Tantangan Loker Kata 21
Naskah Terbaik ke-7
Menyelamatkan Bulan
Oleh : Nanan
Pukul 12 siang, lelaki berpakaian hitam yang berdiri di depan ruangan berpintu kaca membuka pintu yang sedari tadi terkunci rapat. Satu per satu orang-orang di sekitarku, termasuk aku, masuk ke dalam, menyusuri lorong panjang, berbelok ke kanan, membuka sebuah pintu kaca lagi dan menghidu aroma antiseptik yang mulai familier.
Bulan, putri tunggalku, masih seperti hari-hari lalu. Tubuhnya yang kurus ditutupi peralatan medis yang aku tak ingin tahu namanya. Dadanya naik turun dengan teratur. Aku duduk di sebelah ranjangnya dengan lunglai sembari menarik napas panjang. Menghadapi semua masalah ini sendirian bukan hal yang mudah.
Aku menggenggam tangannya, membisikkan kalimat-kalimat untuk menguatkan. Meski matanya terpejam, aku yakin dia mendengarku. Aku mengusap pipi mengingat hari nahas itu. Bulan mengalami kecelakaan sepeda motor bersama teman lelakinya. Bocah sialan itu mati di tempat. Sementara anakku tak sadarkan diri. Yang membuatku sulit menerima semuanya, Bulan mengalami perdarahan. Anakku yang masih 15 tahun hamil entah dengan siapa. Pria yang harusnya menemaniku menghadapi kenyataan ini malah sedang asyik menunggu kelahiran anak pertamanya bersama wanita lain.
Dunia ini memang berengsek!
Pekik kebahagiaan dari ruangan sebelah mengganggu konsentrasiku. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku mengintip dari kaca yang membatasi tiap ruangan. Lila, kenalanku di ruang tunggu pasien ICU, tampak memeluk anaknya yang sepertinya baru sadar dari koma. Anehnya, remaja lelaki seumuran Bulan itu tidak tampak seperti orang yang baru tersadar dari tidur panjang. Wajahnya segar dengan senyum mengembang.
Sekilas aku mendengar dokter mengatakan bahwa mereka perlu melakukan observasi lagi sebelum mengizinkan putra Lila pindah ke ruang rawat inap.
Saat waktu besuk ICU habis, aku sengaja mengimbangi langkah Lila. Aku tahu persis bagaimana usahanya mengobati sang putra. Tak hanya ikhtiar medis, pengobatan alternatif dari A sampai Z pernah dicobanya.
Ketika menyadari kehadiranku, Lila cepat menarikku masuk ke dalam toilet yang berada tepat di depan ICU. Dia mengunci pintu dari dalam dan berbisik, “Cari Dokter Kahfi, Rum. Dia pasti nyembuhin anak kamu.”
Aku melongo, tanpa ditanya Lila tahu hal apa yang ingin aku tanyakan. Seingatku, saat jam besuk semalam sore, anak Lila masih terkapar tak berdaya, mengapa dia mendadak sembuh?
“Dokter Kahfi?”
Dan cerita serupa dongeng pengantar tidur mengalir dari mulut Lila. Dia mengetahui perihal Dokter Kahfi dari pasien yang dua hari lalu sadar dari koma. Menurut Lila, dia bertemu Dokter Kahfi saat matahari tergelincir ke barat.
“Di mana aku bisa cari dia?” tanyaku antusias. Aku harus mencoba saran dari Lila. Mau sampai kapan aku terus-terusan berjaga di rumah sakit? Kondisi Bulan hanya menambah beban hidupku.
“Cari dia di mana saja, Rum. Nggak ada yang tahu pasti dia di mana.”
Keningku berkerut. Ini seperti memecahkan teka-teki tanpa petunjuk.
“Dia pasti ada di rumah sakit ini saat lima pergantian waktu.” Lila menjelaskan lagi. “Dia akan memberi tahu gimana caranya anak kamu bisa sembuh. Lihat anakku.” Senyum mengembang di bibirnya.
Lalu, dia memegang tanganku, seolah mengalirkan semangat agar aku gegas mencari Dokter Kahfi.
“Waktu kamu nggak banyak, Rum. Dua belas jam di sana, sekitar enam jam di sini.” Dia menarik napas panjang. “Kamu hanya perlu mengambil tulang belakang Bulan yang di sana.” Kali ini suaranya semakin pelan seolah takut didengar oleh makhluk tak kasatmata penunggu toilet ini.
“Maksudnya? Gimana caranya?” tanyaku bigung.
Lila mengibaskan tangan di udara, lalu membuka pintu toilet dan memberi isyarat agar aku bergerak cepat. “Percayakan Bulan sama aku. Aku bakal jagain dia selama kamu di sana.”
Sebelum mulutku terbuka untuk bertanya lagi, dia berbisik, “Ingat, Rum. Secara alami, selama di sana kamu akan tahu bagaimana cara melakukan semuanya demi Bulan.”
Meski bingung, aku mulai menyusuri tiap lorong rumah sakit. Berusaha melangkah secepat mungkin sambil memperhatikan sekeliling. Seperti apa bentuk Dokter Kahfi? Lila tidak memberikan gambaran apa-apa.
Seorang lelaki beraroma kayu manis melintas di sebelahku. Dia tersenyum, menunjukkan barisan gigi yang putih rapi. Kulitnya putih, sedikit gemuk, dan rambutnya disisir ke sebelah kanan. Kulit wajahnya sewarna awan saat cerah.
“Mencari Dokter Kahfi?” Suaranya lembut, tetapi terdengar tegas.
Aku melongo. Apa di wajahku tertulis jelas bahwa aku sedang membutuhkan bantuan?
“Mari ikut saya.” Dia menelengkan kepala, seolah memberi kode bahwa aku harus mengikuti langkahnya.
Lelaki itu berhenti di depan toilet yang bertuliskan rusak di pintunya. Tanpa ragu dia mempersilakan aku masuk.
“Saya … saya tidak paham, Pak,” kataku gugup. Untuk apa aku masuk ke dalam toilet rusak? Ini semua di luar akal sehat.
“Masuk dan carilah obat untuk kesembuhan putrimu.” Dia melirik jam tangan berwarna hitam di pergelangan kirinya. “Waktumu tidak banyak, Bu. Hanya … enam jam.”
Dokter Kahfi tersenyum dengan ekspresi wajah tak terbaca. Kulitnya yang terlalu putih membuatku meragukan keberadaannya sebagai manusia. Dia mengangkat bahu. “Terserah Ibu,” katanya. “Kalau tidak, saya akan mengurus orang lain.”
Aku menggeleng cepat lalu dengan ragu melangkah masuk. Tak sampai sedetik setelah aku di dalam, pintu dibanting kuat. Jantungku berdetak cepat saat menyadari area dalam toilet ini diselimuti kabut tebal. Sebuah pintu kayu yang sangat besar dengan ukiran berbentuk bunga matahari di gagangnya serta sinar kehijauan melingkupinya, bergoyang seolah minta dibuka. Mungkin akan sulit membukanya, pikirku, sambil mengeluarkan tenaga untuk mendorong pintu yang ternyata seringan kapas. Aku ternganga melihat apa yang ada di baliknya. Itu rumahku! Oh, bukan, tepatnya ini rumahku dalam versi lebih bagus. Tunggu, tunggu. Di sebelahnya rumah Bu Yoyo, di depannya rumah Pak Tua. Dan aku sedang berdiri di bawah pohon beringin tua di halaman rumah Pak Tua.
Aku takut, tetapi karena diburu waktu aku meyakinkan diri untuk melangkah masuk ke “rumahku” itu. Aku hanya perlu mencari Bulan di sini dan mengambil tulang ekornya untuk menyelamatkan Bulan-ku. Meskipun tak tahu bagaimana cara mengambil tulang ekor, tapi seperti kata Lila, aku akan mengetahui semua secara alamiah.
“Bunda!”
Baru saja aku membuka pintu, suara tawa gadis remaja serupa Bulan terdengar keras. Dia berlari memelukku. Seorang lelaki yang wajahnya persis suamiku dulu, berjongkok sambil memegang balon berbentuk huruf B.
“Kok, udah pulang, Bun? Bukannya nanti sore?” Lelaki itu tersenyum kecut saat mendekatiku lalu memelukku erat. Ini aneh. Di duniaku, aku dan lelaki ini sudah berpisah tahun lalu.
“Kok, baju Bunda begini?” Bulan menarik bajuku sebelum terkikik geli. Mataku menyapu tembok ruangan yang dipenuhi foto bahagia keluarga mereka. Aku memang tampak lebih berkelas di sana.
“Kamu bilang urusan dengan Bu Mentri baru selesai pagi ini, jadi kamu ngejar pulang siang supaya sore udah sampai di rumah. Kopernya mana, Sayang? Biar aku bawa ke kamar. Kamu pulang naik apa? Taksi?” Pertanyaan beruntun lelaki itu membuatku bingung.
“Sebenarnya aku sama Ayah mau bikin surprise buat Bunda, tapi udah ketahuan gini.” Bulan cengengesan. “Ini kado dari kami.” Dia menyodorkan kotak berwarna ungu—warna kesukaanku—yang dihiasi pita cantik berukuran besar. Aku membukanya dan terbelalak melihat satu set perhiasan emas yang tampak berkilauan.
“Sayang, ini ada bunga dari staf kamu.”
Lelaki itu datang membawa buket bunga besar. Aku baca pesan yang tertera di sana: Selamat Ulang Tahun, Ibu Direktur.
Aku direktur? Wow! Di duniaku, aku adalah seorang penjaga pustaka di sebuah sekolah dasar yang gajinya sangat memprihatinkan. Aku juga bekerja sambilan menjual polis asuransi untuk menambal kekurangan biaya hidupku dan Bulan. Sebenarnya kondisi kami cukup baik jika lelaki berengsek itu tidak selingkuh.
“Bunda, cepatlah ganti baju. Kita rayain ulang tahun Bunda, makan-makan di tempat biasa.”
Bulan menarik tanganku, memaksaku masuk ke sebuah kamar berukuran besar. Lemari baju penuh sesak dengan pakaian model terbaru. Rak tas dan sepatu pun bernasib sama, seperti mau meledak saking padatnya.
Aku melirik jam dengan gelisah. Berapa lama lagi waktuku yang tersisa? Apakah sempat jika aku bersenang-senang terlebih dahulu?
Bulan menyodorkan gaun berwarna hitam. Katanya gaun itu belum pernah aku pakai, hadiah dari kolegaku yang tinggal di Tokyo. Saat aku berdandan, dia setia mengajakku bercakap-cakap. Ternyata aku yang di sini memiliki usaha di bidang ekspor impor. Suamiku pejabat di pemerintahan. Mengapa hidupku di sini terdengar lebih menyenangkan? Aku yang di sana berjuang keras untuk bertahan hidup. Jika ada masalah, aku harus berpikir sendirian. Bulan bukan anak yang menyenangkan untuk diajak ngobrol. Dia cenderung pemarah dan suka memberontak. Terlebih saat dia tahu aku menggugat cerai ayahnya, nilaiku makin minus di matanya.
“Bunda, tiap malam Ayah sedih, loh, Bun. Kangen Bunda, katanya. Padahal Bunda cuma pergi seminggu.”
Aku tersenyum mendengar cerita Bulan yang terdengar antusias. Apakah aku harus melakukannya sekarang? Bagaimana cara mengambil tulang ekor anak ini?
Mendadak aku melihat sesuatu yang menonjol di bagian belakang tubuhnya. “Nak, itu ….”
“Apa? Ini?” Dia menunjuk tulang belakangnya. “Kan, di dunia ini semua punya, Bun. Bunda juga ada, kan?” Dia terkikik.
“Oh, begitu?” Jadi, tinggal aku cabut saja tulang ekornya? “Kalau dilepasin gimana?” Aku bertanya antusias.
“Ih, Bunda. Ya, aku hilang, dong.” Dia membelalak ngeri. “Udah, ah, Bun, aku ganti baju dulu, ya.”
Jantungku memompa darah lebih cepat. Aku akan menghidupkan Bulan-ku dengan melenyapkan Bulan di sini?
“Sayang, sudah?” Lelaki itu masuk, memelukku dari belakang dan menciumi leherku. Dia membisikkan kalimat-kalimat mesra yang membuat rambut di seluruh tubuhku berdiri.
Kami pergi sesaat setelah dia mengucapkan janji bercinta nanti malam. Aku mengiakan meskipun tahu waktuku tak sebanyak itu.
Aku belum pernah merasa sebahagia hari ini. Menghabiskan waktu bersama keluarga yang utuh. Makan dan berbelanja tanpa memikirkan uang. Kami mengobrol tentang apa saja. Mereka asing, tetapi aku seolah sudah mengenal mereka seumur hidup. Aku nyaris lupa tujuan utamaku ke sini untuk mengambil tulang ekor Bulan.
Sesaat setelah tiba di rumah, mereka pergi sebentar, katanya ada yang tertinggal. Aku mengangguk sambil mengulum senyum saat melihat Bulan cekikikan. Mungkin mereka sedang menyiapkan kejutan lagi.
Aku berhenti lama di pagar untuk melihat pintu yang menghubungkan dunia ini dengan duniaku, pohon beringin di halaman rumah Pak Tua. Apakah aku harus pergi sekarang? Bagaimana caranya aku bisa kembali?
Sebuah sinar hijau berkilauan seolah menjawab pertanyaan yang hanya melintas di kepala. Dari kejauhan pun aku bisa melihat itu sebuah pintu.
“Siapa kau?”
Aku terlompat mendengar suara yang sangat akrab itu. Aku berdiri dengan sikap congkak tepat di pintu. Dia menatapku dengan sorot mata penuh kecurigaan. Dagunya terangkat ketika melihatku salah tingkah.
“Aku ulang sekali lagi, siapa kau?”
Aku tidak suka nada suara yang sombong itu. Dia melipat tangan di dada, menatapku dari atas sampai bawah seolah sedang menilai.
“Kalau kau bisu, lebih baik kau pergi dari sini!”
Dia mendekat, selangkah, dua langkah, lalu kami sudah berdiri sejajar. Seringai serupa serigala licik tersungging di bibirnya. Sekali lihat saja, aku langsung membenci diriku yang di sini.
“Pergi kau! Pergi sebelum aku panggil polisi!”
Dengan gaya angkuh dia membalikkan tubuh yang menguarkan aroma wangi yang tak aku kenali. Rasa iri yang sejak tadi memenuhi hati, membuat tanganku bergerak mencabut tulang ekornya, yang ternyata sangat mudah dilakukan. Perempuan itu berteriak, mengucapkan sumpah serapah, lalu dia menguap, menghilang di udara, seperti asap hasil pembakaran sampah.
Aku termangu, memandangi tulang ekor yang kugenggam erat di tangan kanan.
“Bundaaa ….” Suara Bulan yang riang mengembalikan kesadaranku. Aku membuang tulang ekor aku ke dalam tempat sampah di depan rumah. Bulan menghambur memelukku. Suamiku tersenyum sembari menyodorkan buket mawar segar bertuliskan namaku. Sementara di halaman rumah Pak Tua, pintu hijau berkilauan itu mulai memudar.[*]
Padang, 5 Agustus 2025
Nanan, pencinta malam, hujan, dan bubur ayam.