Perjalanan Saya Mengenal Sushi
Oleh: M Indah
Pertama kali saya makan sushi adalah waktu kuliah tingkat dua dan harus PKL ke Bali. Pada malam pertama saya dan teman-teman seangkatan tiba di Bali, Sensei–pasangan suami istri Jepang yang menjadi dosen penutur asli di kampus kami–mentraktir kami sushi. Asal muasalnya, beliau terkejut karena dari sekitar 30 mahasiswa jurusan Sastra Jepang di kampus kami, belum ada satu pun yang pernah makan sushi. Harap maklum, sekitar reformasi 98 itu Anda tentu ingat bagaimana kondisi ekonomi Indonesia. Bisa lanjut kuliah saja, saya yang anak guru SD ini sudah sangat bersyukur. Hal itu juga dialami teman-teman seangkatan saya sehingga makanan dari luar negeri termasuk barang mewah untuk kami.
Kembali ke urusan traktiran sushi tadi, Sensei membelikan kami nigirizushi–kepalan kecil nasi dengan irisan ikan di atasnya. Satu orang harus mengambil satu dan terus terang saya tidak ingat memilih rasa apa. Saya hanya ingat memasukkan sushi itu ke mulut dengan menahan napas lalu mengunyah pelan-pelan untuk menikmati rasanya. Enak. Itu yang saya ingat. Sementara beberapa teman langsung lari ke kamar untuk memuntahkan apa yang mereka makan. Ternyata mereka mencium sushi itu sebelum mencoba memakannya. Aroma ikan yang cukup amis ditambah pemikiran bahwa ‘sushi=ikan mentah=amis’ membuat mereka mual.
Sejak peristiwa itu, saya mempunyai keyakinan bahwa saya bisa makan sushi dan memang saya mendapatkan kesempatan makan sushi dari yang murah hingga yang mahal. Tentu saja sushi mahal ini adalah hasil traktiran orang baik saat saya kuliah di Jepang dulu. Orang baik ini mengajak saya ke restoran sushi dan tanpa saya duga, sushi yang akan kami makan dibuat langsung oleh koki di hadapan kami, semacam roti yang ‘fresh from the oven’ begitu.
Pada masa awal belajar bahasa Jepang dan dikenalkan pada makanan Jepang, saya tidak bisa membedakan antara sushi dan sashimi. Padahal simpel saja, sushi ada nasinya dan sashimi hanya potongan ikan. Jadi jika disimpulkan secara sederhana, sushi adalah nasi kepal yang diberi potongan sashimi. Namun pada kenyataannya, tidak hanya sashimi yang ‘nangkring’ di atas nasi kepal. Ada telur dadar tamagoyaki, udang rebus, udang goreng tempura, berbagai jenis telur ikan (tobiko, ikura, masago, tarako, kazunoko), dan masih banyak lagi. Pada perkembangannya, sushi dengan ikan panggang berbumbu tare atau mayones pun ada. Yang belum pernah saya cicipi adalah sushi daging sapi dan daging kuda karena dagingnya tidak halal. Berdasarkan testimoni teman saya yang beragama Nasrani, rasanya seperti daging sapi biasa, hanya saja daging kuda ini sedikit liat. Ya sudah, saya tidak penasaran lagi.
Beberapa waktu yang lalu saya menemukan situs JFF Theater yang menayangkan banyak film Jepang dan video dokumenter tentang hal-hal yang berkaitan dengan Jepang. Di situ saya menemukan video tentang sejarah sushi. Ternyata, sushi pertama dibuat di Jepang sekitar 1200 tahun yang lalu dan bentuknya sama sekali berbeda dari yang sekarang dikenal di seluruh dunia.
Pada masa itu, sushi hanya dikonsumsi oleh kalangan bangsawan dan memerlukan waktu dua tahun untuk membuatnya. Sushi tertua disebut narezushi, dibuat dari ikan funa jenis nigorobuna yang difermentasi menggunakan nasi selama dua tahun (funazushi). Ikan ini diambil dari danau Biwa di prefektur Shiga yang dekat dengan ibukota Jepang zaman dahulu yaitu Kyoto. Hal yang mengejutkan dari funazushi ini adalah hanya daging ikan yang dimakan sementara nasi yang digunakan untuk proses fermentasi tersebut dibuang. Sungguh sebuah kesenjangan pangan bagi rakyat Jepang masa itu.
Setelah nasi menjadi makanan pokok untuk semua kalangan, di prefektur Gifu muncul narezushi dari ikan ayu dengan masa fermentasi yang lebih pendek yaitu tiga bulan. Satu lagi yang berbeda dengan funazushi, nasi di narezushi ikan ayu ini turut dimakan.
Kemudian pada zaman Edo, Jepang sedang giat-giatnya membangun Tokyo (Edo) yang menjadi ibukota baru sehingga para lelaki berkumpul di Tokyo untuk bekerja. Untuk mengimbangi kebutuhan makanan mereka, penjual makanan berkreasi membuat sushi tanpa fermentasi sehingga bisa langsung dimakan. Mereka membubuhkan campuran cuka makan ke nasi sebelum dikepal dan diberi potongan ikan segar di atasnya. Inilah yang kita kenal sebagai sushi sekarang ini.
Lalu, apakah narezushi sudah punah? Narezushi masih ada hingga sekarang dan menjadi makanan persembahan untuk perayaan keagamaan di jinja (kuil agama Shinto). Sayang sekali saya baru tahu tentang narezushi ini sekarang jadi belum pernah merasakannya. Anda yang berencana melakukan kunjungan ke Jepang, terutama ke wilayah Kyoto, mungkin bisa bertanya kepada teman atau pemandu wisata mengenai narezushi ini. Barangkali Anda beruntung bisa mencicipi sushi kuno yang telah difermentasi selama dua tahun tersebut.[]
Tangerang, 25 Agustus 2025
M Indah adalah nama pena seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis untuk menyebarkan kisah-kisah yang mungkin belum pernah terdengar.
