Membicarakan Trigger: Ketika Senjata Api Beredar Luas di Korea SelatanĀ
Oleh: Imas Hanifah N
Bagaimana jika semua orang, tidak peduli muda atau tua, seorang warga biasa atau bahkan mantan pengemudi, bisa memiliki senapan dengan puluhan peluru di tangan mereka? Dengan satu tembakan sebagai tanda pertama, tembakan lainnya juga akan terjadi setelahnya, menyebabkan kekacauan di mana-mana. Korban yang jatuh dan puluhan nyawa yang hilang, tak bisa dikembalikan. Ya, itulah yang terjadi di dalam Drama Korea Trigger yang tayang baru-baru ini di platform Netflix. Sebuah drama yang mengusung genre aksi dan kriminal, menyoroti isu-isu penting dalam hal kepemilikan senjata api.
Seperti yang kita ketahui, di negara Amerika Serikat, dengan syarat-syarat tertentu seseorang dapat memiliki pistol demi perlindungan diri. Namun, tidak sedikit kasus kepemilikan senjata api yang sah atau tidak di negara tersebut, berikut kasus penembakan di rumah atau secara massal di ruang publik yang tentunya menimbulkan kerugian besar dan duka yang mendalam. Regulasi soal diperbolehkannya seseorang memiliki senjata api yang kerap disalahgunakan sekaligus sulitnya memburu akar dari pergerakan dan pembelian senjata api ilegal menjadi benang kusut yang sampai detik ini, tampaknya terlampau pelik untuk dijelaskan.
Jauh sebelum hari ini, dulu Korea disebut sebagai negara bebas narkoba. Namun di masa sekarang, sebutan itu telah bergeser. Kasus narkoba di Korea bahkan meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini yang kemudian menunjukkan bahwa gembong narkoba semakin lihai, sementara penanganan, pengendalian, pencegahannya semakin tertinggal. Mirip dengan arah perkembangan senjata api ilegal di dalam drama Trigger, jika pada awalnya kepemilikan pistol atau senapan di negara tersebut terbatas, dengan satu saja langkah pertama sangatlah mudah dari seseorang yang menyelundupkan ratusan senapan ke negara itu, tatanan kehidupan di satu wilayah ke wilayah lain perlahan berubah. Satu demi satu kasus penembakan massal mulai terjadi di tempat-tempat tak terduga dan pihak kepolisian dibuat kebingungan dengan sebuah pertanyaan, siapa yang meminta semua izin-senapan tersebut? Sayangnya mereka telah tertinggal jauh, lebih dari sekedar satu langkah.
Sebenarnya, para pelaku penembakan ini bisa dikatakan adalah korban juga. Ya, korban adalah pelaku, dan pelaku adalah korban. Semacam lingkaran setan yang hanya bisa putus jika salah satunya hilang. Para pelaku rata-rata adalah orang-orang yang terguncang, dan setelah sekian lama menahan diri, mereka tertarik untuk memiliki senjata api, namun tidak begitu saja digunakan. Beberapa menyimpan waktu pelaku sementara hingga kemudian ada satu kejadian atau kata dari pihak yang menyakiti, menjadi semacam trigger (pemicu) yang akhirnya membuat mereka memutuskan menarik pelatuk dari senjata tersebut. Kondisi ini didukung pula oleh fakta bahwa di Korea para laki-laki yang sudah cukup umur akan dikirim untuk melaksanakan wamil atau wajib militer. Mereka yang sudah selesai akan kembali ke masyarakat, dan secara umum, tahu cara memegang senjata api serta menggunakannya.
Dikatakan salah, memang salah. Menghilangkan nyawa seseorang, apa pun alasannya, sesuai dengan hukum yang berlaku adalah suatu bentuk kejahatan yang berat. Namun, alasan para pelaku juga tidak bisa dianggap remeh. Lagi-lagi ini tentang situasi sosial yang mencekik dan ketidakstabilan mental. Para pelaku adalah korban dari dua keadaan itu. Terlalu sulit untuk menanggung rasa sakit lebih lama dan merasa tidak berdaya untuk mengubahnya.
Dari sekian banyak kasus yang diangkat dalam Trigger ini, salah satu kasus mengenai perundungan yang terjadi di SMA bagi saya adalah yang paling menarik. Tema semacam ini memang sering diangkat dalam drama-drama Korea, menunjukkan bahwa perundungan semasa sekolah di negara itu sudah terlalu dalam dan mengakar. Dalam kasus tersebut, terdapat dua murid SMA yang merupakan korban perundungan. Mereka sering dipukul, dihina, dan bahkan secara terang-terangan dipermalukan di hadapan murid-murid lain. Satu hal yang sangat menyeringai, guru-gurunya tampak enggan ikut campur, padahal itu masih di lingkungan sekolah. Kedua korban terpuruk, namun saat menemukan jalan yang dipercaya bisa membuat mereka terlepas dari kubangan Penderita itu, saat menemukan senapan dan mulai belajar cara menghibur, mereka tidak lagi merasa sebagai korban. Tepat ketika mereka memegang senapan, mereka merasa punya kuasa atas nyawa orang lain dan itulah yang menyeret mereka menjadi pelaku kejahatan.
Mencoba memahami keseluruhan perasaan para pelaku, saya dilanda serba salah. Berpikir bahwa membunuh adalah sesuatu yang tidak dapat diterima, tapi saya pun tidak bisa berhenti berempati terhadap pelaku penembakan. Remaja-remaja itu, anak-anak yang malang, seharusnya mereka sedang belajar dengan tenang, alih-alih mendekam di kamar penjara.
Diperankan oleh dua aktor ternama, Kim Nam Gil dan Kim Young Kwang, bisa saya katakan bahwa keduanya telah sukses masuk ke dalam dua karakter utama: polisi penuh ambisi dan penjahat dengan tingkah di luar nalar. Menariknya, saya sebenarnya hampir belum pernah sampai menonton konten-konten promosi drama Korea, tapi karena Trigger, saya menonton acara realita yang menampilkan dua aktor ini mempromosikan drama mereka. Seru saja saat mereka bercerita panjang lebar tentang pembuatan Trigger, apalagi menemukan fakta bahwa dua karakter yang peran mereka berbanding terbalik dari karakter asli mereka di kehidupan nyata. Dalam kenyataannya, rupanya Kim Nam Gil ini adalah seseorang yang ekstrovert dan gemar berbicara, bahkan pernah kena omel staf saat sedang syuting (karena tidak bisa diam) sedangkan Kim Young Kwang adalah orang yang introvert parah dan selalu berbicara dengan hati-hati, sampai-sampai saat sedang syuting acara promosi, staf sempat berpikir apakah mikrofon yang terpasang di baju Kim Young Kwang mati? rupanya bukan. Ia memang tidak berbicara sama sekali.
Secara keseluruhan, saya akan beri Trigger nilai 8/10. Drama ini dimulai dengan pembukaan yang sangat menarik, bergulir dari satu kasus ke kasus lainnya dengan detail yang kuat dan diakhiri dengan penyelesaian yang tepat. Tidak berlebihan, tidak pula berkekurangan. Pas. (*)
Tasikmalaya, 2025
Imas Hanifah N , perempuan kelahiran Tasikmalaya ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Beberapa karyanya dapat ditemui di media online maupun media cetak. Lebih dekat dengan Imas melalui Facebook: Imas Hanifah N dan Instagram: @hani_hanifahn.