Debu Nabi yang Enggan Kembali
Oleh: Erlyna
Orang-orang di pasar kota Yasrib masih sering berbisik tentang Malik bin Huraiz, lelaki dengan tubuh gagah, tetapi jiwanya retak seperti kendi tanah liat yang dilempar dari menara. Mereka mengatakan ia pernah bersumpah di hadapan Rasul, bahwa ia akan membersihkan dirinya dari dosa-dosa masa lalu, tetapi sumpah itu tidak lebih kokoh dari debu di padang pasir yang akan hilang tertiup angin panas sebelum mencapai langit. Malik, yang dahulu dikenal sebagai penunggang kuda tercepat, penghafal syair terpanjang, dan peminum arak terkuat di seluruh kabilah Aus, akhirnya menjadi contoh bagaimana seseorang dapat dihancurkan bukan oleh pedang musuh atau tipu daya setan, melainkan oleh dirinya sendiri.
Tidak ada yang tahu dari mana benih kerusakan itu tumbuh, apakah dari luka-luka perang Uhud yang tidak kunjung sembuh, atau dari suaranya sendiri yang setiap malam meracuni telinganya dengan ayat-ayat suci yang tidak pernah sanggup ia jalankan. Ia adalah seorang muslim di bibir, tetapi kafir di dada. Setiap kali azan berkumandang, ia berlari ke masjid, sujud bersama jemaah, tetapi dalam sujud itu yang dipuja bukan Allah, melainkan bayangan dirinya yang ingin tampak suci di mata orang banyak. Dan karena itulah, tubuhnya gemetar tiap kali mendengar sabda Nabi: “Celakalah orang yang riya, yang ibadahnya hanya untuk manusia, bukan untuk Tuhannya.” Sabda itu menusuk Malik lebih tajam daripada tombak Quraisy, sebab ia tahu sabda itu ditujukan padanya meski tidak disebut namanya.
Malik adalah seorang anak dari keluarga yang mulia. Ayahnya, Huraiz bin Khalaf, mati syahid dalam Perang Badar. Nama keluarganya harum seperti bunga di musim semi, tetapi anak seorang syahid belum tentu menjadi pewaris syahid. Malik justru tumbuh dengan rasa lapar yang aneh: lapar akan pujian, lapar akan cerita tentang dirinya. Ia mengira pujian manusia adalah jalan tercepat menuju surga, padahal itu adalah api yang perlahan membakar isi dadanya. Di setiap pertemuan kabilah, ia menyanyikan syair panjang tentang kehebatan ayahnya, lalu menyelipkan kisah-kisah rekaan tentang dirinya sendiri: bagaimana ia menunggang kuda menembus seribu pasukan, bagaimana ia pernah menyelamatkan seorang janda dari serangan jin. Orang-orang tertawa dan percaya karena dalam dunia yang penuh luka, kebohongan yang indah lebih mereka cintai daripada kebenaran yang getir.
Namun, kebohongan, seperti unta lapar, selalu menuntut makanan baru. Dan Malik memberinya kisah demi kisah, dusta demi dusta, hingga akhirnya ia sendiri lupa mana yang benar dan mana yang khayal. Itulah titik pertama dari kehancurannya: ketika seseorang tidak lagi sanggup membedakan kebenaran dari kebohongan dirinya.
Suatu malam, setelah Nabi pulang dari safar, Malik memutuskan untuk menemuinya. Ia ingin membersihkan diri, mengaku, menumpahkan semua kebusukan yang menyesakkan dadanya, tetapi saat ia sudah berdiri di depan rumah Nabi, tubuhnya membeku. Lidahnya kaku. Ia mendengar para sahabat sedang mengaji di dalam, suara-suara yang jernih seperti air zamzam, dan tiba-tiba ia merasa dirinya adalah setan yang mengintip di balik pintu. Ia pun berbalik, pulang ke rumahnya lalu menenggak arak sembunyi-sembunyi. Sejak hari itu, setiap kali ia hendak bertobat, ia selalu berhenti di depan pintu Nabi, selalu berbalik, selalu kembali ke bejana arak. Maka orang-orang kemudian mengatakan Malik bin Huraiz adalah lelaki yang mabuk di depan pintu surga.
Dan di situlah titik kedua kehancurannya: ketika seseorang tahu jalan kebenaran, bahkan berdiri tepat di hadapannya, tetapi memilih berputar ke arah kebinasaan.
Waktu terus berjalan, peperangan datang dan pergi, dan Malik tetap terombang-ambing di antara iman dan munafik. Ia ikut perang Khandaq, mengangkat pedang dengan tangan berlumur arak, dan tetap menjerit “Allahu Akbar” dengan mulut yang sore sebelumnya mengumbar syair mesum. Para sahabat mulai berbisik-bisik tentangnya, tetapi tidak seorang pun berani mengucapkan celaan terang-terangan sebab Malik selalu pandai menutupi dirinya dengan amal-amal kecil: sedekah beberapa dirham, zikir di depan umum, atau salat di saf pertama. Semua itu adalah pakaian indah yang menutupi tubuh yang busuk, dan orang-orang hanya melihat luarnya.
Namun, tidak ada pakaian yang bisa menutupi busuk selamanya. Saat Perang Hunain meletus, Malik memperlihatkan wajah aslinya. Di tengah kekacauan, ia berlari bukan ke arah musuh, melainkan ke arah harta rampasan. Ia merampas perhiasan dari mayat-mayat yang belum sempat dikubur, mengisi kantongnya dengan emas sambil berkata, “Ini balasan untuk ayahku yang syahid.” Orang-orang melihatnya, beberapa menegur, tetapi ia menatap mereka dengan mata merah penuh amarah, “Apakah kalian lebih suci dariku? Bukankah kita semua menginginkan surga dengan cara masing-masing?” Kata-kata itu menggema seperti kutukan.
Dan begitulah, titik ketiga kehancurannya: ketika dosa dibungkus dengan alasan suci.
Malam-malam terakhir Malik dipenuhi kegilaan. Ia mulai mendengar suara-suara aneh. Kadang suara ayahnya memanggil dari liang kubur, kadang suara Nabi memanggil namanya dengan marah, kadang suara perempuan-perempuan yang pernah ia gauli secara paksa menjerit di telinganya. Tubuhnya menggigil, keringat asin membasahi bajunya, matanya nyalang seperti hewan yang terjebak dalam perangkap. Ia berjalan di jalan-jalan Yasrib dengan mulut komat-kamit, menuding orang-orang yang lewat sambil berkata, “Kalianlah munafik! Bukan aku!” Hingga akhirnya orang-orang pun berbisik bahwa Malik sudah gila.
Akan tetapi kegilaan, sebagaimana kata seorang penyair tua, hanyalah topeng dari kebenaran yang terlalu keras untuk ditempa. Malik tidak gila, ia hanya sedang menanggung kebenaran dirinya yang busuk. Dan kebenaran itu lebih berat daripada seribu tombak di medan perang.
Suatu fajar, ketika azan pertama berkumandang, Malik bangun dengan wajah pucat. Ia berkata kepada istrinya, seorang perempuan sabar bernama Zainab, “Hari ini aku akan pergi menemui Nabi. Aku akan mengaku, aku akan menangis, aku akan sujud di kakinya. Aku tidak ingin mati dalam keadaan munafik.” Zainab menatapnya dengan mata penuh harap, sebab ia sudah lama berdoa agar suaminya kembali ke jalan Allah. Ia menyiapkan pakaian bersih, memberi Malik segelas air, dan melepasnya dengan doa.
Sayangnya Malik tidak pernah sampai ke rumah Nabi. Di tengah jalan, ia mendengar bisikan, entah dari setan atau dari dirinya sendiri: “Apa gunanya mengaku? Engkau hanya akan dipermalukan. Lebih baik kau mati dengan kebohongan yang indah, daripada hidup dengan kebenaran yang hina.” Malik berhenti melangkah. Tangannya gemetar. Ia lalu berbalik, pergi ke padang pasir, duduk di atas pasir panas, menatap matahari terbit, dan tertawa seperti orang kesetanan. Di sanalah, di tengah padang yang sunyi, tubuhnya ditemukan beberapa hari kemudian, membusuk dengan mulut penuh pasir, seperti ia ingin menelan semesta agar tidak bersaksi atas dosa-dosanya.
Orang-orang bercerita, Nabi sendiri menangis saat mendengar kabar kematiannya. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah lebih pengasih dari ibu kepada anaknya. Tetapi ada orang-orang yang memilih menutup pintu rahmat itu dengan tangannya sendiri.” Kalimat itu menyebar ke seluruh Yasrib, menancap di hati orang-orang seperti paku berkarat. Mereka pun menjadikan Malik sebagai kisah yang diceritakan turun-temurun: tentang seorang lelaki yang bisa berada begitu dekat dengan Nabi, tetapi memilih binasa dalam kehancuran dirinya.
Dan begitulah, Malik bin Huraiz tetap hidup dalam ingatan, bukan sebagai syahid, bukan sebagai sahabat mulia, melainkan sebagai pelajaran pahit: bahwa musuh terbesar manusia bukanlah Quraisy, bukan Yahudi, bukan setan, melainkan dirinya sendiri.
Purworejo, 20 September 2025
Erlyna, perempuan sederhana penyuka dunia anak-anak dan hujan. Aktif mendalami tulisan surealisme. Bisa dihubungi lewat akun Facebook dengan nama yang sama.