Untukmu; Bulan dan Kita, Tak Lagi Terikat

Untukmu; Bulan dan Kita, Tak Lagi Terikat

Untukmu; Bulan dan Kita, Tak Lagi Terikat

Bulan dan Kita, Tak Lagi Terikat

Sadarlah, Sayang
Bukankah dulu bulan menggantung indah; sinarnya bak intan permata
Mungkin saja kamu lupa, atau tak ingin mengingatnya
Tapi aku tertunduk, terduduk di tanah depan rumah

“Bisakah kita kembali?” tanyamu sendu
Nimala cinta?
Ah, aku lupa
Hanya saja aku pergi
Mengantungi sebongkah dusta

Ingin kukatakan bahwa kamu biru
Tapi biarlah, mungkin sewindu
Jangkrik bermain biola
Kabut menutup berbagai prasangka
Tapi kau hilang sebelum senja
Berlalu membisu

Di ujung jalan, kau menatap trotoar; menenteng tas-tas besar
Jemawa
Ilalang berbisik riang
Aku mengintip dari baris-baris kehidupan
Katamu, “kita masih bisa.”
Lantas aku menggeleng
Tidak lagi!

Dan purnama kembali sama seperti bulan Mei
Kau hilang akal–meringkuk di sudut kamar
Bulan tak pernah sama seperti dulu; ia kelabu
Kau mengumpat dari balik selimut
Berteriak memarahi permainan Tuhan
Sedangkan aku?
Sudahlah, lupakan!

Jakarta, 3 Maret 2018

Senyap

Lembayung rindu nirmala cinta
Intan serupa berhambur patah
Lekung nestapa mencuat atma
Yakin dan rasa menjamur dusta
Runtuh dinding-dinding para pemuja
Ombak berdebur menghantam kabur
Setetes bayu menggulung rindu
Elegi terbentuk; mengutuk
Lingkar purnama
Lolongan malam kelam
Anggur menyubur

Jakarta, 5 Maret 2018

Kosakata Tentang Kita, Kau Berbisik di Batas Angin

Perihal angan
Bisikan lagi padaku; makna rindu
Bukan tentang dia yang jatuh ke tanah
Atau tentang dia yang tenggelam di ujung samudera
Ejakan lagi!

Mantra-mantra tak berlaku sama
Bual angin kala tersungkur mega
Kau menyampaikan satu kata
Tidak!
Kau melukis rupa dewa
Lucu memang; kau ambigu

Jelaskan padaku mengapa kita pernah beradu
Di ujung jalan, kau menggenggam tangan
Untuk sekejap hilang setelah murka terlontar
Kau pasrah, menyerah tanpa menyisa
Barangkali kekeliruan menikam ulu hati
Atau melodi memang bernada perih

Ejakan lagi!
Kata yang kau bisikan sebelum berlalu di persimpangan
Tentang kita yang akan kehilangan
Tentang takdir yang tak bisa dipaksakan
Juga tentang rajutan yang mulai melonggar

Ejakan lagi!
Suasana di taman dengan bisu yang bernada
Kicau burung-burung gereja
Hamparan bunga tak berwarna
Dan setelahnya kita bisa mati bersama

Maka untukmu, buang saja kenangan di demaga, juga rumpun rasa tentang senja
Karena pada akhirnya sembilu menyayat lembut, tanpa ada perban yang membalut
Dan kita bisa apa selain menatap hujan dari dalam kamar
Mendengar langkah-langkah yang membekas di atma
Sedangkan kau mati di antaranya
Tergelincir merah yang padam

Jakarta, 7 Maret 2018

Kau, Kepalsuan yang Mengakar

Kita beradu di ujung temu
Netra menunggu, menguap ragu
Katamu, rindu itu pilu
Lantas berlalu meninggalkan sembilu

Aku hanya si buta yang tengah meraba
Membias rasa di antara embun senja
Sudahi saja!
Besok lusa kita akan kembali sama; seperti pengembara

Di depan taman temaram
Kau bersama panggung sandiwara
Dengan rupa seribu wajah
Memikul nirwana untuk semua makhluk bernama hawa
Kemudian menjejak dan pergi beranjak

Pilu
Tak usah kau tanya aku
Bukankah sering kukatakan, “rindu itu jingga”
Dan kau telah hilang makna, beringsut nyata

Pada ranting-ranting patah, merpati merebah
Jatuh dengan pasrah; berserah
Tersandung akar yang melingkar
Juga semak belukar yang menghampa

Jakarta, 10 Maret 2018

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita