Kotaci Halaman 21 (Terbaik 1, TL 21)

Kotaci Halaman 21 (Terbaik 1, TL 21)

Tantangan Loker Kata 21

Naskah Terbaik 1

Kotaci Halaman 21

Oleh : Tri Wahyu U.

Bukan kebiasaanku untuk menguping. Tapi pagi itu selesai menjahit rok panjang yang robek, dari balik pintu aku mendengar seorang tetangga sedang membicarakan hal yang serius dengan Kakek. Wajahnya tak kalah kisut dari wajah Kakek waktu itu, ketika ia bingung memikirkan buah-buah kami yang rusak dimakan tikus lalu menderita batuk berkepanjangan. Dan kekisutan itu sekarang menulariku. Bayangan kalau kami akan menjalani lagi kehidupan yang rumit seperti tujuh tahun silam di halaman-halaman lusuh, terdengar lebih melelahkan ketimbang harus mengupas dan menjemur sendirian enam keranjang kesemek di bawah terik matahari yang menyengat, serta mengurus kebun tempat kami menanam ubi, kentang, dan sawi.

Selain Kakek yang belakangan sering melamun, suasana di luar juga berbeda dari biasanya. Orang-orang seperti menyimpan ketakutan serupa, meski mereka tak membicarakannya. Tidak, sebenarnya mereka terus membicarakan kabar itu dengan berbisik-bisik. Persis yang Kakek lakukan saat aku menguping. Karena kabar itu pula, seorang teman mengajakku bertemu.

“Aku tidak mau lagi melihat Ayah memukul Ibu seperti orang kesetanan,” begitu kata Mara saat kami berjalan-jalan di seberang toko Bibi Moreta. “Bagaimana denganmu? Aku tahu ini sulit. Tapi aku yakin kau juga percaya. Pasti ada cara untuk menyelamatkan hidup kita semua di sini, dan mencegah petaka itu terjadi. Apa kau tidak ingin mencobanya, Qui? Aku rasa kita bisa melakukannya bersama.”

Aku menghela napas. Selama berbulan-bulan semenjak halaman terakhir cerita kami ditulis, satu per satu dari kami berhenti menunggu lalu perlahan menata sendiri hidup kami yang sulit. Siang malam kami bekerja keras, bertahan menghadapi perlakuan buruk orang-orang yang kehilangan akal sehatnya, termasuk orang-orang terdekat kami, sampai akhirnya muncul sebuah harapan bahwa hidup akan berjalan lebih mudah. Namun, sekarang ketenangan kami terusik oleh kabar bahwa halaman 21 kami akan ditulis. Yang artinya, kami akan mengulang kembali hidup di halaman 20. Halaman yang paling kubenci. Saat-saat yang melelahkan bagiku karena harus bersembunyi dari kejaran Paman Lian. Lelaki melarat yang ingin menjadikanku istri keempatnya. Untungnya lelaki itu lekas mati di tangan istri pertamanya, sebab muak hanya dijadikan mesin pencetak uang dan pemuas nafsu di atas ranjang—tentu saja hanya ketika istri-istrinya yang lain sedang mengalami hari merah.

Pada halaman itu juga Bibi Moreta nyaris kehilangan tokonya karena ulah Fu. Anaknya itu sangat merepotkan. Ia gemar berutang ke sembarang orang, sehingga Bibi Moreta harus mengeluarkan banyak uang untuk melunasinya. Berjarak beberapa gang dari rumah Bibi Moreta, si bocah yatim piatu sepertiku mengalami keadaan yang tak kalah menyedihkan. Kakak lelaki yang merupakan saudara satu-satunya, pergi meninggalkannya seorang diri. Merasa kesepian, dia pun membawa pulang seekor anjing liar untuk menemaninya tinggal di kolong jembatan. Melihat semua itu, dan alasan kenapa aku menyebut masa lalu kami “halaman-halaman yang lusuh”, seketika mengingatkanku pada dunia Kepiting Merah.

Menurut Kakek dongeng itu sangat terkenal karena kepiting merah berhasil diternakkan dengan sangat baik oleh seorang koki bernama Anko, lalu ia menjadikan kepiting-kepiting itu sebagai hidangan mahal di restoran miliknya. Tapi suatu kali, Bibi Moreta tanpa sengaja berkata, “Mungkin tak lama lagi Kotaci akan seperti Kepiting Merah”.

“Memang apa yang dialami Kepiting Merah?” aku penasaran, dan ternyata benar dugaanku kalau ada rahasia yang belum Kakek ceritakan. Bibi Moreta memang bukan orang yang pandai berbohong. Jadi, ia pun bercerita yang sebenarnya.

Bahwa dulu sekali, Kepiting Merah adalah dunia yang tenang dan nyaman. Orang-orang yang tinggal di dalamnya sangat beruntung. Mereka hidup dengan senang. Sampai suatu malam tanpa seorang pun tahu apa yang terjadi di dunia luar, tiba-tiba saja kisah Anko dan kepiting-kepitingnya berhenti ditulis. Kekacauan pun terjadi. Orang-orang termasuk Anko bingung harus berbuat apa. Saat kekacauan mereda dan keadaan mulai membaik, sesuatu yang lebih mengejutkan muncul. Halaman yang bertahun-tahun kosong terisi kembali. Jalan hidup mereka pun berubah, tak seperti yang setiap orang inginkan.

“Apa tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghentikannya?” tanyaku memotong cerita.

“Saat itu tidak.”

“Maksudmu … kalau sekarang Kotaci mengalami hal yang seperti Kepiting Merah alami, ada sesuatu yang bisa kita lakukan?”

Bibi Moreta mengangguk. Katanya, ada satu cara yang bisa kami lakukan untuk menyelamatkan hidup kami. Yaitu masuk ke dunia tempat Kotaci ditulis.

***

Ibu Mara jatuh sakit. Karena itulah Mara memintaku untuk menunggu agar dia bisa ikut. Tapi aku menolak, aku khawatir kalau halaman 21 mulai ditulis ketika kami sedang menunggu ibunya sehat kembali, dan saat itu terjadi semuanya sudah terlambat. Maka hari ini usai berpesan kepada Kakek agar tidak lupa minum obat, aku bergegas pergi. Menuju dunia yang belum pernah aku kenal. Untuk sampai ke situ, terlebih dahulu aku harus menuju Esruka, tepatnya ke sebuah kedai bertingkat yang tampak kuno. Begitu tiba di depan kedai, aku melihat ada dua pengunjung yang sedang makan. Di belakang mereka, seorang pelayan sedang membereskan meja. Dia menoleh sebentar, lalu melambaikan tangan, sehingga tak lama kemudian datang lagi seorang pengunjung ke dalam kedai. Pelayan itu tersenyum senang. Sebenarnya aku tidak lapar, tapi melihat orang-orang menyantap makanan lezat yang aromanya sampai tercium ke luar, membuatku tergiur untuk mencicipinya.

Saat pintu kedai kubuka, aku terkejut melihat suasana di dalamnya yang berbeda sekali dari yang barusan kulihat. Tak ada pelayan maupun pengunjung. Atau sebuah benda di depanku. Yang ada hanyalah gelap, semakin aku mencari-cari cahaya, udara di sekitar semakin terasa kencang. Lalu tepat saat aku masih berpikir harus melakukan apa, aku merasakan udara memutar mengelilingi tubuhku, dan dalam sekejap aku tersedot masuk, lalu terlempar ke sebuah kamar … milik penulis Kotaci?

“Bibi Moreta benar. Sayang sekali orang-orang Kepiting Merah tidak mengetahui rahasia ini,” ucapku takjub, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. “Tapi di mana catatan itu?”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, aku buru-buru mencari buku berjudul Kotaci di dalam lemari besar dekat televisi. “Dasar kuno,” ejekku tidak habis pikir bagaimana bisa seseorang menulis cerita menggunakan buku. Memangnya di rumah yang sebesar ini tidak ada peralatan menulis yang lebih bagus? Benar-benar payah! Sekarang aku bukan sedang menggerutu soal peralatan menulis, melainkan karena aku belum bisa menemukan catatan yang aku cari. Sesuai rencana, kalau sudah ketemu, buku itu akan kubawa pulang ke Kotaci, lalu kubakar supaya kami tidak hidup dalam kekhawatiran lagi.

“Ah, tapi di mana dia menyimpan bukunya?” gerutuku sangat kesal. Disusul suara yang muncul di belakangku.

Sambil berdiri keheranan, seorang lelaki bertanya apa yang sedang kulakukan. Aku sempat bingung harus mengatakan apa, karena mataku terus saja memandang parasnya yang manis. Dan tidak asing. Aku merasa di Kotaci, aku pernah melihat orang berwajah sama seperti dia. Jadi, aku mencoba mengingat-ingat nama lelaki yang pernah kukenal atau kutemui di Kotaci. Sementara itu, dia mendekat, seperti sedang meneliti wajahku.

“Qu … i?” katanya kemudian. “Apa benar itu kau? Tapi bagaimana bisa kau ke sini?”

“Kau tidak usah tau. Yang perlu kau lakukan sekarang cuma … berikan bukumu,” sahutku cepat. Namun seperti yang sudah kuduga, itu tidak akan mudah. Lelaki bernama Anko itu enggan memberikan catatannya, meski telah kujelaskan kenapa aku datang kemari.

“Ternyata kau sangat egois,” kukatakan itu dengan keras. “Apa kau kira hidup kami mainan? Setelah kau menulis tentang kami semua, menelantarkan kami bertahun-tahun lamanya, lalu sekarang seenak hati kau ingin melanjutkan ceritanya. Sepertinya kau sangat suka menyiksa orang. Tapi apa kau tau bagaimana kami selama tujuh tahun yang lalu? Begini saja, bagaimana kalau kau yang menjalani hidup seperti kami. Apa kau bisa—”

“Aku bisa.”

“Apa?”

“Kenapa kalian tidak ingin aku menulis cerita itu lagi? Apa kalian tidak percaya aku bisa membuat hidup kalian berakhir menyenangkan? Lagi pula, berapa banyak pun halaman buku itu berakhir, kalian tetap hidup bukan?”

Aku nyaris mengumpat. Terlebih tatapan matanya sangat mengganggu. “Seperti apa pun kesenangan yang ingin kau tuliskan di halaman terakhir kami, tetap saja kami harus menderita lagi. Sepertinya kau memang orang yang tidak punya hati. Atau jangan-jangan, kau tidak pernah mengalami hidup yang sulit?”

Anko diam. Pembicaraan kami yang terhenti sebentar membuatku mengingat sesuatu, bahwa Anko adalah nama lelaki di dunia Kepiting Merah. Ya, aku mengenali namanya bukan wajahnya. Mungkin itu yang membuatku merasa tidak asing dengannya.

“Selain rahasia masuk ke dalam kamarku, apa kau tau cara kembali ke rumahmu?” tanya Anko. Lalu dengan wajah serius dia melanjutkan, “Sepertinya kau juga belum tau kalau terlalu lama di sini, akan membuatmu sulit untuk kembali.”

Seperti mendengar sebuah balon meletus keras, aku sedikit tersentak. Dalam bayang-bayang pesan Bibi Moreta yang membersit di kepala, tentang mengapa tak satu pun orang di dunia Kepiting Merah tidak melakukan hal yang kulakukan sekarang, apakah benar karena mereka tidak tahu cara masuk ke dunia ini, atau karena mereka mengerti akan sulit untuk kembali?

Malang, 4 Agustus 2025

Tri Wahyu U., penyuka dongeng dan cerita-cerita anak. Sedang mencoba kembali menulis cerpen, setelah lama tak menerbitkan karya dalam bentuk buku yang membuatnya kangen menulis fiksi. Salah satu penulis antologi Duri di Dada Ibu yang terbit pada September 2024.

.

Komentar Juri, Berry Budiman:

Naskah paling “pas” di antara tiga besar, dan karenanya ia layak menjadi yang terbaik. Penulis tidak terlalu banyak memberikan ide-ide ajaib di dalam cerita. Ia fokus saja membangun dunia dalam cerita yang sudah unik dari sananya, mengeksplorasi karakter dan tema, dan menguatkan setiap komponen ide melalui petunjuk-petunjuk yang tepat guna. Dengan bangunan cerita yang sudah tertata dan kuat, tidak lagi diperlukan twist yang “mengejutkan” di akhir cerita sebagaimana naskah lain merasa perlu melakukannya, dan terperosok sendiri olehnya. Memang akhir cerita ini juga memiliki kejutan, tetapi ia bukanlah kejutan yang memaksakan diri memelintir alur. Ia adalah kejutan yang muncul dengan alami, sesuatu yang sudah tersirat, namun belum disadari. 

Kemampuan mengetahui kapan saatnya untuk merasa cukup, adalah hal yang diperlukan bagi seorang penulis yang baik. Kedewasaan untuk menyadari bahwa kamu sedang berdialog dengan pembaca, bukan membombardir mereka dengan kejutan demi kejutan tanpa alasan.