Pak Cireng

Pak Cireng

Pak Cireng

Mentari tak nampak malu-malu keluar dari tempat persembunyiannya. Hawa dingin yang semula dirasakan, kini berganti dengan panas yang menyengat, membuat kedua siswi berseragam SMA itu sesekali mengusap peluh di wajahnya.

Ini semua ulah Leana yang terburu-buru keluar dari pintu gerbang sekolah demi mengejar seseorang yang sudah enam bulan ini membuatnya bertingkah aneh. Ialah si Penjual Cireng dengan ciri-ciri sebagai berikut: bibir merah penuh, hidung mancung, alis tebal dan rambut sedikit berantakan. Sangat disayangkan, ia tak muda lagi. Mungkin sudah 30-an, seusia ayahku. Namun wajahnya masih nampak muda seperti 20­-an saja. Dan sampai sekarang aku tak habis pikir, apakah Leana benar-benar suka sama Tukang Cireng itu?

***

Hari ini Sabtu, dan itu berarti hari terakhir Pak Cireng berjualan di sekolah kami.  Tentu hal itu membuat Leana semakin gencar untuk buru-buru ke gerobak yang bertuliskan “Pak Cireng” itu.

“Icha, ayo kita kesana. Cepat!” ucap Leana yang sesekali kulihat merapikan poni ala koreanya itu.

“Aduh sabar deh, Le. Pak Cirengnya masih di sana, tidak lari kok,” ucapku sambil setengah berlari. Jujur, aku tak kuat berlari. Aku pernah mengalami kecelakaan lalu lintas yang membuat kedua kakiku patah, dan efeknya masih terasa sampai sekarang.     “Aduh cepet deh, Cha, nanti cirengnya habis, noh,” ucapnya setengah berteriak.

“Kamu ngincar cirengnya apa Pak Cirengnya?”

“Hmm, dua-duanya,” jawabnya sambil tergelak. Langkah kakinya makin cepat.

“Beli cirengnya yang pedas enam,” ucap Leana singkat dengan senyum yang tak kunjung lepas. Sesekali mata bulatnya melirikku yang baru saja sampai.

“Yah, habis … yang ada keju dan coklat. Mau?” tanya Pak Cireng.

“Ya udah deh rasa keju aja,” ucap Leana manja, membuatku memutar mata ke samping. Dasar genit!

“Neng ini tidak suka sama ayam, ya? Masak bulunya di jadiin bando,” ucap penjual pisang caramel yang berada tepat di samping gerobak Pak Cireng.

Aku tertawa pelan mendengar candaan Abang Roni si penjual pisang caramel. Abang Roni tidak kalah rupawan sama Pak Cireng, hanya saja ia berkulit coklat dan rambutnya dipirang-pirangkan. Sok gaul.

Kalau Leana sama Abang Roni sih cocok. Lah kalau Leana sama Pak Cireng? Seperti anak dan ayah saja. Seusai membeli, kami segera mencari tempat duduk yang tidak jauh dari gerobak Pak Cireng.

“Cha, kali ini kamu harus ikut aku,” bisik Leana yang terdengar lebih seperti perintah ketimbang ajakan.

“Ikut kamu jadi penguntit Pak Cireng? Panas-panas seperti ini? Ogah!” tolakku.

“Ayolah, kamu tidak penasaran apa? Kenapa aku bisa suka sama Pak Cireng itu sampai jadi penggemar rahasianya segala. Sekali aja, siapa tahu pintu hati kamu kebuka?” ucap Leana dengan nada menyakinkan.

“Emang pintuku tidak akan kebuka buat orang tua. Aku masih normal kali, masih suka sama kakak kelas daripada—” ucapanku terpotong karena tangan Leana tiba-tiba menyumbat mulutku.

“Diam … itu Pak Cireng udah mau pulang. Yok, ikutin!”

“Lepasin, aku bisa kehabisan napas tauk!”

“Maaf, maaf. Yuk nanti kita bisa ketinggalan,” ucap Leana dengan cengiran khasnya.

Setelah beberapa jam mengikuti Pak Cireng, kini kulihat ia mendatangi satu rumah berhalaman kecil. Sebelumnya ia mampir sebentar ke warung nasi dan keluar membawa sekantong bungkusan nasi.

Saat masuk ke halaman, Pak Cireng langsung diserbu oleh beberapa anak-anak kecil yang nampak girang menyambutnya. Pak Cireng segera memeluk mereka dengan penuh kasih sayang. Apa iya Pak Cireng punya anak sebanyak itu?

“Ayo anak-anak, sekarang kita makan nasi ayam. Alhamdulillah, bapak punya rezeki banyak hari ini,” ucapnya sembari tersenyum dan membawa nasi ayam itu masuk ke dalam.

What? ” pekikku pelan.

“Kamu berisik banget deh, Cha. Kamu kaget kan, bagaimana seorang penjual cireng seribu-lima-ratusan itu bisa mengasuh anak-anak sebanyak itu. Anak-anak itu kurang kasih sayang, orangtua mereka entah ke mana. Mereka bekerja untuk melanjutkan hidup, ada yang jadi pengamen atau pemulung. Tapi setelah kedatangan Pak Cireng, hidup mereka lebih teratur. Pak Cireng ikhlas berbagi kasih sayang pada mereka, merelakan uang hasil jualannya untuk memberi makan puluhan anak panti asuhan kecil seperti ini,” ucap Leana, seperti seorang Ibu yang sedang menasihati anaknya.

“Itulah kenapa aku sering belanja banyak cireng dengannya,” lanjut Leana.

Duh, hatiku luluh juga rasanya. Awalnya aku mengira Leana sudah gila karena terobsesi cireng.

“Dia tidak sendiri, yang jaga panti itu istrinya. Dia udah punya anak perempuan yang umurnya lima tahun. Jadi, aku tidak seburuk yang kamu pikirkan,” ucapnya dengan nada menyindir.

“Jadi, rumah itu adalah panti dan Pak Cireng udah punya keluarga, dan itu berarti kamu tidak beneran suka sama om-om?” tanyaku mencoba menyakinkan.

“Yaiyalah, dan kamu terlalu bodoh untuk mempercayainya,” ucap Leana sembari menjitak pelan kepalaku. “Setelah ini ia akan melanjutkan pekerjaannya yang lain. Jadi pembersih masjid yang diupah dua puluh ribu. Uang segitu bisa beli apa di zaman yang udah serba mahal gini?”

“Hmm.”

“Ya udah, yok, kita pergi, udah kesorean ini,” ucap Leana.

Aku mengikutinya sesekali melirik pintu panti yang terbuka lebar. Memandang tawa riang anak panti yang sedang menikmati makan siangnya dengan penuh kebahagiaan. Sesekali kulihat ukiran senyum Pak Cireng yang tercetak di sudut bibirnya.

Mentari mulai bersembunyi di balik bukit, meninggalkan sesuatu yang tak bisa disembunyikan. Yaitu keberadaan seorang pahlawan bagi mereka yang membutuhkan. Pahlawan bukan hanya mereka yang melawan musuh di medan perang, melainkan juga mereka yang peduli terhadap sesama. Ya, semoga saja masih banyak pahlawan yang seperti itu di dunia ini.(*)

Rye Ayu Cendani, mahasiswi di Universitas Sriwijaya prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat S1. Sangat menggemari novel dan puisi. Penulis yang baru-baru ini ia sukai adalah Boy Candra.

ig : ryecendani Email : ryeayucendani@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita