Tantangan Loker Kata 21
Naskah Terbaik ke-8
Angkutan Bercat Putih
Oleh : Kiki Razzyka
Setelah lama berdiri di bawah naungan halte, di mana tiang-tiang yang dilapisi karat menghalangi pandangannya yang lurus ke arah jalan yang berlubang, Idris kemudian memutuskan untuk bersandar ke badan mobil angkutan reyot yang parkir di belakangnya. Sopir dari kendaraan yang cat warna putihnya sudah mengelupas di sana sini itu, entah pergi ke mana. Akan tetapi, jendela di bagian depan terbuka lebar, hingga kemudi dan jok mobil yang dilapisi debu tebal berwarna abu-abu kecokelatan bisa terlihat oleh siapa pun yang melewatinya. Angin kering berembus membawa hawa panas menerpa kulit wajah Idris. Idris ingin menghalau debu–yang kemungkinan besar sama jenisnya dengan yang menetap di permukaan mobil–yang mencoba singgah di hidungnya tetapi hal itu percuma karena mustahil memisahkan partikel-partikel menyesakkan tersebut dari udara yang harus ia hirup agar bisa bertahan hidup. Sulit diterima tetapi mau tak mau tetap harus diterima. Sama seperti nasib para guru honorer, yang gajinya yang sudah pincang, semakin dibuntungi oleh kebijakan.
Dada Idris menaik bersamaan dengan mulutnya yang terkatup rapat. Ia ingin menguap, tetapi spontan tertahan setelah sebuah becak motor berlalu sambil meninggalkan asap hitam yang mengepul tanpa sungkan dari knalpotnya. Laki-laki dan perempuan lalu lalang. Tak acuh pada Idris, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Kenapa lama sekali! Cepatlah! Apa kau mau ketinggalan lagi!”
Sebuah bentakan mengalihkan perhatian Idris. Mengira suara itu terkait dengan dirinya, Idris menoleh ke asal suara. Seorang pria dan wanita datang dari arah barat dan berhenti hanya berjarak kurang dari sepuluh langkah dari Idris. Tak perlu mengetahui keseluruhan percakapan mereka, cukup melalui gestur, Idris bisa menebak bahwa keduanya adalah pasangan yang tengah bertengkar. Sorot mata sang pria tajam dan garis rahangnya terlihat mengeras. Kata-kata bernada kasar masih terus meluncur dari mulut sang pria brewokan itu sementara sang wanita hanya tertunduk sambil mendekap erat tas besar di dadanya. Beberapa orang yang melewati mereka, menunjukkan raut wajah ingin tahu sementara beberapa yang lain menunjukkan raut wajah simpati untuk sang wanita. Pemandangan yang mengingatkan Idris pada situasi sama yang sering ia hadapi. Situasi yang sesungguhnya membuat tidak seorang pun merasa nyaman.
Suasana yang sudah gerah karena terik matahari dan kurangnya penghijauan, menjadi semakin gerah. Untungnya, tidak lama kemudian, sebuah mobil angkutan dengan cat berwarna merah membawa pasangan itu pergi.
Idris masih di tempatnya semula, melihat angkutan berwarna merah itu berlalu hingga kemudian tidak terlihat olehnya lagi. Entah ke mana pasangan itu akan tiba. Apakah ke tempat yang lebih baik dari tempat ini?
Setidaknya mereka berhasil pergi, batin Idris dalam hati. Bagaimana dengan ia sendiri? Kapan ia akan bisa pergi seperti itu? Ia sudah lelah. Di dunia ini Idris tidak bisa menebak bagaimana hari esok. Jangankan besok, satu jam ke depan atau mungkin sepuluh menit setelah ini, entah pemerasan apalagi yang akan disahkan oleh mereka yang di atas. Cemas dan khawatir, menjadi sesuatu yang biasa hingga rasanya percuma untuk berteriak atau sekedar menyampaikan aspirasi.
Idris merindukan dunianya yang lain.
Senyum terbersit di wajah Idris saat teringat betapa cantiknya Raimah–istrinya. Tentu saja itu Raimah di dunianya yang lain. Bukan Raimah di dunia ini yang bibir lancipnya bukan digunakan untuk tersenyum dan menyenangkan hati Idris, melainkan terus menerus menyebutkan uang belanja yang kurang dan harga yang melonjak tanpa alasan yang masuk akal.
Idris ingin pulang ke dunianya. Dunia di mana hanya udara bersih yang mengisi paru-parunya. Dunia di mana udara tak terlalu panas tetapi juga tidak terlalu dingin. Dan yang paling penting adalah dunia di mana pipi Raimah selalu tampak kemerah-merahan. Di mana sebagian besar waktu yang dihabiskan Idris hanyalah berbaring di samping wanita molek itu, sambil jemari Raimah yang lentik, dengan lembut menyuapkan buah anggur ke mulut Idris.
“Manis?” tanya Raimah kemudian. Matanya yang bulat berbinar mengerjap hingga bulu matanya yang lentik bergoyang seperti tarian bulu merak. Ah, indahnya. Mengingat hal itu membuat Idris merasa nyeri menusuk di bagian dadanya.
Kenapa saat itu, ia tidak menganggap semua itu adalah anugerah? Dengan tololnya, ia menganggap semua kebahagiaan itu sebagai sebuah rutinitas. Tak menantang. Tak mendebarkan. Tak memberikannya rasa pencapaian. Kenapa ia menganggap Raimah yang lembut dan sopan itu sebagai hal yang membosankan? Mengapa ia rela menukarnya dengan Raimah yang sekarang?
Idris tak tahu berapa lama ia berada di dunia yang semula sebelum ia datang ke dunia ini. Namun sepertinya sudah terlalu lama. Di sana, semua berjalan sama. Ia tak mengenal lapar, sebab buah-buah nikmat akan datang ke hadapannya bahkan sebelum ia sempat memikirkan untuk mencarinya. Idris tak mengenal kantuk, karena hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk bermalas-malasan di sebuah dipan yang empuk. Dan Idris tak mengenal bagaimana rasanya harus jatuh bangun demi sang kekasih, sebab pasangan yang ditakdirkan untuknya–Raimah–selalu siap melayaninya tanpa perlu dipinta.
Dan Idris membuang semua itu.
Pada awalnya, Idris merasa, keputusannya untuk lari dari dunianya adalah keputusan terbaik yang pernah ia ambil dalam hidupnya. Idris ingat, seperti sudah ditakdirkan, Raimah adalah orang yang pertama ia temui saat ia pertama kali tiba di dunia ini. “Raimah ….” panggil Idris saat itu. Wanita cantik itu membuang mukanya dan mencibir Idris yang baru saja turun dari angkutan berwarna putih.
“Ih, siapa, sih! Sok akrab!” Raimah mendelik marah karena Idris berusaha memegang tangannya. Ia bahkan mundur beberapa langkah menjauhi Idris seolah-olah Idris adalah kecoa yang menjijikkan.
Melihat penolakan Raimah yang tajam, Idris bukannya marah malah, terkekeh girang. Baru pertama kali ini, ia melihat Raimah berkata kasar dan berani menolaknya, bukan Raimah yang penurut dan selalu melakukan sesuatu sesuai keinginan Idris. Dan anehnya, Raimah yang seperti ini, membuat jantung Idris berdebar kencang. Ia ingin menaklukkan Raimah dan membuat wanita itu mengakui Idris sebagai satu-satunya lelakinya.
Tentu saja itu bukan hal mudah.
Idris yang sebelumnya tidak pernah menundukkan kepala, harus rela merendahkan diri. Hampir setiap hari ia menunggu Raimah lebih dari dua jam di depan pintu rumahnya hanya untuk bisa mengantarnya ke kampus. Tanpa menghitung lelah, ia mengiringi wanita itu di sepanjang perjalanan pulang meski berkali-kali dianggap seperti angin lalu. Mengoceh tentang berbagai cerita lucu, meski Raimah tak mengacuhkannya, hanya demi secuil harapan bisa melihat lengkungan senyum dari wanita itu. Bahkan merelakan uang yang ia hemat selama dua bulan, habis hanya untuk sekali mentraktir Raimah makan di restoran cepat saji yang pernah diisukan menjadi salah satu pendukung negara yang membantai wanita dan anak-anak tanpa ampun. Idris tak peduli semua itu.
Idris sepertinya sudah gila. Sama seperti yang diakuinya di hadapan Raimah saat wanita itu bertanya kenapa ia melakukan semua itu. “Sepertinya aku sudah gila. Tak bertemu denganmu, aku rasanya tercekik oleh rasa rindu.” Idris memelas. Menatap Raimah lekat hanya berharap Raimah bisa melihat kesungguhan hatinya.
“Kau terlalu berlebihan,” ucap Raimah sambil memalingkan wajah. Namun hati Idris bisa merasakan ada sedikit harapan di dalam ucapan singkat Raimah.
“Aku berbeda dengan wanita yang pernah kau kenal. Aku tak bisa selalu menurutimu. Aku bisa marah bila ada hal yang tak sesuai dengan keinginanku.”
“Aku tahu.” Idris memberanikan diri meraih jemari Raimah. Raimah tak menolak.
Sembilan tahun delapan bulan dan dua belas hari. Idris melirik jam di pergelangan tangannya, “Ditambah enam belas jam tiga puluh menit,” gumam Idris. Lucu, ia bisa mengingat dengan jelas berapa lama waktu yang telah ia habiskan di dunia ini. Menghitung detik dan menit berlalu secara seksama.
Belum sampai sepuluh tahun, tapi dunia ini sudah menguras habis energinya.
Lonjakan degup di jantungnya setiap mendengar tawa renyah Raimah, memudar hanya dalam hitungan bulan sejak mereka bersama. Rindu teramat dalam yang pernah ia rasakan hanya untuk bisa bertatapan dengan Raimah, juga telah lama menghilang. Penaklukan yang ia pikir sebagai bentuk sesungguhnya dari cinta, berganti nama menjadi beban yang tak pernah bisa ia lepaskan.
Pengalaman yang diperoleh Idris selama beberapa tahun ini membuatnya mengerti kenapa dulu orang-orang berebutan naik angkutan yang ia tumpangi, hingga Idris hampir tidak berhasil turun. Saat itu ia malah menertawakan mereka. Orang-orang bodoh! Untuk apa pergi ke dunia yang tidak memiliki kegembiraan itu? Dunia yang kehidupan berjalan biasa-biasa. Dunia yang membosankan!
Namun kini Idris juga sama dengan orang-orang bodoh itu. Idris merindukan dunianya yang tenang. Dunianya yang berjalan tanpa kejutan yang membuatnya harus pontang panting mencari pegangan. Dunia di mana hari esok akan selalu sama dengan kemarin. Idris menginginkan kembali Raimahnya yang lembut dan penurut, bukan Raimah yang sering membuatnya tak mampu menahan emosi hingga akhirnya melayangkan tangan.
Namun sopir angkutan bercat putih tak kunjung kembali. Idris sepertinya harus menunggu lebih lama lagi. []
Medan, 4 Agustus 2025
Kiki Razzyka adalah seseorang yang sempat hiatus dari dunia kepenulisan akan tetapi kini mulai berusaha untuk kembali ke jalan yang benar.