Kabul (Terbaik 14, TL 22)

Kabul (Terbaik 14, TL 22)

Tantangan Loker Kata 22

Naskah Terbaik 14

Kabul

Oleh: Jyhan Rashida

 

[1] –

Ayhner memohon kepada Tuhan untuk apa saja selain bermain peran: “KENAPA HARUS AKU!” Segera dia jatuh berlutut. Lalu, kepada sepasang makam kosong tanpa jasad, yang dibuatnya berdasarkan rasa kehilangan tanpa rupa semata, berkata dengan nelangsa: “Setidaknya berkati aku dari atas sana!”

Lawan bicaranya tengadah dengan ekspresi geli, “Kamu memang pandai mendramatisasi.” Angin semilir, daun-daun gemerisik menjatuhkan serbuk “nunn” dari pangkal-pangkal tipis mereka yang serupa antena belalang sembah. Lawan bicara Ayhner mengambil sejumput “nunn” dari tanah, membaui aroma manis pekat kemudian meniupnya jauh ke ujung utara kekaisaran.

—RALAT

[2] –

Ayhner memohon kepada tuhannya untuk apa saja selain bermain peran: “Aku tidak bisa menanggung hal itu! MUSTAHIL!” Lalu, kepada sepasang makam kosong tanpa jasad, yang dibuatnya berdasarkan rasa kehilangan tanpa rupa semata, berkata seolah air mata mengaliri tenggorokannya: “Tolong berkati aku dari persemayaman kalian!”

Lawan bicaranya tengadah dengan tawa kecil serupa lonceng-lonceng peri, “Sekarang kamu tertipu oleh keputusasaan.” Angin semilir, daun-daun gemerisik menjatuhkan serbuk “nunn” dari pangkal-pangkal tipis yang serupa antena lebah. Lawan bicara Ayhner mengambil sejumput “nunn”, membaui aroma manis pekat kemudian meniupnya jauh ke ujung utara kekaisaran.

—RALAT

[3] –

Ayhner memohon kepada Tuhan: “Berilah aku hidup yang tenang—kumohon, tolong berkati aku dengan ketenangan!” Lalu, kepada sepasang makam kosong tanpa jasad, yang dibuatnya berdasarkan rasa hampa yang seharusnya merupakan duka, ia jatuh berlutut seolah-oleh memohon kekuatan.

Lawan bicaranya mengulurkan tangan, menangkup “nunn” yang hendak terbawa angin, menaburkannya serupa berkah dewa di kepala dan wajah Ayhner. “Maka pergilah ke arah badai.”

—ULANG

[4]

Ayhner berseru kepada Tuhan di sisi makam kosong yang diyakininya sebagai ganti kedua orangtua: “Hapus aku dari kitab takdir!” Lalu, bersumpah demi api yang dia layani: “Akan kubuang hidup sialan ini ke ujung neraka!”

Lawan bicaranya berbisik kepada angin, “Ternyata dia punya kata-kata semacam itu?” Lantas, seraya memandang “nunn” yang jatuh perlahan bagaikan hujan salju emas, tengadah dengan ekspresi bosan, “Kamu memang tak pantas berimprovisasi.”

[5]

Maka Ayhner berlutut kepada Tuhan demi apa pun yang menggantungi batang lehernya: “Aku menyerah.” Kemudian, dengan nelangsa yang tandas setelah empat babak, melirik makam buatan yang kini dia ragukan: “Terserah apa saja ….”

Kalimatnya menggantung di udara. Namun kalimat itu pula segera dibawa pergi reributan angin bersama “nunn” yang kelak menjelma batang-batang gemuk bebunga randell.

Gadis di hadapannya tertawa-tawa: “Tuhan memang ambiguitas yang kita perlukan!” Lalu, sembari meniupkan badai ke ujung selatan kekaisaran lama: “Orang tidak akan tahu kamu memohon pada siapa.”

“Setan!” Ayhner menyela, tak beranjak satu langkah pun meski nyatanya, ingin dia pukuli siapa pun yang ada di depannya saat ini.

Lawan bicaranya mengangguk khidmat. “Memang benar cerita ini jadi membosankan. Bagaimana kalau kamu buat skandal dengan keluarga kekaisaran?”

Detik berikutnya, Ayhner bunuh diri sehingga perlu satu hari penuh bagi sosok yang menjelma gadis muda itu untuk menyusun ulang takdir mereka.

[6] –

Malam jatuh saat Ayhner membuka mata, memandang langit dari tengah hutan perawan berbantalkan makam yang dia pupuk dengan tangannya sendiri.

Makam kosong itu, entah karena apa, menghiburnya dengan cara aneh: bahwa dirinya dan “mereka” memiliki kesamaan dasar yang takkan dikagumi orang: nihilitas pekat yang tak akan tampak dari luar. Namun, Ayhner bukanlah tanah gembur yang tak bisa merasa tertusuk.

Demi menyadari kehadiran lain di hutan gelap itu, kepalanya mendadak kosong, seolah-olah dia melayang, tak lagi mampu meraba kenyataan.

“Aku tidak ingin kamu dilupakan.” Suara itu berbisik, seperti lonceng-lonceng peri dalam legenda tua bangsa Nejrtaz: penduduk asli kekaisaran; para nenek moyangnya yang begitu terkenal.

“… ‘Masyhur adalah siksa.’” Ayhner berbisik, membacakan sebuah ayat dari kitab kuno yang telah lenyap dari peradaban baru.

“Ayhner.”

Itu adalah panggilan. Itu adalah teguran. Itu adalah sayang. Itu adalah segala macam siksa yang tak pernah bisa diarahkan.

Ayhner bangkit memandang lawan bicaranya: “Menyerah saja,” katanya sinis, “kau itu sudah mati sekarang. Lenyap. Tanpa bekas—bukan kematian terhormat dari para pengarang yang telah berserah kepada ciptaannya sendiri.”

“Harusnya saat ini kita berdebat dan aku mengutukmu.”

“AKU MEMANG SUDAH TERKUTUK!”

Percakapan itu padam pergi tanpa menoleh. Api menaungi langkahnya yang terasa berat. Kepalanya sakit. Entah dari arah mana, dia rasakan tatapan tajam: seolah hendak merobek-robek tubuhnya; menghancurkan pertahanannya; menelanjanginya di muka umum seperti yang dilakukan para sipir khusus kepada tawanan mereka sehingga tak tersisa lagi satu rahasia pun dari dirinya.

Hidup dalam kesadaran yang bercampur aduk membuatnya gila. Memang. Namun, yang membuatnya putus asa adalah kenyataan bahwa kematiannya serupa penangguhan abadi yang memuakkan.

“Kau belum boleh mati.”

Berapa kali dia dengar kata-kata itu, yang menjelma sisa-sisa mimpi buruk lengket, menjebaknya dalam kenyataan stannan yang tak akan berakhir sampai seseorang menorehkan “tamat” pada kulit punggungnya?

“Ayhner?”

Lagi.

Apakah tuhan yang satu ini tidak juga lelah?

Ayhner bahkan sudah muak berlutut; memohon; meminta; berdoa—apa saja sebutannya untuk kalimat yang berarti merendah pada kuasa mutlak itu.

“Kubilang aku menyerah,” desahnya. Kalau bisa, dia ingin ambruk saat itu juga.

“Dan bersedia menjadi anti-pahlawan dalam karangan baruku?” Sosok itu mendekat—sosok? Ya: sudah ia tanggalkan kulit ‘gadis muda bermata perak’ yang sejak tadi dipakainya.

“Bukankah sejak tadi aku kelinci percobaanmu?” Ayhner gemetar menyadarinya—haruskah dia buat gestur yang lebih jelas? Haruskah?

Tangannya terkepal sangat erat hingga gemeter itu makin jelas—jika saja api yang sedari tadi menaungi Ayhner tidak memadamkan diri begitu menyadari kehadiran sosok itu.

“Dari mana kamu dapat istilah itu?” Dia menatap Ayhner: kosong, tajam, menyimpan suatu perasaan gelap yang akan dideskripsikan sebagai: tak dapat dibayangkan manusia. “Ralat kalimatnya. Kalian tidak memakai kelinci atau tikus sebagai tumbal eksperimen.”

Tidak.

[7] –

Ayhner memohon kepada Tuhan yang telah mewujud gumpalan hitam pekat: “Kumohon, tolong, tolong bebaskan aku malam ini saja!” Segera dia jatuh berlutut, mengiba, menangkup tangan seolah berdoa. Lalu, pasang-pasang mata yang menatapnya entah dari mana: “Aku benar-benar menyerah!”

Lawan bicaranya tengadah dengan ekspresi geli, “Kamu memang pandai mendramatisasi.”

Angin semilir, daun-daun gemerisik, aroma badai hinggap dari ujung selatan, menjatuhkan batu gaib dalam dada Ayhner yang sejak tadi tak bisa tenang—kenapa, pikirnya, aroma selatan sedemikian pekat?

Serbuk “nunn” kembali jatuh dari pangkal-pangkal tipis mereka yang serupa antena lebah. Mendung berarak pelan menutupi bulan, keduanya merasakan sebuah kiamat kecil: bahwa sebentar lagi, terlambat.

Lawan bicara Ayhner mengambil sejumput “nunn” seraya berbisik, membaui aroma manis pekat yang datang bersamaan dengan jarum yang menunjukkan tengah malam: “Kita tidak bisa.”

Dengan demikian, saudara-saudara, diakhirilah kisah memuakkan ini. [*]

 

Bekasi, 14 Desember 2025

Jyhan Rashida: mengaku suka sama kopi, ikan asin, dan Dazai Osamu.