Figuran (Terbaik 7, TL 22)

Figuran (Terbaik 7, TL 22)

Tantangan Loker Kata 22

Naskah Terbaik 7

Figuran

Oleh: Kepik Merah

 

Sungguh malang.

Lelaki itu tadinya khidmat duduk-duduk mengamati air danau ketika aku sedang lari sore jelang senja di sekitar taman. Pada putaran ketiga, aku melihatnya berdiri dari batang kayu tumbang itu, mendekati tepian danau yang airnya gelap ditinggal pergi matahari. Aku masih berlari sampai akhirnya berhenti begitu air danau membentuk pusaran gelombang kecil. Kagetlah aku, sebab laki-laki itu sudah menghilang ditelan air danau. Jalan buntu. Kunang-kunang terbang di atas kepala. Bertanya aku dalam hati, apakah dia terpeleset, atau menceburkan diri.

Di ambang kegelisahan, aku berpikir bahwa dia terpeleset mungkin karena hari semakin gelap, teriaklah aku meminta bantuan. Orang-orang yang semula tidak memperhatikan, tidak peduli pada laki-laki tua itu, tergerak mencari sumber suara. Petugas jaga, seorang pria berbadan kekar berlari terbirit-birit. Pahlawan itu terjun ke danau, menyelam selama beberapa menit, dan berhasil menarik si lelaki paruh baya berenang ke tepian. Masih berbaju basah kuyup dia memberi pertolongan pertama, hingga tiga kali napas buatan, pria tua itu tersedak, lalu memuntahkan begitu banyak air danau. Aku mengelus dada dengan lega saat dia linglung mencari putrinya.

Angin berembus tenang. Lampu sorot mengarah ke celah kerumunan. Udara di tepian danau terasa lebih dingin dari sebelumnya, menembus selapis kaos dan celana pendekku yang telah basah oleh keringat. Aku terpaku seketika, hampir-hampir menggigil kedinginan. Warga telah membubarkan diri satu persatu, tetapi aku masih sempat menyaksikan si pria tua digamit tangannya oleh seorang perempuan muda yang bersinar terang.

Penjaga taman memperingatkan perempuan itu untuk selalu waspada, keberuntungan tak datang dua kali biasanya. Kuperhatikan dia berkali-kali membungkukkan badan dengan amat sangat dalam, lalu datang menyalamiku.

“Sejujurnya, ada yang ingin kusampaikan padamu sebelum mengakhiri ini. Bahwa aku tahu kamu pasti sudah menungguku sejak lama sambil senyum-senyum, jauh sebelum kalimat pertama paragraf ini dimulai. Sejak sebelum bunyi klik pada tautan yang membawamu ke laman ini. Sejak terakhir kali aku mengajukan naskahku, dan kamu tidak lagi menemukanku dalam sekumpulan kosakata kosong tanpa jiwa. Sebab, baru-baru ini, aku telah melakukan kejahatan yang amat serius.” Perempuan itu menatapku lamat-lamat. “Tapi, terima kasih. Sekali lagi, terima kasih.”

“Ah, teriak saja, apa susahnya.”

“Suara Anda menyelamatkan nyawa orang lain,” kata si penjaga taman, “putri bapak ini hampir kehilangan orang tuanya andaikata Anda menahan diri.”

“Pasti ada malaikat yang menjaganya, pasti. Seperti di film-film.” Aku mengangguk-angguk, lalu mengalihkan tatapan pada gundukan bukit di seberang danau yang mulai gelap. Aku lantas turut membubarkan diri sebab langit senja sudah kehilangan jingganya bertukar dengan gaun malam yang legam.

Tokoh Aku, bukanlah karakter utama. Pemuda itu hanya figuran yang kebetulan lewat. Kebetulan menyaksikan peristiwa. Kebetulan menjadi perantara malaikat baik hati. Kebetulan bikin kesal malaikat pencabut nyawa. Kebetulan merusak skenario. Perempuan muda dan lelaki paruh baya itulah yang semula ingin kuberi panggung.

Orang lansia biasanya memiliki masalah pada penglihatan. Dalam visual mereka, lensa panorama pada saraf matanya cenderung bekerja di bawah pengaruh fisik, psikologis, dan lingkungan luar. Pria tua itu seperti kebanyakan lansia pada umumnya. Sedikit banyak mengalami penurunan ketajaman fokus, sensitif cahaya, membutuhkan penerangan yang lebih baik untuk melihat dengan jelas, terutama ketika membaca dan berjalan di malam hari.

Langit senja pada latar peristiwa di sana sudah sering jadi bahan template penulis lain. Entah itu sebagai latar atau metafora. Langit senja adalah fenomena memukau mata. Disebut-sebut sebagai kanvas emosional yang menyerap energi alam melalui transisi dari terang menuju gelap. Saat matahari terbenam, Pencipta melukis langit dengan sapuan kuas ajaib, mendramatisasi gradasi jingga, merah, ungu dan merah jambu. Para seniman memanfaatkannya. Pun aku.

Usia senja dan langit jingga yang menua jelang malam. Perpaduan dua elemen alam yang sangat emosional, bukan?

Sekarang aku berada di perpustakaan tengah kota. Seperti yang sudah-sudah, entah sudah berapa kali aku berkunjung ke gedung yang layak dijadikan cagar budaya itu sebab ketahanannya melintasi waktu ke waktu. Selalu dengan pola yang sama, tersusun dalam kerangka sutradara ulung yang menyalin formula dasar, maksudku menjadi bagian dari kutu buku lainnya. Tiba-tiba aku sudah mendaftar dalam antrean orang-orang berkacamata bingkai tebal, pergi ke lorong yang menyediakan aneka ragam jenis kertas berjilid—yang aromanya sangat nostalgia, lalu menggapai salah satunya secara acak. Aku tidak memikirkan genre buku-buku, nama-nama tokoh yang lahir dari rahim kreatif, atau catatan kaki yang berisi tafsiran.

Aku ingat sesuatu, bahwa benar aku pernah berada di sana bertahun-tahun yang lalu. Hanya untuk mengulang adegan yang sama, aku kembali ke situasi melankolis.

Sungguh malang.

Pada saat hendak meletakkan buku itu ke meja, seseorang yang bersinar dalam sorotan mengalihkan perhatianku. Alih-alih di meja, buku sekumpulan cerita pendek itu terjun ke lantai parket, jatuh ke kolong meja. Aku biarkan dia bantu memungutnya daripada kami berbenturan kepala, atau bersinggungan buku jari, demi menghindari adegan roman picisan dua sejoli di babak prolog yang sangat klise. Untuk pertama kalinya aku berpapasan langsung dengan pusat semesta yang bersinar dalam pijar cahaya.

“Kamu melihatku?”

“Ya. Kenapa tidak?”

“Aneh, biasanya figuran tidak begini,” sanggahku. “Biasanya, fungsi figuran didesain hanya pelengkap suasana. Aku cukup mengambil buku, menempati salah satu kursi, duduk membaca, lalu pergi. Biasanya, figuran tidak perlu dialog, tidak mencolok, dan tidak ada pun tidak mengapa. Sementara kamu larut bergaul, bersenda gurau, bertukar pandang dengan tokoh utama pria lain.”

Dia malah terkekeh, seolah aku sedang melontarkan lelucon.

“Bukankah kamu yang di taman sore itu?” timpalnya.

“Kamu, putri si Pak Tua?”

“Ya, itu aku.”

Dia tersenyum, memamerkan gigi gingsulnya. Senyum yang menyilaukan alam semesta mana saja.

Sungguh malang.

Kemudian perpustakaan. Bukan pasar, tetapi bilik hening bernama perpustakaan. Dalam banyak plot, perpustakaan sering kali menjadi metode sastra paling sentimental menyentuh konflik, perpaduan antara kekayaan intelektual dan romantisme klasik ruang senyap dari satu atau lebih karakter. Dari perpustakaan, serangkaian makna dan gagasan yang terendap dalam lipatan ilmu pengetahuan keluar dari alam magis imajinasi menjadi rumpun kenangan. Entah kenangan bahagia, dramatis ataupun sengit.

Aku jatuh hati pada cerita pendek Arwah Kunang-kunang milik Rafael Yanuar (2016). Meski bukan berlatar perpustakaan, melainkan sepetak toko buku yang menjual buku baru maupun bekas. Kala itu, membuka narasi cerita pendek dengan penggalan puisi terasa sangat menarik. Apalagi puisi dari orang terkenal sekelas Sapardi. Daya pikatnya luar biasa. Alangkah sialnya aku malah nyaman dibuai mitos dari tempo dulu. Ketimbang makhluk gaib bernama hantu, aku pun lebih suka kata “Arwah”. Rafael tahu cara melakukannya. Dia menempatkan simbol kenangan pada kata “Arwah” dan meletakkan mitos “Kunang-kunang” yang dibalut romantika pelukan masa kecil, cinta pertamanya. Alih-alih beratmosfer seram, begitu justru legit. Jarang sekali ada figuran yang kebetulan jadi tajuk cerita.

[Stud in the Stacks (2018) novel karya Pippa Grant adalah dimensi lain di mana perpustakaan menjadi panggung pentas seni dan kisah romansa tidak hanya ditemukan di dalam buku. Tokoh utamanya adalah seorang pustakawan yang juga bermain peran sebagai pacar palsu profesional di malam hari—karena siapa sih yang lebih memahami wanita dan percintaan selain pria yang hidup dan bernapas dengan novel romantis sepanjang hari?] Referensi ulasan dari American Books, Goodreads.

Aku lupa sudah mengulang berapa kali adegan lari sore di taman. Menggigil aku lantaran angin yang berembus dingin di tengkuk kena keringat di dalam kaos dan celana pendekku. Lampu taman belum sepenuhnya menyala, dan langit sedang berdemonstrasi menenggelamkan mentari di balik siluet pohon-pohon lebat.

Saat masuk ke taman dan mengambil jalan setapak area pejalan kaki, sembari berlari-lari kecil itulah aku melihat lelaki paruh baya itu sedang duduk-duduk di batang kayu tumbang. Posisinya tak jauh dari bibir danau, sekitar lima langkah bila ingin menyentuh permukaan airnya. Di mana sebenarnya, dia bukanlah satu-satunya manula di taman itu. Bisa dikatakan, taman itu semacam ruang publik terbuka bagi semua kalangan. Utamanya bagi mereka yang kesepian di rumah, hanya berteman anjing peliharaan untuk diajak keliling kota, kakek-nenek yang sedang bersantai di luar ruangan pada sore hari, maupun sepasang suami-istri yang bergantian mendorong sadel sepeda roda tiga anak balitanya.

Pada putaran ketiga, matahari beranjak tenggelam, aku pun menghampirinya sebelum terjadi sesuatu. Laki-laki paruh baya itu tersenyum. Saat dia senyum itulah terlihat pancaran cahaya yang menyiramnya, datang dari arah siluet gelap bayangan rimbun pepohonan. Perempuan itu, putri si lelaki paruh baya, memakai gaun putih yang menutupi mata kaki, dan cardigan rajut berwarna cokelat kakao. Dia wangi es krim vanila segar. Berkuncir kuda dan anak rambutnya sedikit berantakan dekat telinga. Aku tak bisa jelaskan bagian wajahnya yang merona. Entah karena pantulan cahaya yang jingga, atau bias kulitnya yang putih kemerahan. Manis.

“Aku tahu kamu pergi ke sini lagi,” ungkapnya bak cenayang.

Sambil menunjukkan buku kumpulan cerita pendek yang kuambil dari rak, aku mengaku, “Aku sudah baca dari halaman pertama cerpen Figuran. Sejak saat itu, aku jadi bertanya-tanya, kapan aku bertemu kamu lagi? Apakah Aku masih jadi figuran di sana?”

Dia tersenyum. “Kita sudah bertemu di perpustakaan,” sahutnya.

“Apakah kita akan bertemu lagi?”

Perempuan itu menatapku lamat-lamat. Dadaku berdebar.

Udara panas menjalar di hidung ketika aku mengembuskan napas. Kaos dan celanaku telah kering dari keringat. Mulutku juga. Tak ada topik yang menarik untuk melanjutkan percakapan.

Tepatnya, tak ada dialog untuk figuran

Terakhir, aku melihat punggung perempuan itu dan si lelaki paruh baya—ayahnya, menjauh dari area danau. Kepergiannya menyisakan ruang kosong di dadaku. Aku sudah tahu namanya, tapi belum sempat memberi tahu namaku.

Aku baru belajar tentang Cliffhanger. Dikutip dari Wikipedia, istilah ini berasal dari novel berseri karya Thomas Hardy, A Pair of Blue Eyes, di mana salah satu tokohnya dibiarkan tergantung di tepi tebing pada akhir episode. Yakni suatu teknik naratif dalam fiksi, bertujuan untuk menguatkan rasa penasaran atas ketidaktahuan akan nasib karakter utama. Teknik ini memungkinkan pembaca untuk terus mengikuti atau mengulang pada lembar pertama. Dalam kasusku, aku sudah tiga kali merevisi naskah untuk mendapatkan akhir yang dramatis.

Kelemahan karakter di sini, aku belum memberinya nama dan latar belakang keluarga. Pikirku, figuran tidak perlu nama, detail rumit seperti deskripsi diri dan watak, menyusul saja bila diperlukan, atau bila ada komentar pertanyaan dari pembaca. Kadang-kadang, fantasiku juga bisa seliar Pippa Grant mengeksekusi karakter Knox. Sayangnya alternatifku pada tokoh laki-laki ini sangat terbatas, sebab sastra bukanlah candu, melainkan pertunjukan kembang api di malam gelap. Improvisasi karakternya tidak cukup kuat untuk mengubahnya jadi protagonis. Jika memungkinkan ada improvisasi, maka pastilah akan aku ganti judul naskah ini.

Selain itu, tampak tokoh perempuan berada dalam situasi yang canggung, seperti sekrup yang bukan pada lubangnya. Sebetulnya aku mau bikin dia jadi protagonisnya, mengingat selalu ada lampu sorot yang otomatis hidup saat kemunculannya, bukannya malah si Aku yang lebih mendominasi. Ataukah sebenarnya itu hanya metafora? Pada titik krusial, klimaks yang membuat kepalaku hampir meledak adalah bagaimana menyelesaikan kisah tentang kehilangan dan menemukan ini.

Aku sungguh kasihan padanya, pergilah aku menemuinya di sana.

Aku melihatnya masuk ke jalan setapak taman itu. Dia sedang berlari-lari kecil saat ayahku yang mengidap demensia ringan biasa duduk-duduk sore jelang senja di batang kayu tumbang dekat danau. Aku telah memikirkan berbagai pendekatan demi menyapanya.

“Pergilah carikan aku segelas teh hangat, dingin sekali sore ini. Andai tadi kamu bawakan aku jaket, atau kain penutup leherku, aku pasti nyaman menikmati matahari. Bukannya malah kedinginan begini,” ketus ayahku.

“Iya, Ayah, iya. Tunggu aku di sini, jangan bergerak ke mana-mana.”

“Mana Ami?” tanyanya.

“Istrimu? Dia sudah lama tidak kembali. Biarkan aku yang mengurusmu, sudahlah.”

Laki-laki itu akan berlari sampai putaran ketiga mengitari jalan setapak. Aku akan kembali setelah membeli segelas teh hangat. Dan bukannya mendapati kegaduhan yang tak pernah kuhendaki sebelumnya.

Dia tak ada di sana. Pergi ke halaman pertama.

Tak ada malaikat yang menolong ayahku. Dia tenggelam di danau yang gelap saat matahari sudah tumbang di kedalaman senja. Penjaga taman yang datang terlambat menyusuri danau, meminta maaf dengan membungkukkan badan berulang-kali. Aku terduduk kaku setelah tubuh dingin ayahku diangkat dari air. Tangisku pecah saat mobil ambulans datang.

Kealpaannya membuat kisah ini belum rampung, dan aku bermaksud memulainya lagi.

Sungguh malang.

Lelaki paruh baya itu tadinya khidmat duduk-duduk mengamati air danau ketika aku sedang lari sore jelang senja di sekitar taman. Pada putaran ketiga, aku melihatnya berdiri dari batang kayu tumbang itu. Seorang perempuan muda bergaun putih dan cardigan rajut berwarna cokelat kakao duduk di sana menemaninya, menunggu seseorang menghampiri. Entah takdir, atau malaikat yang akan menarik lengan ayahnya menjauh dari bibir danau, sebelum sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi. Tapi karena tidak ada yang terjadi sampai matahari sempurna tenggelam, keduanya pun pergi.

Sungguh malang.

Aku tak punya alasan mendekatinya.***

Kaubun, 14 Desember 2025 

Kepik Merah, sedang demam cerpen dan masih percaya jus alpukat asalnya dari Indonesia.