Sate Kambing
Setiap malam sejak hari itu, telah kukatakan berulang kali pada diriku sendiri bahwa aku memahami keputusanmu. Di sana, di kamar berukuran 4×4 yang kutinggali selama bertahun-tahun—yang lampunya selalu kumatikan setiap pukul sepuluh. Sekarang pun sama. Aku pun membisikkan kalimat yang sama—berulang-ulang—dari suatu tempat yang kau-tahu-aku-ada-di-sana.
Aku memahami keputusanmu.
Namun, melihat binar matamu saat menikahi laki-laki itu, aku tetap tidak terima. Kutundukkan pandanganku hingga yang kulihat adalah kedua tanganku yang saling berpaut. Sambil menjentik-jentikkan kuku jempol kanan ke jempol yang kiri, aku berusaha mengerti.
Apa artinya aku bagimu Ibu?
Saat itu dari meja prasmanan menguar aroma sate kambing. Aku menutup mataku rapat-rapat dan memaksa pikiranku membayangkan pantai, gunung dan hutan secara bergantian—berusaha mengabaikan aroma sate kambing yang membuat cacing-cacing perutku bernyanyi.
***
Ini bukan kali pertama aku naik kereta.
Kupalingkan wajahku ke luar jendela. Tadinya aku hanya ingin tidur sambil mendengarkan apa-saja yang otomatis diputar aplikasi musik di ponsel. Sialnya, seseorang yang duduk di sebelahku terus saja menawariku camilan yang sedang dikudapnya. Aku diajari untuk tidak menerima hal-hal semacam ini sehingga kutolak berkali-kali tawarannya. Namun, karena terus-menerus kutolak ia malah semakin memaksa hingga kuambil sejumput camilan itu.
Tidak berhenti di situ saja, ia mulai bercerita, pertama-tama tentang dirinya lalu ia menanyaiku—berapa usiaku, hendak ke mana, mengapa sendirian saja—yang kujawab sekenanya. Lalu ia bicara tentang apa-apa saja yang ada di kereta—soal seruan untuk menutup tirai jendela, soal koper berwarna norak yang berada tepat di atas kepala, seorang ayah yang lalu lalang bersama balita yang tidak dapat duduk diam hingga soal rumah-rumah penduduk, pertokoan, pepohonan, tower, jalan, langit dan segala yang tampak di luar jendela.
Semua yang bagiku biasa-biasa saja itu—menurutnya—menarik untuk diobrolkan. Ia sama sekali tidak mempedulikan earphone yang terpasang di telingaku sejak tadi—sebuah kode keras bahwa aku sedang tidak ingin diganggu.
Setelah beberapa saat mengobrol dengannya, kereta menepi di sebuah stasiun. Beberapa penumpang terlihat menurunkan barang bawaannya—koper dan juga dus-dus. Sementara itu di luar, penumpang yang menunggu kedatangan kereta bergegas mengangkut barang bawaannya ke atas gerbong. Pada saat itu, di dalam kereta yang kami tumpangi terjadi proses pertukaran penumpang, ada yang turun dan naik.
“Hidup itu begitu,” ucapmu suatu kali.
Saat itu aku menyimakmu sambil menyuap nasi goreng yang kumasak beberapa saat sebelum kau tiba di rumah dan sate kambing yang kau belikan untukku.
“Di rumah sakit ada yang meninggal dan ada yang baru lahir ke dunia. Dengan begitu dunia ini akan terus ada dan berfungsi seperti bagaimana ia semestinya,” kau melanjutkan.
Di atas kereta itu, dengan masih mengobrol dengan lelaki yang berada di sebelahku, aku tiba-tiba merasa bahwa saat kau mengatakan itu, kau sedang memberi sinyal bahwa ketika ayah pergi, akan ada orang lain yang menggantikannya.
Seketika aku merasa dada kiriku sesak.
Maafkan aku Ibu.
Tak lama seorang lelaki berkulit cokelat tua dan berkumis menyela obrolan kami sambil menunjukkan tiketnya. Ia adalah tuan dari kursi yang sedang ditempati oleh lelaki yang mengobrol denganku tadi. Lelaki itu akhirnya pindah ke bangku kosong yang berada di depannya—tempat duduknya yang sebenarnya.
Sama sepertiku tadi, ia lalu menawarkan camilannya yang lain untuk penumpang baru itu. Pada saat itu aku merasa lega karena tidak harus mengobrol dengannya lagi. Jadi aku menyalakan kembali ponsel dan menaikkan volume musik dan kembali melemparkan pandanganku ke luar jendela. Pikiranku lantas memutar peristiwa beberapa minggu yang lalu.
Saat itu kami bertiga berada di ruang tengah. Di luar rumah hujan rintik-rintik. Suara titik-titik di atap berpadu dengan tik-tik jam tangan yang baru saja kau berikan padaku—yang ternyata adalah pemberian laki-laki itu. Kau dan ia duduk berdampingan di hadapanku. Tanganmu merangkul lengan laki-laki itu sambil sesekali saling menatap.
Aku sedang memegang salah satu tangkai sate dan menggigit seinci dagingnya. Kulihat kau juga mengambilkan satu tangkai sate dan menyuapi laki-laki itu.
“Om Ardhi ini juga penggemar sate kambing sepertimu, lo,” ucapmu.
Aku diam saja. Tepat setelah itu … rasanya aneh sekali, seingatku aku selalu menyukai sate kambing yang dibelikan olehmu—jika kau tidak berinisiatif untuk membelikannya maka aku akan merengek padamu untuk dibelikan keesokan harinya, tetapi hari ini sate kambing yang dibelikan olehmu terasa sangat-sangat asam dan pahit. Aneh sekali melihat laki-laki yang kau kenalkan sebagai Om Ardhi itu begitu lahap mengunyahnya. Oleh karena itu setelah mengunyah satu inci daging tadi, aku mengembalikan tangkai sate yang kupegang ke tempatnya semula.
“Aku pamit mengerjakan PR dulu. Terima kasih atas makan malamnya.”
Aku membalikkan badanku dan berjalan menuju kamar.
“Rian ….” Tepat saat membuka pintu kamar, kudengar kau memanggil.
Aku pura-pura tidak mendengarnya.
Sejak malam itu dan seterusnya, persepsiku tentang sate kambing tidak akan pernah sama lagi.
***
“Dik.”
“Dik.”
Seseorang mengguncang-guncang bahuku. Sontak aku terbangun. Ia adalah lelaki yang mengobrol denganku tadi.
“Kereta telah menepi di stasiun terakhir,” lanjutnya.
“Terima kasih, Kak.”
Aku mengikuti penumpang lainnya yang bergegas menurunkan barang bawaannya dan mencari pintu keluar. Di depan stasiun aku duduk di atas trotoar. Sebenarnya aku tidak tahu hendak ke mana setelah ini. Biasanya pada jam-jam ini aku memasak makan malam untuk ibu yang baru tiba di rumah. Meskipun tidak setiap waktu berjumpa, tetapi kami selalu makan bersama kapan pun ada kesempatan.
Tidak pernah sekalipun aku mengeluh karena aku yang harus memasak, membersihkan rumah dan mencuci—semua hal yang biasanya dikerjakan seorang ibu. Walau tidak pernah sekalipun mencicipi masakanmu, aku merasa bisa memahaminya. Kau sudah lelah bekerja seharian untuk menghidupi kami. Aku sudah merasa cukup dengan kenyataan bahwa kau masih ada untukku pada saat makan malam.
Tetapi laki-laki itu, hanya dalam waktu beberapa minggu saja, membuatmu dengan sukarela bangun pagi-pagi sekali untuk memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Dan kau melakukannya sambil berdendang—sesuatu yang tidak pernah sekali pun dilakukan olehmu kepadaku.
Apakah aku hanya menjadi bebanmu saja selama ini?
Kuhela napas panjang dan menengadah—memandang langit yang kemerahan. Untuk beberapa saat aku bertahan dalam posisi demikian.
Meskipun di dalam pikiran aku tidak berniat untuk mencari makanan, tetapi perutku berkata lain. Di saku celanaku masih ada uang empat belas ribu—kembalian dari membeli tiket kereta tadi.
Tepat ketika aku sedang memikirkan hendak mencari makanan atau tidak, tampak seorang pedagang mendorong gerobaknya di hadapanku.
“Sate kambing, Dik?” ia menawariku.
Aku menggeleng dan ia berlalu. Dari gerobaknya itu aroma sate kambing menguar dan membuat nyanyian di perutku semakin kencang.
Oh Ibu … mengapa kau harus menikah lagi?(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita