Tantangan Loker Kata 22
Naskah Terbaik 9
Reality Show: Sebuah Laporan Resmi
Oleh: Vianda Alshafaq
Kejengkelanku pada pagi itu memiliki rasa yang sama persis seperti kopi dingin dan pahit yang tengah kusesap. Aku tengah menonton liputan berita bencana yang menampilkan adegan terburuk, persis seperti yang kutulis lima hari silam dalam sebuah cerpen satir yang kukirim ke sebuah media—dan gagal dimuat. Naskah itu berjudul, Reality Show: Sebuah Laporan Resmi.
Persis seperti adegan di babak III dalam naskahku, televisi tengah menampilkan adegan Menteri Pepohonan yang mengatakan bahwa banjir yang menghancurkan tiga provinsi di Pulau Buru—Provinsi Samudera Raya, Provinsi Lembah, dan Provinsi Tano Hela—bukanlah diakibatkan oleh penebangan hutan secara ilegal, melainkan penebangan hutan itu telah mendapatkan izin resmi dari kementerian pepohonan. Suaranya terdengar tenang, seperti stempel yang ditempelkan berulang-ulang ke atas kertas izin pembukaan lahan hutan dan pertambangan.
Kepalaku rasanya pening. Otakku rasanya membeku. Aku tak dapat menjawab pertanyaan bagaimana naskah komedi gelapku itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah liputan berita di TV Nasional yang pasti disaksikan banyak orang. Padahal aku menuliskan adegan itu sebagai bentuk keputusasaan atas lambannya penanganan bencana banjir yang terjadi akhir bulan kemarin. Di tengah kebekuan otakku itu, aku dikejutkan oleh suara bel yang tiba-tiba berdering seperti pekikan burung yang kehilangan pohon sebagai tempatnya menaruh sarang.
Aku bangkit dan berjalan ke pintu. Di depan pintu, kudapati empat makhluk—semestinya bisa kusebut makhluk—yang persis seperti empat tokoh kunci dalam cerpenku. Mereka adalah si Menteri Pepohonan yang menggunakan kemeja putih, berambut klimis, sedikit jenggot yang mulai memutih, dan menggunakan sepatu pantofel hitam yang mengkilap, serta membawa sebuah cangkul yang ujungnya terkena sedikit lumpur; sebuah kayu gelondongan berukuran satu meter, tak berakar dan berdaun, memiliki patahan rapi seperti dipotong dengan sinso, tak lagi berkulit, dan memiliki angka 1 di tubuhnya; sebatang pohon sawit kecil dengan beberapa helai daun dan berakar serabut yang masih berlumpur; dan terakhir seorang anak kecil yang menggunakan kemeja berlumpur yang sudah robek karena tersangkut, tanpa sendal, tangan yang patah, dan terluka di sekujur tubuhnya.
Sebetulnya, hal semacam ini, maksudku kunjungan dari tokoh-tokoh yang kuciptakan, bukanlah sesuatu yang aneh. Aku cukup sering didatangi oleh mereka. Namun, sejauh yang kuingat, ini adalah karakter paling absurd yang pernah mendatangiku. Biasanya, aku masih didatangi oleh tokoh-tokoh yang merupakan manusia.
Mereka berempat masuk dan menuju ruang tamu tempat aku tadi menonton televisi. Lumpur berceceran di lantai rumahku. Bau tanah basah dan juga sedikit bau bangkai langsung membuat ruanganku terasa sesak. Ah, bau bangkai dari mayat-mayat yang belum ditemukan benar-benar mengacau perutku.
Menteri Pepohonan langsung duduk selayaknya seorang pejabat di kursi tamu, anak kecil menyusul di sampingnya. Sedang kayu gelondongan dan pohon sawit hanya berdiri di lantai—ya, mereka juga tidak bisa duduk. Untunglah aku hanya membuat kayu gelondongan itu seukuran satu meter. Kalau saja aku membuatnya lebih dari ukuran itu sebagaimana kenyataannya, hancur sudah rumahku sekarang.
Televisi kini sedang menampilkan adegan yang sama persis dengan babak IV dalam naskahku. Seorang presenter membacakan berita mengenai kayu gelondongan yang memenuhi berbagai area setelah banjir surut. Ia juga menyampaikan tanggapan Menteri Pepohonan atas kejadian ini. Sebagaimana yang kutuliskan dalam naskahku, Menteri Pepohonan berkata, “Kayu-kayu yang memenuhi daerah-daerah bekas longsor dan banjir itu bukanlah tumbang alami, tetapi kayu-kayu itu telah ditumbangkan sebelumnya oleh perusahaan-perusahaan yang telah mendapatkan izin. Sebab itulah, kayu-kayu itu tak lagi berdaun dan berkulit.”
Setelah menyaksikan adegan itu, mereka berempat serentak melihat ke arahku yang duduk di kursi seberang Menteri Pepohonan. Mereka menggeleng-gelengkan kepala, seolah-olah berkata, “Payah!”
“Apa? Kenapa melihatku begitu?” Aku tak bisa mengabaikan tatapan mereka.
“Begini, Penulis, seharusnya kamu tidak menyajikan tanggapan semacam itu,” ujar Kayu Gelondongan. “Berita ini terlalu jujur. Harusnya kamu membuat tanggapannya seolah-olah gelondongan kayu—maksudku aku dan teman-temanku, tumbang alami dan bukan diakibatkan oleh penebangan yang berizin. Kalau beritanya terlalu jujur, bisa-bisa kelabakan pemerintahnya. Gimana kalau nanti Menteri Pepohonan malah diperiksa dan berakhir di penjara? Ya, meski di naskahmu tak sampai sejauh itu, sih.”
Aku menatap Kayu Gelondongan itu. Rasa panas yang tadi membeku di otakku kini menjalar ke dada. “Aku menulis yang kuinginkan,” desisku, suaraku nyaris hilang ditelan bau lumpur dan bangkai. Selepas itu, aku kembali memusatkan pandanganku ke layar televisi.
Televisi itu tengah menampilkan perbandingan antara pohon dan kelapa sawit. Menurut tayangan televisi itu—tentu sama seperti naskah cerpenku—kelapa sawit tak dapat menahan curah hujan karena daunnya yang tak saling tumpang tindih, juga akar serabutnya yang tak dapat menahan tanah dan bebatuan. Berbeda dengan pohon kayu besar yang daunnya membentuk kanopi dan akar tunggangnya yang mampu menancap lebih dalam dan kuat menahan tanah serta bebatuan.
“Nah, ini juga. Apa-apaan ini!” Tiba-tiba Pohon Sawit berteriak. Batang kecilnya bergetar. “Aku ini juga pohon. Aku ini juga punya daun, juga punya akar. Seharusnya kamu tidak pilih kasih begitu dong, Penulis. Semua yang berdaun itu ya pohon. Meskipun benar aku tidak bisa menahan bebatuan dan tanah dengan akarku, tetapi aku kan bisa menahan ambruknya ekonomi negara ini karena nilai jualku yang tinggi. Harusnya kamu juga menuliskan fakta soal nilai jualku yang bisa jadi pahlawan devisa. Kalau saja kamu tidak menulis adegan semacam ini, pasti tulisanmu itu sudah dimuat di media kemarin itu.”
Anak kecil yang sejak tadi diam tiba-tiba sedikit meringis kesakitan. Kali ini, “entahlah” tidak bisa menjadi jawaban. Itu adalah ringisan yang persis kuperintahkan untuk dia lakukan di baris kesekian dalam naskahku. Tapi melihat bahunya yang tak simetris, serpihan lumpur kering yang menempel di luka terbuka di pipinya—semua itu membuat kopi pahitku serasa ingin kusemburkan. Saraf di pangkal leherku menegang. Itu bukan lagi drama yang kubaca di font Times New Roman. Itu adalah bau amis yang tidak bisa kuhindari saat ini. Meskipun aku tahu dia hanya ciptaanku, untuk pertama kalinya, aku tidak bisa menahan diri untuk merasa jijik pada diri sendiri.
Mengapa aku menciptakan penderitaan sedetail ini?
Aku membuang pandangan ke televisi. Aku tidak ingin bertanya. Toh, dia cuma ‘makhluk’ ciptaanku. Namun, mataku tetap terasa perih, seolah-olah melihatnya adalah bagian yang harus kubayar karena menukarkan tragedinya dengan kata-kata.
“Seharusnya setelah ini adegan saya kan, Penulis?” Aku menoleh dan mencoba mengingat-ingat kelanjutan naskahku. Dan, ya, berikutnya adalah adegan yang ada dalam babak V cerpenku. Si Anak Kecil dengan kemeja robek dan tangan patah, menangis di tenda pengungsian. Ia berkali-kali menyebut kata ibu dan ayah. Sejak banjir surut, ia tak kunjung menemukan ayah dan ibunya. Kebingungan dan ketakutan menggerogoti jiwanya yang sudah nyaris tak selamat andai saja tak ada relawan yang menemukannya tersangkut di sebuah tiang. Di adegan yang sama, Menteri Pepohonan mengunjungi tenda pengungsian dan menemui semua pengungsi di sana, termasuk si Anak Kecil. Ia secara kebetulan berada di barisan paling depan, sehingga Menteri Pepohonan langsung berbicara dengannya. Menteri Pepohonan menjanjikan anak kecil itu pendidikan gratis hingga sarjana, juga biaya perbaikan rumah senilai seratus juta. Hal serupa juga dijanjikan pada korban lain yang semua anggota keluarganya dibawa hanyut oleh longsor kemarin.
“Bukankah adegan ini terlalu buruk, Penulis?” ujar si Anak Kecil.
“Maksudmu?” Aku menautkan kedua alisku.
“Ya, maksudku, ini adegan paling buruk sepanjang cerpenmu. Coba pikirkan, mana ada pejabat sebaik itu? Itu sama sekali tidak masuk akal. Harusnya, selain sebagai korban bencana, kau juga menjadikan aku korban ketidakpedulian negara dan pejabat. Kalau pejabatnya sebaik Menteri Pepohonan yang kau tulis itu, maka naskahnya jadi kekurangan drama. Harusnya kau tak membuat aku mendapatkan pendidikan gratis dan biaya perbaikan rumah sebanyak itu. Harusnya kau membuatku tak tersentuh oleh bantuan sehingga aku kelaparan. Aku lebih suka seperti itu. Pasti naskahmu terasa lebih hidup juga nyata.”
Aku memikirkan kembali ucapan si Anak Kecil. Apakah naskahku benar-benar akan terasa lebih nyata andai saja aku membuatnya tak tersentuh bantuan dan kelaparan? Ah, sudahlah, Apa gunanya juga memikirkan semua itu sekarang.
Aku kembali memfokuskan diri melihat layar televisi, seperti halnya para tamuku itu. kami menonton semua adegan hingga selesai. Selama itu pula, mereka secara bergantian menceramahiku soal naskahku sendiri. Seharusnya aku menulis begini, seharusnya aku menulis begitu. Hingga akhirnya, setelah televisi menayangkan adegan terakhir, mereka serentak bangkit. Kayu Gelondongan berjalan di depan bak presiden, Menteri Pepohonan merapikan kemejanya, Anak Kecil berjalan tertatih, dan si Kelapa sawit masihlah sedikit ngedumel. Secepat mereka muncul, secepat itu pula mereka berbalik dan meleburkan diri ke udara di luar sana, kembali ke dalam draft cerpen di tempat semula.
Bel rumahku berdering sekali lagi. Aku bergegas menuju pintu, jangan-jangan tamu-tamuku tadi kembali. Sesampainya di pintu, aku tak menemukan seorang pun. Aku hanya menemukan sebuah amplop cokelat bertuliskan “Tidak Memenuhi Syarat Pemuatan” yang tergeletak di lantai. Aku mengambil amplop dan membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah naskah berjudul Penulis Baik Hati. Aku membawa naskah itu ke ruang kerja dan membacanya. Naskah itu berisi seluruh kejadian yang menimpaku hari ini.***
Agam, 12-14 Desember 2025
Vianda Alshafaq, seorang pembaca dan penulis musiman.
