Lelaki Harimau: Luka Hati Margio
Oleh: Ika Mulyani
“Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai Jahro tengah masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang terbang di antara batang kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai jinak merangkak di antara ganggang, dadap, dan semak lantana.”
Kalimat di atas merupakan kalimat pertama yang membuka salah satu novel karya Eka Kurniawan: “Lelaki Harimau”, novel yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, Jerman, dan Korea, serta meraih penghargaan Book of the Year dari IKAPI 2015.
Sejak tuntas membaca Cantik Itu Luka, karya Eka Kurniawan yang fenomenal–terutama setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan masuk dalam daftar 100 Notable Books versi The New York Times, saya ingin sekali membaca bukunya yang lain; Lelaki Harimau ada dalam daftar teratas.
Sebenarnya saya bisa saja mencari buku itu di Ipusnas, seperti yang dilakukan oleh teman-teman, tetapi bagi saya, membaca lewat layar ponsel itu melelahkan mata. Cantik Itu Luka saya baca dari buku fisik milik teman sesama pengajar di bimbel. Betapa girangnya saya ketika pada satu kunjungan ke Perpustakaan Umum Kota Bogor, saya menemukan Lelaki Harimau bertengger di salah satu rak. Bukunya masih baru dan sangat mulus, rupanya cetakan terbaru, dan ternyata saya adalah peminjamnya yang pertama.
Sejak kalimat pertama, saya langsung terpikat, apalagi ketika tiba di ending-nya beberapa hari kemudian. “Itulah kala harimau di dalam tubuhnya keluar. Putih serupa angsa.”
Wow. Saya tertegun cukup lama. Kalian harus membaca buku itu sampai tuntas agar bisa memahami, betapa kalimat penutup sesederhana itu bisa begitu berkesan bagi saya.
Di awal novel, penulis menceritakan apa yang telah dilakukan oleh Margio terhadap Anwar Sadat. Margio adalah seorang pemuda usia awal dua puluhan, putra pertama Nuraeni dengan Komar bin Syueb. Sementara Anwar Sadat adalah tetangga mereka, tempat Nuraeni bekerja sebagai asisten rumah tangga paruh waktu, sementara Kaisa istri Anwar Sadat sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit sebagai seorang bidan.
Mengapa Margio nekad menghilangkan nyawa Anwar Sadat, bahkan dengan cara yang sangat tidak lazim? Tidak ada satu pun orang yang mengenal mereka bisa menemukan jawabannya.
“Tadi siang aku melihatnya menenteng pedang samurai bangka berkarat sisa perang. Anak celaka, kuharap ia tak mengambilnya selepas kurampas benda celaka itu.”
Itu perkataan Mayor Sardah, salah seorang tetua di desa tempat Margio tinggal, kepada Ma Soma si guru mengaji.
“Memang tidak,” kata Ma Soma. “Bocah itu menggigit putus urat lehernya.”
Benar-benar cara menghilangkan nyawa yang tidak lazim dan–mengikuti istilah yang dipakai penulis–primitif.
Mayor Sardah kemudian mengunjungi Margio yang ditahan di markas rayon militer.
“Bukan aku,” kata Margio tenang dan tanpa dosa. “Ada harimau di dalam tubuhku.”
Kalimat itu menutup bab pertama. Lalu, apakah benar ada harimau dalam tubuh Margio? Ma Muah, seorang tetua menceritakan tentang leluhur Margio yang konon menikahi harimau. Binatang magis itu menjaga manusia pemiliknya, dan membuatnya kebal terhadap berbagai senjata mema tikan. Si harimau diwariskan turun temurun hingga sampai pada kakek Margio.
Cerita itu bisa saja hanya dongeng yang disampaikan turun temurun dan akhirnya didengar Margio dari Ma Muah si pendongeng. Akan tetapi, pada satu pagi, Margio percaya harimau itu mendatanginya dan masuk ke dalam dirinya. Ia mewarisinya langsung dari sang kakek, tidak melewati ayahnya terlebih dahulu.
Saya berpendapat, sosok harimau itu barangkali bisa juga dianggap sebagai metafora dari kemarahan, kemurkaan, yang muncul setelah Margio tak dapat lagi menanggung luka yang teramat dalam di hatinya saat melihat kekacauan dalam keluarganya, terutama sang ibu yang sangat dikasihinya.
Pada bab dua dan bab-bab selanjutnya, penulis membawa pembaca ke masa lalu keluarga Margio dan Anwar Sadat. Dengan cermat, sabar, dan tidak tergesa-gesa, menggunakan alur maju mundur yang cantik, penulis menuturkan cerita yang berhasil menggambarkan kekuatan karakter setiap tokoh.
Cerita dari masa lalu itu bergulir, mengalir hingga kemudian tiba kembali pada kejadian yang disebutkan pada kalimat pembuka, dengan kalimat penutup yang menohok. Circular ending yang benar-benar mulus.
Penulis dengan piawai berhasil membuat bagaimana perilaku atau tindakan setiap tokoh menjadi begitu beralasan dan jadi berterima, meski secara moral dan etika tidak bisa dibenarkan. Kompleksitas emosinya begitu kuat. Bahkan pada akhirnya saya bisa berempati kepada Margio, pada ayahnya, juga pada ibunya, seakan saya sendiri yang merasakan kepedihan mereka.
Pada akhirnya, penulis berhasil menggiring pikiran saya untuk membenarkan tindakan “jahat” Margio. Sengaja kata itu saya beri tanda petik, karena memang kompleks, tergantung dari sisi mana kita memandangnya. Sekali lagi, kalian harus membaca buku ini untuk bisa lebih memahami apa yang saya rasakan.
Luar biasa. Saya ingin sekali bisa menulis sebagus itu.
Ciawi, 25 Agustus 2025
Ika Mulyani, emak-emak yang masih harus banyak belajar menulis, meski sudah jadi bagian dalam kelas selama bertahun-tahun.
