Selendang Peninggalan Amak dan Rahasia-Rahasianya (Terbaik 4, TL 21)

Selendang Peninggalan Amak dan Rahasia-Rahasianya (Terbaik 4, TL 21)

Tantangan Loker Kata 21

Naskah Terbaik ke-4

Selendang Peninggalan Amak dan Rahasia-Rahasianya

Oleh: Hassanah

Pukul sepuluh kurang sepuluh menit, Nirmala bersandar pada kusen pintu kamar Amak sejak para tetangga pulang malam itu. Tatapannya kosong memandangi kasur yang biasanya ada Amak terbaring di sana yang sesekali memanggil namanya pelan untuk dimintai tolong yang selalu membelai kepalanya saat berbaring di atas perutnya. Masih segar di ingatannya enam hari lalu, saat Amak memberi selendang kuning pucat yang memiliki empat bandul manik-manik bewarna keemasan dengan rangkain yang unik kepadanya yang kini menggantung di kedua bahunya. ”Kenang-kenangan untuk kau,” katanya. Nirmala pun membiarkan kenangan itu menumpahkan air mata yang dibendungnya beberapa hari ini. Masih di depan pintu yang kain gordennya digoyangkan angin dari jendela kayu yang dibiarkan terbuka, dia memeluk dirinya sambil terus menatap kasur.

Usia Amak memang sangatlah tua. Nirmala lahir saat Amak telah berusia empat puluhan. Suatu keajaiban yang senantiasa disyukuri Amak, terlepas dari omongan orang-orang yang tiada habisnya. Terlebih lagi Nirmala tidak ingat sosok ayahnya. Hanya foto-foto hitam-putih Amak dengan Ayah-lah yang mampu membuatnya merasa memiliki ayah. Dan di usianya yang baru saja menginjak 25 tahun, dia harus berlapang dada hidup seorang diri.

Setelah beberapa saat, gadis berbaju kurung sederhana itu mulai melangkah menuju kasur. Tiap langkahnya menimbulkan derit yang menyayat. Tiap itu pula air matanya berjatuhan dari dagunya. Tak dipedulikannya dering ponsel di ruangan lain, dia duduk di pinggir kasur dan mengusap-usap bantal kepala yang biasa digunakan Amak. Perlahan, dilepaskannya selendang kuning pucat itu dari bahunya dan dipeluknya sambil berbaring miring. Air matanya terus tumpah walau matanya terpejam. Dan anehnya, saat bulir air matanya membasahi salah satu bandul manik-manik itu, ia mengeluarkan cahaya yang menyilaukan.

Tepat pada saat itu pula, petir menggelegar hingga membuat rumah panggung Nirmala bergetar. Suara radio rusak memenuhi kamarnya. Entah dari mana. Telinganya pun berdenging hebat. Dan dalam sekejap, Nirmala tak lagi di atas kasur. Hanya alas kasur yang kusut dan jejak air matanya yang tersisa di sana.

Dari jendela kamar itu, bulan purnama yang semula memancarkan sinarnya dengan gagah di sebalik daun pinang yang bergoyang-goyang, kini tak nampak seakan-akan ditelan awan hitam. Kemudian, dalam sepersekian detik, hujan deras mengguyur atap seng rumah Nirmala bak tembakan peluru di medan perang.

***

”Nak. Kenapa anak tidur dekat sini?” Seseorang menepuk-nepuk bahu Nirmala. Dan tentunya gadis itu terperanjat dibuatnya karena rasa pusing yang menyergapnya selama beberapa detik tak lama setelah dia berbaring.

Namun, betapa terkejutnya Nirmala saat membuka mata yang mendadak menjadi sangat berat. Dia tengah tergeletak di atas tanah, di bawah bangunan yang kemudian disadarinya merupakan jembatan beton yang sangat besar. Tentu dia segera bangun dan melihat ke sekelilingnya yang ternyata cukup sepi dan hanya ada beberapa titik pencahayaan. Spontan saja degup jantungnya menjadi kencang dibuatnya. Ujung jemarinya dingin. Kepalanya kembali berdenyut dan telinganya berdenging.

”Anak tak kenapa-napa?” Sosok yang membangunkan Nirmala berjongkok di sebelahnya. Dia memegang bahu gadis yang pipinya basah itu dan mengusapnya pelan.

Nirmala membeku saat melihat seseorang di sebelahnya. Rasa panas menjalari dada dan matanya. Bibirnya mulai bergetar dan napasnya menjadi berat. Sepersekian detik kemudian, dia lantas memeluk seseorang tersebut seperti anak kecil yang takut ditinggal saat hari pertama sekolah.

”Amak,” bisik Nirmala. Tangisnya tertahan. Tapi air matanya tumpah tak berkesudahan.

Perempuan yang dipeluk Nirmala itu sempat hendak menolak pelukannya. Namun, saat mendengar suara Nirmala dan hangatnya lelehan air mata yang menempel di kulitnya, membuat dia mengurungkan niat tersebut. Perlahan, dia pun mengusap punggung Nirmala yang seiring waktu bergetar bersamaan isak tangisnya.

Di atas riak air sungai yang lebar itu, pantulan cahaya purnama tampak menyilaukan. Gelombangnya yang pelan seirama dengan embusan angin yang tipis.

Kini, Nirmala tengah duduk di ruang tamu milik perempuan yang membangunkannya. Dia terus memerhatikan sosok yang sama persis dengan amaknya, tetapi dalam penampilan yang masih cukup muda. Tahi lalat besar di pelipis mata kanannya, belah dagunya yang samar-samar, lesung pipi di pipi kiri, juga senyuman di matanya. Semua sama persis dengan Amak yang selama ini dia kenal.

Mimpi. Itulah yang terbetik di pikirannya. Amak menemuinya di dalam mimpi. Mungkin, Amak sama rindunya dengan dia.

Namun, satu yang disadari Nirmala saat perempuan itu menyuguhkan teh hangat kepadanya, bekas luka bakar di punggung tangan kanannya tidak ada. Luka yang didapat Amak saat menyelamatkannya dari siraman minyak panas milik pedagang pinggir jalan. Padahal bekas luka itu sudah ada sejak dia kecil, tapi perempuan yang berwajah sama persis dengan Amak itu tidak memilikinya.

”Sile diminum, Nak. Mak tak ada makanan kecil untuk disuguhkan. Maaf, ye.” Perempuan itu duduk di seberang Nirmala. Gestur duduknya pun sama persis dengan Amak. Membuat Nirmala sontak menunduk dan menyembunyikan tangisnya yang kembali tumpah. Di pangkuannya, dia memainkan bandul manik-manik dari selendang yang menggantung di lehernya.

”Nama anak siapa? Bukan orang sini ke? Kalau Mak, panggil saja Mak Siha.”

Nirmala menyeka hidungnya. Nama itu, mirip dengan nama amaknya.

”Amboi. Anak tengah lari dari rumah ke?”

Spontan Nirmala mendongak. Amboi. Itu adalah kata yang melekat pada Amak. Sampai-sampai para tetangga menjadikan kata itu sebagai sapaannya. Mak Amboi. Begitulah Amak dipanggil hingga akhir hayatnya.

”Dah menangis lagi? Ambooi. Minumlah dulu. Kalau dah tenang, anak boleh cerita.”

Bukannya tenang, tangis Nirmala pecah. Tangis yang ingin ditumpahkannya di hari kematian Amak beberapa hari lalu, tapi urung dilakukan karena ingin memenuhi permintaan Amak untuk tidak menangisi kepergiannya.

Lekas, Mak Siha mendekat dan mendekap Nirmala yang tersedu. Mengusap-usap punggungnya hangat. Membiarkan bahunya basah seakan-akan sudah terbiasa.

Rumah semi permanen itu memiliki tiga kamar. Dan Nirmala menginap di salah satunya. Sambil berbaring dan menatap langit-langit kamar yang nampak bersih dan seperti baru, dia memainkan bandul manik-manik selendang yang tergeletak di sebelahnya. Dia masih bertanya-tanya, apakah semua ini mimpi atau bukan? Mengapa Amak tidak mengenalinya? Mengapa Amak tinggal seorang diri? Dan rumah siapa yang sebenarnya dia masuki? Sebab, seingatnya, Amak tak pernah membawanya pindah rumah. Bahkan dari ingatannya yang paling lampau. Pun Amak tidak pernah bercerita.

Malam itu, Nirmala ditidurkan oleh pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalanya sambil menggantungkan harapan agar mimpinya tak lekas usai.

***

Cindailah mana tidak berkias

Jalinnya lalu rentah beribu

Bagailah mana hendak berhias

Cerminku retak seribu~

Mendengar suara itu, Nirmala sontak terduduk bangun. Itu adalah lagu yang biasa didendangkan Amak semasa dia kecil. Lantas, dia bergegas keluar kamar dan mencari sumber suara. Dia berpikir harapannya dikabulkan. Mimpinya masih berlanjut.

Namun, betapa terkejutnya Nirmala saat mendapati kalender yang belum pernah dia lihat sebelumnya selama hidupnya. Pada kalender itu, tertera angka yang menunjukkan bulan dan tahun kelahirannya: Juli 2000. Setelah mengucek matanya beberapa kali, dia yakin kalau tidak salah melihat.

”Nirmala? Dah bangun kiranya. Mari sarapan!” ajak Mak Siha yang baru saja duduk di meja makan kayu sambil meletakkan dua piring nasi goreng putih dengan telur dadar di atasnya. Nasi goreng paling sederhana yang tak mampu Nirmala buat walau sudah mencoba beberapa kali.

”Mak tinggal sendiri?” pertanyaan itu jelas terdengar keragu-raguannya. Bahkan wajah Nirmala pun tak bisa menyembunyikannya.

Mak Siha tersenyum kecil sebelum menjawab, ”Suami Mak dah meninggal dunia setahun lepas.”

Mendengar itu, Nirmala terdiam beku. ”Anak Mak ada di mana?” tanyanya dengan lebih ragu-ragu sambil melirik perut Mak Siha yang memang besar, tapi bukan seperti orang hamil.

Mak Siha tidak menjawab. Dia hanya tersenyum kecil dan mulai menyendok sarapannya.

Mendadak Nirmala sulit menelan ludahnya sendiri. Matanya terus melirik ke seluruh ruangan. Termasuk kalender yang menempel di dinding papan dekat kamar yang dia tempati.

Keragu-raguan kembali menjalari nalarnya. Jika ini mimpi, mengapa harus di tahun kelahirannya? Jika ini nyata, mengapa kehadirannya dalam hidup Amak seakan-akan tidak mungkin? Sebenarnya, apa yang terjadi semalam saat dia tidur di pembaringan Amak untuk pertama kalinya itu?

Saat semuanya terasa membingungkan, tiba-tiba terlintas di pikiran Nirmala, ”Apa aku kembali ke masa lalu?” Dan tepat saat itu, sayup-sayup terdengar suara tangis (mirip suara anak kucing) dari belakang rumah. Lantas hal itu membuat pikiran dan perasaannya semakin tak keruan. Tentu, pikiran-pikiran itu masih dianggap tak masuk akal olehnya. Sampai akhirnya Mak Siha bergegas ke luar rumah untuk memastikan pendengarannya.

Begitu pintu dapur dibuka, makin jelaslah suara tangis itu: tangisan seorang bayi.

Nirmala bergegas mengikuti Mak Siha yang kini mematung di depan pintu. Perlahan, dia mendekat. Dan tepat ketika itu, tubuhnya ambruk. Seorang bayi yang diselimuti bercak darah yang sudah kering, terbungkus selendang kuning pucat, di dalam kardus mi instan, teronggok tepat di bibir pintu.

Gadis yang masih mengenakan baju kurung itu, tidak bisa memikirkan apa-apa. Ruang di kepalanya mendadak kosong. Tangis bayi yang tak kunjung berhenti itulah yang mengisi tiap-tiap sudut di dalam kepalanya. Satu per satu ucapan Amak yang dahulu terdengar melantur dan hanya semata-mata untuk menghibur hatinya yang sesekali iri dengan anak-anak lain, kini terjawab.

”Amak akan senantiasa sayangkan Nirmala walau orang lain membawa kau pergi, Nak.”

”Amak tak pernah menyesal membesarkan kau seorang diri.”

”Amak harap, kau tak menyesal telah menjadi anak Amak.”

Masih diiringi tangis bayi di depan pintu, Nirmala bergegas menuju kamarnya semalam. Diperiksanya kain selendang kuning pucat miliknya, lalu dibawanya menuju dapur dengan langkah cepat. Jantungnya berdegup lebih cepat. Pandangannya pula mulai diburamkan air mata.

Setibanya di dapur, bayi itu sudah berada dalam timangan Mak Siha. Tangisnya mulai reda. Dan kain kuning pucat yang membungkusnya terjulur sebagian, menampakkan bandul manik-manik yang sama persis dengan yang dipegang Nirmala, membuat gadis itu duduk bersimpuh dan meleraikan air matanya. Semakin dipikir, semakin membuat dada Nirmala terasa menyempit. Sambil memandangi selendang di tangannya, tanpa sengaja, air matanya jatuh di atas bandul. Membuat bandul itu kembali bercahaya, dan gelegar petir membuat langit menggelap seketika pagi itu, dan telinga Nirmala berdenging hebat hingga dia memejamkan mata, dan tinggallah Mak Siha bersama bayi dalam gendongannya diiringi derasnya hujan yang tiba-tiba menghantam atap rumahnya.

***

”Mala! Nirmala!”

Gedoran pintu dan teriakan namanya itu membuat Nirmala berusaha membuka matanya yang berat. Kepalanya teramat sakit akibat denging di telinganya yang begitu hebat. Namun hal yang lebih membuat kepalanya semakin sakit adalah saat dia menyadari tidak lagi berada di rumah Mak Siha, melainkan di kamar Amak. Terduduk dengan sambil mendekap selendang, di atas lantai, di sebelah kasur. Pipinya masih basah.

”Mala! Nirmala! Kamu di dalam, kan? Kamu gak pa-pa, kan?” suara yang terdengar seperti orang menahan tangis itu kembali menyadarkan Nirmala. Dia mengenali suara itu, suara teman kerja yang seumuran dengannya. Yang sejak bergabungnya dia di toko dua minggu lalu, seakan-akan ingin menjadi teman dekatnya.

Dengan langkah gontai, Nirmala menuju pintu depan sambil memegangi kepalanya. Dia masih menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Kembali ke masa lalu? Kembali ke masa depan? Atau apa?

Dan betapa terkejutnya Nirmala saat membuka pintu, temannya itu sudah menangis di sana. Dia terduduk dengan bahu yang bergetar seakan-akan sesuatu yang buruk sudah terjadi kepadanya. Namun, lebih dari itu, hal yang lebih membuat ruang di kepalanya kembali kosong adalah kain yang digenggam dengan kedua tangan oleh perempuan di depannya. Kain kuning pucat, berbandul manik-manik keemasan yang rangkaiannya sama persis dengan bandul manik-manik miliknya.

”Hamidah?”

”Mala!”

”Si-siapa kamu sebenarnya?”(*)

GS, 5 Agustus 2025

Hassanah, gadis Jawa kelahiran Aceh yang besar di Riau. Pemimpi yang akan terus berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya.

.

Komentar Juri, Berry Budiman:

Teknik bercerita yang runut, enak dibaca, dan kuat dalam membangun atmosfer, membuat naskah ini menjadi salah satu yang paling menonjol di antara yang lain. Ada dua kejutan di dalam cerpen ini. Kejutan pertama bahwa si tokoh bukanlah anak ibunya, sebetulnya sudah sangat cukup. Tidak perlu ditambah dengan kejutan kedua yang muncul di akhir cerita. Kejutan kedua datang tanpa alasan dan petunjuk. Ia hanya membuat pembaca bingung dan akhirnya malah mengurangi kenikmatan pembacaan yang sudah dirasakan sebelumnya. 

Penulis seharusnya lebih berfokus pada mengeksplorasi karakter dan tema dalam cerita. Ada banyak hal yang bisa menguatkan sebuah cerita selain kejutan. Misalnya bermain dengan adegan, metafora, atau subteks.