Photocopier (Penyalin Cahaya)

Photocopier (Penyalin Cahaya)

Photocopier (Penyalin Cahaya)

Oleh: Maurien Razsya

 

Judul: Photocopier (Penyalin Cahaya)

Sutradara: Wregas Bhanuteja

Tahun Rilis: 2021

Durasi: 2 jam 10 menit

Produksi: Rekata Studio dan Kaninga Pictures

Pemain Film: Shenina Cinnamon, Chicco Kurniawan, Jerome Kurnia, Lutesha, dll

 

Cerita bermula dari seorang mahasiswi bernama Suryani, yang hidupnya berubah drastis setelah kejadian di sebuah pesta kampus. Dia kehilangan beasiswanya setelah foto meminumnya disebarkan secara berani. Saya tidak ingat apa yang terjadi malam itu. Dengan bantuan teman dari tempat fotokopi kampus, Sur mulai menyelidiki kejadian tersebut dan secara perlahan mengungkap kejahatan yang jauh lebih besar.

Suryani sebagai tokoh utama digambarkan dengan sangat kuat dan realistis. Dia bukan sosok pahlawan tanpa cela, melainkan seorang gadis biasa yang penuh keraguan, ketakutan, dan kemarahan. Perjalanan emosionalnya yang kompleks membuat penonton bisa merasakan kedalaman trauma sekaligus keberanian yang dia miliki untuk tidak menyerah.

Film ini mengangkat tema kekerasan seksual, sebuah isu yang sensitif namun sangat relevan di Indonesia. Ia menggambarkan bagaimana korban dan orang-orang di sekitarnya menghadapi konsekuensi dari peristiwa tersebut dalam masyarakat yang sering kali lebih cepat menghakimi daripada mencari kebenaran.

Meski terlihat memasukkan aspek kekerasan seksual sebagai inti cerita, Fotocopier sebenarnya lebih dalam dari itu. Film ini memotret tekanan sosial terhadap korban dan bagaimana kampus serta masyarakat seolah-olah membungkam suara korban. Ini menjadi kritik tajam terhadap budaya yang masih menempatkan wanita dalam posisi rentan dan disalahkan atas pengalaman traumatis mereka sendiri.

Sur menjadi simbol korban yang sering disalahkan, sementara pelaku yang mempunyai posisi lebih tinggi bisa bebas dari konsekuensi.

“Kamu tidak punya bukti, Sur.” Itu adalah kutipan dialog yang menggambarkan kenyataan bahwa korban sering kali membuktikan kebenarannya, bukan sebaliknya.

Penting juga untuk mencatat bagaimana film ini tidak membuat Suryani menjadi “korban pasif”. Dia adalah agen perubahan yang berusaha membuka mata lingkungan dan masyarakat sekitar. Ini sangat penting, karena banyak film yang mengambil tema serupa cenderung menampilkan korban dalam posisi lemah dan pasrah, sementara film ini memberikan gambaran bahwa keberanian bisa muncul dari siapa saja, meskipun dalam situasi yang sangat sulit.

Salah satu aspek yang sangat menarik dari film ini adalah penggunaan motif alat fotokopi sebagai simbol. Fotokopi tidak hanya sekedar alat cetak dokumen, namun dalam film ini menjadi metafora dari “penggandaan fakta” ​​dan bagaimana informasi bisa dengan mudah diputarbalikkan atau didistorsi ketika beredar di dunia digital.

Film ini juga menampilkan sisi gelap media sosial yang sering dianggap sebagai sarana demokrasi dan kebebasan berekspresi, namun dalam praktiknya bisa menjadi alat untuk intimidasi , disinformasi, dan manipulasi opini publik.

Suryani yang berjuang mencari keadilan harus menghadapi gelombang informasi yang tidak selalu benar, hoaks, serta tekanan dari media sosial yang dapat memicu keadaan. Ini sangat relevan tentang era kebenaran digital yang bisa dipermainkan, dan bagaimana korban harus berjuang tidak hanya melawan pelaku, tapi juga narasi palsu yang bisa menghancurkan reputasi dan mental mereka.

Mesin fotokopi mengajak penonton untuk tidak mudah percaya pada berita yang disebarkan tanpa bukti kuat, sekaligus mengingatkan bahwa teknologi bisa menjadi alat bantu sekaligus menghalangi keadilan.

Relevansi film ini juga tidak dapat dilepaskan dari konteks Indonesia yang masih berjuang dalam hal perlindungan hak-hak perempuan, kebebasan berekspresi, dan transparansi institusi pendidikan.

Mesin fotokopi termasuk berhasil memenangkan 12 kategori Piala Citra di Festival Film Indonesia 2021 (termasuk di antaranya Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Skenario Asli Terbaik). Pun masuk di World Premiere di Busan International Film Festival 2021. Belum termasuk beberapa penghargaan di Festival Film Tempo 2021.

Di luar kekurangan seperti jalan film yang terasa agak lambat di tengah, karakter pemeran lain yang kurang tereksplor, juga kontroversi penulis skenarionya, film Photocopier bagus untuk ditonton. Terutama (khususnya untuk saya) karena banyak subteks yang bisa digali dan dipelajari bersama.

Mesin fotokopi bukan hanya film tentang pencarian kebenaran, tapi juga seruan keras terhadap budaya diam, nerimo , dan kekuasaan yang menindas semena-mena. Sebagai film indie, Photocopier adalah film yang berani dan penuh pesan.

(*)

 

Erien , berjuang menjadi anak, istri, dan ibu yang baik.