Seperti Hidup Hanya tentang Laut (Terbaik 2, TL 21)

Seperti Hidup Hanya tentang Laut (Terbaik 2, TL 21)

Tantangan Loker Kata 21

Naskah Terbaik ke-2

Seperti Hidup Hanya tentang Laut

Oleh : Retno Ka

Kala menyukai lautan. Sarah berkali-kali mengatakan itu saat Kala belum genap dua tahun. Tidak ada yang harus dibantah. Bagi Dom, pernyataan itu sama halnya dengan Kala yang menyukai boneka ikan paus karena selalu ia cari sebelum pergi tidur, atau seperti Kala yang menyukai pure alpukat karena selalu ia makan dengan lahap—tanpa penolakan seperti saat diberi buah lain. Sejak Kala dua bulan, ia memang sudah dibawa ke pantai. Merasakan hangat matahari pagi, udara yang masih murni, dan gemuruh ombak yang tidak bersekat ruang. Banyak momen berharga mereka di sana. Bahkan langkah mandiri pertama Kala adalah di atas pasir pantai yang berkilauan oleh cahaya matahari pagi. Tidak ada yang perlu Dom bantah dari pernyataan bahwa Kala menyukai lautan. Sampai Sarah berkata hal yang tidak bisa masuk ke akal sehatnya. Bagaimanapun ia berusaha memaksanya.

“Kala yang bilang sendiri.”

Mulanya Dom hanya menganggapnya sebagai lelucon. Namun kian hari, Sarah jadi lebih sering mengatakan hal-hal serupa, dengan lebih rinci dan tidak bisa dihentikan.

“Kala senang kau memberinya bubur kacang hijau saat perutnya sakit. Tapi sebenarnya dia lebih suka dibiarkan tidur tanpa diganggu.”

“Kala lebih nyaman pakai pembalut yang kemasannya biru daripada yang hijau.”

“Kala tidak suka adik-adiknya masuk ke kamarnya selagi ia tidak ada. Kau mungkin bisa menegur mereka.”

Adik-adik. Dari mana Sarah mendapat kata-kata itu? Kala tidak akan pernah punya adik. Rahim Sarah telah diangkat sepenuhnya setelah melahirkan Kala. Tidak akan ada kehamilan lagi meskipun sekali. Apakah mungkin kesehatan jiwa Sarah diam-diam terganggu karena hal itu?

“Aku akan ambil cuti. Mari kita pergi ke psikolog.” Dom tidak bicara sekenanya, ia sudah memikirkan itu berhari-hari sebelumnya.

“Apa maksudmu? Aku baik-baik saja.” Tentu, Dom pun sudah mengira jawaban seperti itu akan didengarnya.

“Aku tahu, tapi mari kita pergi saja. Sepertinya aku juga butuh konsultasi.”

“Maka pergilah sendiri.”

Senyap. Saat itu tengah malam, mereka berdua duduk di ranjang—dengan bayi Kala sudah terlelap di tengah-tengah mereka. Dom menghela napas. Melirik Sarah yang membuang pandangan ke arah pintu. “Baiklah aku tidak akan memaksa,” Dom mengakhiri percakapan.

Sejak malam itu, Sarah berhenti bercerita. Perihal Kala yang menyukai lautan, atau hal lain yang dihadapinya di rumah setiap harinya. Perkataan sekecil apa pun yang keluar dari mulutnya adalah semua yang ditanyakan Dom lebih dulu.

Dom melihat tembok yang coba dibangun istrinya. Meski mereka masih tidur bersisian, masih pula sarapan dan makan malam di meja yang sama, sikap Sarah kepadanya sudah tidak pernah sama. Keceriaannya memudar, begitu pula binar matanya. Dom tidak tahan, ia mendatangi Sarah ketika istrinya itu sedang menyuapi Kala sambil menonton TV dengan suara yang disenyapkan.

“Sarah, aku tidak mengerti kenapa kita jadi seperti ini.”

“Aku juga tidak mengerti.”

“Kamu tahu, aku hanya ingin kita hidup normal.”

“Kamu punya pekerjaan yang bagus. Punya banyak teman yang peduli. Kalau maksudmu aku yang membuatmu tidak normal, aku pun tidak tahu cara mengatasinya.”

Lagi. Mereka terdiam cukup lama. Dom menggenggam tangan Sarah. Sarah menangis begitu saja. Lalu, Dom kembali mengajak Sarah pergi ke psikolog. Kali ini, Sarah mengangguk. Ia tak keberatan. Namun, di kemudian hari, Dom menyadari bahwa keputusannya itu sama sekali tidak menjadi jalan keluar.

***

Kala menyukai lautan. Setiap kali ia kelelahan dengan tugas-tugas sekolah, ia akan mengunci kamarnya—yang menjadi satu-satunya ruangan di lantai dua rumahnya, selain gudang. Lalu, ia akan menekan sakelar sebanyak empat kali dengan cepat. Nyala. Mati. Nyala. Lautan.

Di lautan, ia menjadi anak umur sembilan belas bulan. Ia bisa berbicara, dan hanya ibunya yang bisa mendengarnya. Ia bercerita macam-macam. Hal remeh-temeh, sesuatu yang membebaninya, atau peristiwa penting yang mendatanginya.

“Ibu, kemarin aku menstruasi.”

“Wah, sudah besar anak Ibu.”

“Sakit sekali, Bu.”

“Lalu bagaimana?”

“Aku disuruh makan bubur kacang hijau dan sebetulnya aku tidak begitu suka.”

“Tapi tetap kau habiskan, bukan?”

“Iya. Cuma, daripada makan apa pun, aku lebih ingin tidur saja sampai sakitnya hilang sendiri.”

“Kau anak yang pengertian. Nanti Ibu bilang ke ayahmu.”

Ibunya mengusap-usap kepala Kala. Kala tersenyum sambil mengacak-acak pasir pantai. Di kejauhan, ayah Kala duduk di bangku kayu sebagaimana para pengunjung pantai yang lain. Secara rutin ia menyeruput kopi dari cangkir putih di atas meja, lalu dadah-dadah kepada anak dan istrinya. Ayah Kala bahagia menyaksikan Kala tampak antusias dengan ombak yang datang menjilati kakinya, tapi memang tak sekalipun ia berniat mendekat ke putrinya itu. Ayah Kala bukan tipe ayah yang senang melibatkan diri dengan pertumbuhan anak-anaknya.

“Kenapa Ibu mau menikah dengan Ayah?” Tiba-tiba saja Kala bertanya demikian.

“Kenapa, ya? Ayahmu baik. Bukankah begitu?”

“Baik, sih, tapi kadang-kadang seperti robot.”

Kala dan ibunya terbahak-bahak.

“Aku jadi teringat Nuga. Meski laki-laki, dia pintar beres-beres. Mestinya Ibu setidaknya bisa menikah dengan orang seperti itu.”

“Pacarmu itu?”

“Seharusnya iya, cuma aku menolaknya.”

“Loh, kenapa ditolak? Bukankah dia lebih baik dari ayahmu?”

“Masalahnya, Bisary juga menyukai Nuga. Dia sudah bilang padaku sejak semester satu.”

“Memangnya tidak bisa dibicarakan dulu dengan Bisary?”

“Aku tidak mau, Bu. Dia tidak perlu tahu kalau Nuga suka sama aku. Lagi pula, daripada Nuga, aku memang lebih menyukai Bisary. Dia adalah orang favoritku yang nomor dua.”

“Begitu, ya? Lalu siapa yang nomor satunya?”

“Tentu saja Ibu.”

***

Kala menyukai lautan. Sarah memulai dari sana ketika psikolognya memintanya bercerita. Awalnya Sarah kira respons psikolog yang ia panggil “Kak” itu akan sama seperti suaminya, ternyata tidak. Psikolog itu selalu antusias mendengarnya, dan tidak sekali pun menyela sebelum ia selesai. Meski psikolog itu tidak secara terang-terangan mengatakan percaya kepada Sarah, bagi Sarah itu sudah cukup. Jika Sarah tahu bahwa mendatangi psikolog adalah hal yang menyenangkan, tentu ia tidak akan merasa tersinggung saat pertama kali Dom mengajaknya ke sana. Sarah menyukai setiap gagasan yang disarankan oleh psikolognya.

“Kalau semua yang kamu katakan memang suatu kebenaran, apakah pentingnya pendapat orang lain?”

“Ini hanya terlalu besar bagiku, Kak. Aku merasa paling tidak harus membaginya dengan Dom supaya aku tak kewalahan.”

“Tapi menurutmu, kenapa kemampuan itu hanya datang kepadamu? Bukankah berarti Kala hanya memercayaimu? Lalu, mengapa kita harus berkeras dengan Dom?”

“Aku tahu, ini juga tidak mudah untuknya. Kalau jadi dia, aku mungkin bakal tersinggung karena Kala yang datang dari masa depan hanya mau berbicara dengan ibunya.”

“Bagaimana kalau kamu tuliskan di buku? Uraikan semua yang Kala bicarakan padamu. Suatu hari, kalau Dom ingin tahu, mungkin kau bisa memberikan catatan itu padanya.”

Maka Sarah menurutinya. Setiap hari Sabtu, ia bersama Dom dan Kala akan pergi ke pantai yang berbeda-beda. Dan pada malam harinya, setelah Dom tertidur, ia akan menumpahkan semuanya di sebuah buku yang diam-diam ia beli di toko dekat rumahnya.

***

6 Juni 2012.

Kala menyukai lautan. Ini sudah yang ke-sekian kali ia bilang begini. Ia merasa laut bisa menyerap rasa lelahnya. Ia bilang, saat hari ini ia datang menemuiku, usianya sudah sebelas tahun. Ia duduk di SMP kelas 7-C. Dan saat itu, katanya, sedang berlangsung ujian sekolah. Saat tengah mengerjakan ujian dan ada soal yang terlalu sulit, hal pertama yang selalu terlintas di kepalanya adalah lautan. Ia akan membayangkan menghirup aroma laut sambil membentangkan tangannya, dan soal-soal yang sulit itu pun mendadak terasa kecil. Bukan karena tiba-tiba ia bisa mengerjakannya, tapi karena ia sudah tidak peduli dengan benar-salahnya jawaban yang ia buat.

5 Januari 2013.

Pada tanggal 29 April 2025, Kala mendapat menstruasi pertamanya. Usianya 12 tahun. Ia telah duduk di bangku SMP kelas 8. Saat mau berangkat sekolah, belakang roknya basah. Untungnya, mamanya punya simpanan pembalut. Ia bisa memakainya, tapi karena tidak punya cadangan rok, ia terpaksa tidak jadi berangkat sekolah. Setelah itu, perutnya juga mendadak melilit. Ia masuk kamar dan meringkuk. Kasihan sekali anakku. Kalau aku ada di sana, pasti aku juga bakal bikin keributan. Aku mungkin bakal repot bikin jamu kunyit atau bubur kacang hijau seperti yang mamanya lakukan. Tapi kata Kala, ia lebih suka dibiarkan tidur daripada makan ini-itu. Aku sudah menyampaikan ini ke ayahnya, tapi mungkin karena dia laki-laki, jadi kurang peka dengan hal-hal begini.

9 Maret 2013.

Kala punya adik kembar laki-laki yang berjarak 7 tahun darinya. Jadi pada hari ini, saat ia datang padaku, usia adik-adiknya adalah lima tahun. Mereka sudah mulai masuk TK. Kala bilang sangat menyayangi mereka. Bahkan, hal yang membuat hatinya luluh menerima mamanya adalah kelahiran adik-adiknya itu. Mereka lucu dan membuat rumah yang tadinya suram jadi meriah. Namun, pada hari-hari belakangan, saat Kala sedang sekolah, adik-adiknya itu suka masuk ke kamarnya yang memang tidak bisa dikunci dari luar. Kala kesal jika saat pulang sekolah kamarnya sudah berantakan seperti kapal pecah. Selain itu, dia juga khawatir kalau adik-adiknya itu akan merusak saklar di kamarnya—yang jadi satu-satunya pintu untuk bertemu denganku.

***

Kala menyukai lautan. Tiba-tiba Dom mengingat itu saat Kala tidak pulang selama hampir dua hari. Ia sudah menghubungi Bisary dan teman-teman Kala yang ia kenal, tapi hasilnya nihil. Mereka melihat Kala pulang dengan sepedanya. Sepedanya memang ada di halaman rumahnya, tapi Kala tidak ada di mana-mana. Termasuk kamarnya. Maka tanpa berpikir panjang, Dom segera menyusuri pantai yang terlintas di kepalanya. Saat melihat pantai, hatinya merasa remuk begitu saja. Ia teringat wajah Sarah—ibu Kala yang meninggal saat Kala berusia lima tahun. Sejak kematian istrinya itu, baru sekali ini ia kembali ke pantai. Ada semacam rasa bersalah yang menggerogotinya, yang rasanya tidak bisa ia cegah sekalipun ia bisa kembali memutar waktu. Dahulu, ia membuat Sarah terluka karena tidak bisa memercayai setiap ucapan Sarah. Ia memaksa Sarah menemui psikolog, tapi ketika wajah Sarah kembali ceria seperti semula, ia berakhir tak memercayai Sarah lagi.

Pertengkaran yang tak terhindarkan terjadi. Diam-diam Dom melihat buku catatan milik Sarah. Ia naik pitam karena merasa telah salah mengira Sarah sudah sembuh, padahal ternyata jauh lebih parah. Khayalan-khayalan Sarah yang pernah disampaikan kepadanya masih berlanjut sampai bertahun-tahun. Dan hal yang paling tidak ia tahan adalah, saat Sarah menuliskan bahwa Dom akan menikah lagi setahun setelah Sarah meninggal. Hari yang gempar itu, berakhir dengan perginya Sarah selama berhari-hari dari rumah. Sarah membawa Kala—yang saat itu sudah pandai menyusun kata.[*]

Jepara, 5 Agustus 2025.

Retno Ka. Ibu dari seorang anak lelaki. Menyukai hijau, dan laut.

.

Komentar Juri, Halimah Banani:

Cerita yang sebenarnya sederhana, tapi Retno berhasil mengemasnya dengan cara yang sangat menarik. Bahkan, meski kalimat terakhir cerita ini harus membuat saya membacanya berulang agar bisa memahami maksudnya, itu tidak serta-merta membuat kesan yang dibangun Retno sejak awal cerita dibangun jadi menghilang. Kompleksitas yang dihadirkan oleh cerpen ini berhasil mengaduk-aduk perasaan, berapa kali pun saya membacanya.