Sepatu
“Di mana?”
“Di sana!”
“Terima kasih.”
Aku berlalu tak lama setelah gadis berambut pendek itu mengangguk. Tadi, aku bertanya arah menuju taman kanak-kanak. Aku baru seminggu tinggal di daerah ini sehingga tidak mengetahui di mana letak sekolah baruku.
***
“Kamu juga bersekolah di sini?” tanyaku setelah melihat gadis dengan rambut yang dikuncir dua itu berdiri tepat di depan sekolah.
Matanya yang bulat menatapku. Dia menggeleng pelan.
“Tidak,” jawabnya.
Aku lantas menghampirinya, berdiri tepat di depan gadis kecil itu. “Kenapa kau berdiri di sini?”
Gadis itu tertunduk, matanya berkaca-kaca. Dia tidak menjawab sepatah kata pun. Hanya berlari menjauh dariku, bersembunyi di balik pohon besar yang berada di seberang jalan.
Aku mengangkat kedua bahu. Lantas berjalan memasuki pekarangan. Gadis itu, aku tahu dia masih berdiri di sana sambil menatap terus ke arah gerbang sekolah.
***
Apa kamu berdiri di sini terus sepanjang hari?” tanyaku yang juga melihatnya berdiri di tempat yang sama sejak pulang sekolah.
Gadis itu kembali menunduk.
Ada yang aneh dengannya. Ia tidak mengenakan seragam. Tapi ia membawa tas punggung dan mengenakan sepatu lusuh. Sepatu itu jauh lebih besar dari ukuran kakinya yang hampir sama denganku.
“Apa kau tidak sekolah?” tanyaku sekali lagi.
Dan lagi, gadis itu pergi. Hanya saja kali ini ia tidak bersembunyi di balik pohon seperti tadi pagi. Ia pergi lebih jauh, berlari dengan langkahnya yang kecil. Hilang di belokan.
***
“Ini!” seruku sambil menyerahkan sepasang sepatu yang baru kubeli kemarin untuknya.
Sudah sebulan ini aku selalu melihatnya berdiri di depan gerbang sekolah. Mama bilang ia pasti sangat ingin sekolah, tapi mungkin saja ia tidak bisa bersekolah. Itulah sebabnya Mama mengajakku ke toko. Membelikan sepasang sepatu baru untuknya.
Tidak seperti biasanya, gadis itu tidak menundukkan kepala. Ia menatapku lamat-lamat, kemudian memerhatikan tanganku yang memegang kotak sepatu.
“Ini untukmu!” seruku sekali lagi.
Dan untuk kali ini, tangan mungilnya terulur. Ia tersenyum senang sambil menerima kotak yang berisi sepatu berwarna pink. Dan lagi, ia langsung pergi begitu saja. Lantas kembali hilang di tikungan yang sama.
***
“Ini,” ujarnya dengan wajah sendu. Ia mengembalikan sepasang sepatu yang kemarin kuberikan.
“Kenapa? Itu untukmu. Aku telah memberikannya padamu,” tuturku sambil mundur selangkah.
Gadis ini … dia selalu diam. Tertunduk jika kutanyakan sesuatu. Sama seperti saat pertama aku bertemu dengannya di depan gerbang sekolah, matanya berkaca-kaca. Aku dapat melihat sebuah kesedihan pada matanya yang bulat.
Dia menggeleng, meninggalkan kotak sepatu tersebut di jalanan. Dan lagi, tubuhnya kembali menghilang di tempat yang sama.
***
Aku melangkah mengikutinya sepulang sekolah. Aku tahu ia akan berlari lagi saat kutanyakan mengapa ia hanya berdiri. Mengapa ia mengembalikan sepatu yang aku berikan. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang tak pernah dijawabnya sama sekali.
Gadis itu berjalan pelan, kepalanya terus tertunduk. Mungkin ia sedang menatap kerikil-kerikil kecil di pinggir jalan. Atau ia sedang menghitung berapa langkah yang telah diambilnya dari sekolah tadi. Tapi aku tahu, ia tengah memandang sepatu lusuh yang dikenakannya. Berjaga-jaga agar sepatu itu tak terlepas saat ia mengangkat salah satu kakinya.
“Kamu?” sontak aku langsung terkejut begitu melihatnya berdiri tepat di depan makam.
Gadis yang ada di foto itu. Itu adalah gadis yang sama persis seperti gadis yang ada di hadapanku. Siapa sebenarnya gadis di foto tersebut? Apa itu adalah kembarannya?
Gadis berambut pendek yang selalu dikuncir dua itu mengangguk. Wajahnya masih nampak sendu. Dan kini, ia tidak lagi hilang di tikungan. Dia … menghilang tepat di hadapanku seolah-olah tak pernah ada.
Mungkinkah?(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita