyaan tentang sosok sang ayah yang terlontar kepada ibunya.
Ia tumbuh seperti anak-anak lain, meskipun tidak pernah tahu sosok ayahnya. Ibunya adalah sosok yang bertanggung jawab, ia bisa merasakan cinta-kasih tulus sang ibu. Orang-orang akan bertanya tentang ayahnya dan jawabannya akan persis seperti jawaban ibunya—kepadanya. Mereka akan mengernyitkan kening, tetapi tidak pernah bertanya lebih jauh. Namun, pertanyaannya sendiri tidak pernah berhenti di jawaban sang ibu. Keingintahuannya tentang sosok sang ayah terus mengendap di dalam benaknya. Endapan itu semakin menumpuk dari tahun ke tahun.
Orang-orang bilang, usiaku saat ini adalah usia yang istimewa karena pada saat inilah aku mulai dianggap sebagai orang dewasa. Dewasa, kata itu terdengar mengerikan. Ah, sudahlah! Sekarang waktunya untuk mempersiapkan pestaku. Akhir-akhir ini aku sering berselisih pendapat dengan ibu dan itu membuatku sering berpikir tentang ayah. Jadi, sepertinya ide untuk mengundang ayah ke pesta ulang tahunku bukanlah ide yang buruk. Jika ia datang, pestaku kali ini akan benar-benar jadi pesta yang istimewa. Aku ingin melihat seberapa besar itu mempengaruhi ibu.
Sampai akhirnya, ia berpisah dari ibunya karena bekerja di luar kota, ia masih tidak pernah merayakan hari ulang tahunnya. Dari ibunya pun tidak pernah ada hal-hal spesial untuknya.
“Ngomong-ngomong, boleh tahu kapan kamu berulang tahun?” rekan-rekannya kerap bertanya demikian.
Ia pun menjawab dengan jujur. Ketika rekannya membahas tentang perayaan ulang tahunnya, ia hanya tersenyum. Ia tahu itu tidak akan pernah terjadi. Semesta pun seakan memihak padanya. Ketika ia berulang tahun, tidak pernah ada yang mengucapkan selamat atau memberi kejutan. Ia tidak pernah merahasiakan tanggal lahirnya, bukan? Ia tidak pernah pula mendeklarasikan sikapnya yang tidak lazim tentang hari kelahirannya itu. Namun, seperti ada selaput tidak kasat mata yang mendindingi hari ulang tahunnya dari dunia luar. Setiap tahun, ulang tahunnya seolah terlupakan. Hari itu akan berlalu begitu saja.
Sikapnya tidak membuat ia menghindar sama sekali dari perayaan hari ulang tahun. Ia tetap hadir saat ada kerabat atau rekan yang mengundangnya ke pesta ulang tahun mereka, lengkap dengan ucapan selamat, doa baik, dan hadiah. Untuk ulang tahunnya sendiri, hanya satu ritual yang dilakukannya: Menulis surat bagi dirinya sendiri. Surat-surat itu berisikan pesta ulang tahun imajinatif yang ia inginkan. Gambaran sebuah pesta ulang tahun sejak ia kecil belum sepenuhnya terhapus dari benaknya.
Surat-surat itu tersimpan rapi di sebuah tempat khusus. Tidak ada orang lain yang tahu tentangnya, tidak pula ibunya. Satu hari dalam satu tahun, menulis surat-surat itu seolah menjadi tempatnya bernaung.
Tahun ini tema pestaku adalah hitam. Semua yang hadir akan berpakaian hitam. Rangkaian balon hitam terpasang di setiap sudut. Aku sendiri yang akan menghias ruangan dan memastikan hitam yang benar-benar hitam mewarnainya sebelum tamu-tamuku datang. Tidak benar-benar hitam sebenarnya, karena kali ini pestaku berlangsung siang hari. Ah, semoga pestaku tidak terkesan menyeramkan. Orang-orang perlu belajar bahwa hitam tidak melulu dekat dengan kesuraman.
Seharian ini sebuah pemikiran mengganggu benaknya. Besok adalah hari ulang tahunnya yang kesekian. Entah apa sebabnya, kali ini ia ingin membuat hari itu berbeda dari biasanya. Seperti ada energi kuat yang mendorongnya, begitu kuat sampai-sampai tubuhnya tidak sanggup menampungnya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam ruangan untuk menyalurkan energi itu. Ia yakin ia harus pergi ke suatu tempat. Yang ia tidak tahu, ke manakah? Haruskah ia mengunjungi ibunya? Sudah lama sekali ia tidak pulang. Selama itu ia hanya berbincang dengan beliau melalui telepon. Namun, tidak. Ia tahu bukan tempat ibunya yang harus ia tuju, melainkan sebuah tempat lain. Ia akan mencari ayahnya. Ia akan pergi ke tempat ayahnya.
Tanpa punya petunjuk apa pun tentang keberadaan ayahnya, ia akan pergi mencarinya. Besok, pagi-pagi sekali ia akan keluar rumah. Tidak perlu ada yang tahu kepergiannya. Ia juga merasa tidak perlu memberi tahu ibunya.
Ia bergegas mempersiapkan diri. Ada yang harus dibawa besok: surat-surat ulang tahunnya. Tidak ada barang lain yang akan ia bawa. Hanya surat-suratnya.
Ia tidak melupakan ritual ulang tahunnya. Besok akan jadi hari yang berbeda, maka khusus tahun ini, pada ulang tahunnya yang kesekian, suratnya ia tulis pada malam ini. Malam ulang tahunnya.
Tahun ini aku tidak mengundangnya, tetapi akan langsung mendatanginya. Untuk pertama kalinya, aku akan melewatkan hari ulang tahunku bersamanya. Bersama ayahku.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita