Chronomoksa: Sang Raja yang Hilang (Terbaik 9, TL 21)

Chronomoksa: Sang Raja yang Hilang (Terbaik 9, TL 21)

Tantangan Loker Kata 21

Naskah Terbaik Ke-9

Chronomoksa: Sang Raja yang Hilang

Oleh : Edi Sudrajat

Tahun 1482, hutan belantara di tepi Sungai Ciliwung bergolak dalam badai petir yang tidak wajar. Kilatan cahaya biru menyambar berulang kali di tempat yang sama, membuat para penduduk desa terdekat bersembunyi dalam rumah sambil membaca mantra pelindung. Mereka tidak tahu bahwa di tengah badai itu, sebuah keajaiban sains sedang terjadi—atau sebuah malapetaka, tergantung sudut pandangnya.

Dr. Arya Siliwangsa, ahli kronologi temporal terbaik dari Institut Penelitian Waktu tahun 2157, tersadar dalam kondisi yang memprihatinkan. Setelan pelindung temporalnya robek, kronometer kuantum di pergelangan tangannya berkedip merah menandakan kerusakan parah, dan tubuhnya memar akibat benturan dengan akar-akar pohon purba.

“Dimana aku?” gumamnya dalam bahasa Indonesia modern, lalu terkejut mendengar suaranya sendiri. Ia segera mengaktifkan translator neural yang masih berfungsi, menyesuaikan dialeknya dengan bahasa Sunda kuno yang tersimpan dalam database otaknya.

Perangkat scanner biologisnya menunjukkan tahun 1482. Enam ratus tujuh puluh lima tahun sebelum masa asalnya. Misi observasi sejarah yang seharusnya berlangsung tiga hari telah berubah menjadi pengasingan yang mungkin permanen.

Tiga hari ia mengembara di hutan, bertahan dengan tablet nutrisi dari masa depan dan air dari mata air alami. Pada hari keempat, ia mendengar suara tangisan seorang anak dari arah utara. Instink kemanusiaannya yang terasah di masa depan yang damai mendorongnya menyelidiki.

Di tepi sungai, seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun terjepit di bawah batang pohon tumbang. Air sungai naik dan akan segera menenggelamkan anak itu. Tanpa berpikir panjang, Arya mengaktifkan enhancer kekuatan di setelan temporalnya dan mengangkat batang pohon seberat satu ton itu dengan mudah.

“Jangan takut,” katanya dalam bahasa Sunda kuno sambil menggendong anak itu. “Aku akan membawamu pulang.”

Anak itu menatapnya dengan mata terbelalak. “Akang… akang dari mana? Akang kuat sekali!”

“Aku datang dari tempat yang sangat jauh,” jawab Arya hati-hati. “Dari seberang gunung yang tinggi.”

“Siapa nama akang?”

Arya terdiam sejenak. Ia tak bisa menggunakan nama aslinya. “Panggil saja aku… Siliwangi,” katanya, mengambil inspirasi dari kata ‘sili’ yang berarti ganti dan ‘wangi’ yang berarti harum dalam bahasa Sunda—seolah ia adalah pengganti yang membawa keharuman bagi tanah ini.

Anak itu ternyata adalah Raden Surya, putra Prabu Dewa Niskala, raja Pajajaran yang sedang berkuasa. Ketika Arya mengantar anak itu pulang ke istana, ia disambut dengan kehormatan luar biasa. Prabu Dewa Niskala, yang sudah berumur tujuh puluh tahun dan tidak memiliki ahli waris selain Raden Surya, melihat keajaiban yang dilakukan pemuda misterius ini.

“Engkau telah menyelamatkan satu-satunya harapan Pajajaran,” kata sang raja dengan mata berkaca-kaca. “Apa yang bisa kuberikan sebagai balasannya?”

“Hamba tidak meminta apa-apa, Yang Mulia. Hamba hanya ingin mengabdi kepada tanah Sunda,” jawab Arya dengan sopan.

Namun keajaiban-keajaiban kecil mulai ia lakukan tanpa sadar. Ketika wabah melanda istana, ia menggunakan nanobots medis untuk menyembuhkan para penderita. Ketika musim kemarau berkepanjangan, ia menggunakan teknologi pemanggil hujan untuk menyelamatkan panen. Ketika perompak menyerang perbatasan, ia menggunakan kemampuan taktis masa depan untuk mengalahkan mereka tanpa pertumpahan darah.

Rakyat mulai menyebutnya “Raden Siliwangi yang Sakti”. Para menteri berbisik bahwa ia adalah titisan dewa. Prabu Dewa Niskala sendiri mulai melihatnya sebagai anak angkat dan calon penerus tahta.

Tragedi terjadi lima tahun kemudian. Raden Surya, yang sudah beranjak remaja, tewas dalam kecelakaan saat berburu di hutan. Seekor banteng liar yang terluka menyerangnya secara tiba-tiba, dan meski Arya berhasil menyelamatkannya dengan teknologi medis masa depan, luka parah di kepala sudah terlambat untuk diselamatkan. Prabu Dewa Niskala, yang sudah sangat tua, jatuh sakit karena kesedihan dan meninggal dunia tidak lama kemudian.

Dengan suara bulat, para menteri dan adipati memilih Arya—yang telah mereka kenal sebagai Raden Siliwangi—sebagai raja baru. Ia naik tahta pada usia dua puluh tujuh tahun (usia biologisnya dari masa depan), menjadi Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran.

“Aku bersumpah,” katanya dalam upacara penobatan, “akan menjaga tanah Sunda dan rakyatnya dengan segenap jiwa ragaku.”

Sumpah yang ia ucapkan dengan tulus, tidak tahu bahwa tiga puluh sembilan tahun kemudian, sumpah itu akan membuatnya harus memilih antara tanah yang dicintainya dan masa depan tempat ia berasal.

Tiga Puluh Sembilan Tahun Kemudian – 1521

Embun fajar masih membasahi daun-daun kamboja di taman istana Pakuan ketika Prabu Siliwangi terbangun dari mimpi yang sama—mimpi tentang langit metalik dan bangunan-bangunan yang menjulang menembus awan. Tangannya meraba perangkat kecil berteknologi nano yang tersembunyi dalam rongga rahasia di dinding batu belakang tempat tidurnya, sebuah relik dari masa depan yang tak seorang pun di abad ke-16 ini mampu memahaminya.

Dr. Arya Siliwangsa—nama aslinya sebelum terjebak dalam percobaan temporal di tahun 2157—bangkit perlahan. Tiga puluh sembilan tahun sudah ia menjalani kehidupan sebagai raja Pajajaran, tiga puluh sembilan tahun ia mencoba memperbaiki kronometer kuantum yang rusak akibat badai elektromagnetik saat pertama kali tiba di masa ini.

Perjalanan hidupnya dari seorang ilmuwan masa depan yang tersesat menjadi raja yang dicintai rakyatnya terasa seperti mimpi panjang. Kini, pada usianya yang ke-66 tahun, dengan tiga anak yang telah dewasa dan kerajaan yang menghadapi ancaman, ia harus membuat keputusan terberat dalam hidupnya.

“Ayahanda,” suara lembut Rara Santang memecah kesunyian pagi. Putri sulungnya masuk dengan membawa secangkir teh jahe hangat. “Ayahanda terlihat gelisah lagi.”

Siliwangi menatap anak perempuannya yang berumur dua puluh dua tahun itu. Ia melihat kecerdasan dan kebijaksanaan yang terpancar dari mata Rara Santang, dan instingnya sebagai ayah mengatakan bahwa putrinya ini akan memainkan peran penting di masa depan.

“Hanya memikirkan masa depan kerajaan, anakku,” jawab Siliwangi sambil menerima cangkir teh. “Dimana Kian Santang dan Walangsungsang?”

“Kakak Kian Santang sedang berlatih di halaman belakang. Katanya ia ingin menguasai ‘ilmu kanuragan’ seperti Ayahanda,” Rara Santang tersenyum. “Sedangkan Walangsungsang masih tertidur. Semalam ia begadang membaca lontar tentang pelayaran.”

Siliwangi menahan senyum getir. Yang Kian Santang sebut sebagai ‘ilmu kanuragan’ sebenarnya adalah teknologi biomolekuler yang ia gunakan untuk memperkuat fisiknya. Sementara ketertarikan Walangsungsang pada pelayaran membuatnya bangga—anak itu memiliki jiwa petualang dan pemimpin.

Suara gemuruh terdengar dari halaman belakang istana. Siliwangi beranjak menuju jendela dan melihat Raden Kian Santang, putra keduanya yang berusia dua puluh tahun, sedang berlatih dengan sebuah pohon besar. Dengan satu pukulan, pohon itu tumbang. Para pengawal bertepuk tangan kagum, menyebut kesaktian sang pangeran.

Mereka tidak tahu bahwa di pergelangan tangan Kian Santang tersembunyi enhancer otot mikro, teknologi yang meningkatkan kekuatan fisik hingga sepuluh kali lipat. Siliwangi telah menanamkan beberapa teknologi nano ke dalam tubuh anak-anaknya, bukan untuk membuat mereka bergantung, tetapi untuk melindungi mereka di masa yang akan datang.

“Rara,” panggil Siliwangi, “panggil kedua saudaramu. Ada hal penting yang ingin Ayahanda bicarakan.”

Satu jam kemudian, ketiga anaknya berkumpul di ruang pribadi sang raja. Walangsungsang, si bungsu berusia delapan belas tahun, duduk dengan mata berbinar-binar. Kian Santang berdiri tegak dengan napas masih tersengal dari latihan. Rara Santang duduk dengan anggun, tangannya melipat kain selendangnya.

“Anak-anakku,” mulai Siliwangi, “kalian tahu bahwa Ayahanda memiliki… kemampuan yang tidak biasa. Kini Ayahanda akan memberitahu kalian sebuah rahasia besar.”

“Ayahanda bisa terbang, menyembuhkan penyakit, dan membuat api tanpa kayu bakar,” kata Walangsungsang dengan polos. “Semua orang bilang Ayahanda adalah titisan dewa.”

Siliwangi menggeleng. “Bukan titisan dewa, anakku. Ayahanda adalah… pelancong dari masa yang sangat jauh.”

Ketiga anak itu saling bertukar pandang. Kian Santang mengerutkan dahi. “Maksud Ayahanda?”

“Ayahanda berasal dari masa depan. Ratusan tahun setelah kalian semua tiada.”

Kesunyian menyelimuti ruangan. Rara Santang yang pertama berbicara, suaranya bergetar. “Ayahanda… tidak sedang bercanda, kan?”

Siliwangi mengangkat tangan kanannya. Dari telapaknya, proyeksi hologram muncul—pemandangan kota masa depan dengan kendaraan melayang dan bangunan kristal. Ketiga anaknya ternganga.

“Ini adalah dunia tempat Ayahanda berasal,” lanjutnya. “Suatu hari nanti, Ayahanda harus kembali ke sana.”

Walangsungsang melompat dari duduknya. “Kalau begitu bawa kami, Ayahanda! Kami ingin melihat masa depan!”

“Tidak bisa, anakku. Takdir kalian ada di masa ini. Kalian harus mencari jalan hidup kalian sendiri.”

“Tapi bagaimana kami tahu jalan yang benar, Ayahanda?” tanya Walangsungsang dengan mata berkaca-kaca.

Siliwangi menatap ketiga anaknya dengan penuh kasih sayang. “Ikutilah panggilan hati kalian. Walangsungsang, aku melihat jiwa petualang dan pedagang dalam dirimu. Mungkin masa depanmu ada di laut dan pelabuhan-pelabuhan.”

Mata Walangsungsang berbinar. Ia memang selalu bermimpi tentang pelayaran dan perdagangan.

“Kian Santang,” Siliwangi beralih kepada putra keduanya, “kekuatan yang kamu miliki harus digunakan untuk melindungi yang lemah. Namun ingatlah, kekuatan sejati bukan terletak pada otot, tetapi pada kebijaksanaan. Jadilah pelindung rakyat.”

Kian Santang mengangguk mantap. “Aku akan menggunakan kekuatanku untuk kebaikan, Ayahanda.”

“Dan kamu, Rara,” Siliwangi menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca, “aku melihat kebijaksanaan dan kelembutan hati yang luar biasa dalam dirimu. Suatu hari nanti, kamu akan menghadapi pilihan besar tentang kepercayaan dan agama. Ingatlah selalu bahwa kebaikan hati lebih penting daripada nama agama apa pun.”

Rara Santang tertegun. “Maksud Ayahanda?”

“Masa depan akan membawa perubahan besar, anakku. Agama-agama baru mungkin akan datang ke tanah ini. Jangan takut pada perubahan, selama perubahan itu membawa kebaikan. Pada hakikatnya, semua agama mengajarkan kebaikan.”

Tiga bulan kemudian, kabar yang ditakutkan akhirnya datang. Sultan Demak mengirim ultimatum: Pajajaran harus masuk Islam atau bersiap berperang. Para menteri berkumpul di pendopo, wajah mereka tegang penuh kecemasan.

“Prabu,” Raden Rangga, perdana menteri, melaporkan dengan suara bergetar, “pasukan Demak sudah bergerak. Mereka membawa meriam dan senjata api.”

Siliwangi tahu tentang senjata api. Di masanya, teknologi persenjataan sudah jauh berkembang. Namun ia juga tahu bahwa melawan dengan teknologi masa depan akan mengubah jalannya sejarah secara drastis.

“Kumpulkan seluruh rakyat di alun-alun,” perintahnya. “Ada pengumuman penting.”

Sore itu, ribuan rakyat Pajajaran berkumpul. Siliwangi berdiri di atas panggung, dikelilingi ketiga anaknya. Suaranya terdengar jelas berkat amplifier nano yang tersembunyi di tenggorokannya.

“Rakyatku yang kucintai,” suaranya bergema, “masa sulit akan segera datang. Pajajaran akan menghadapi ujian yang berat.”

Gemuruh kekhawatiran terdengar dari kerumunan.

“Tetapi ingatlah,” lanjut Siliwangi, “kerajaan bukanlah tentang tanah atau bangunan. Kerajaan adalah tentang nilai-nilai yang kita jaga bersama. Selama kalian memegang teguh nilai kejujuran, keadilan, dan kasih sayang, maka Pajajaran akan hidup selamanya.”

Ia menatap ketiga anaknya. “Walangsungsang, Kian Santang, Rara Santang. Kalian adalah penerus cita-cita Pajajaran. Berpencar-pencarlah, sebarkan nilai-nilai kebaikan ke seluruh Nusantara.”

Malam itu, di kamar pribadinya, Siliwangi menatap kronometer kuantum yang sudah selesai diperbaiki. Kristal temporal di dalamnya berpijar biru, menandakan cukup energi untuk satu kali perjalanan pulang.

Permaisuri masuk dengan langkah pelan. Wajahnya pucat, namun matanya tegar.

“Kanda akan pergi, bukan?” bisiknya.

Siliwangi mengangguk. “Maafkan aku. Aku tidak bisa membiarkan teknologi masa depan mengubah jalannya sejarah. Terlalu berbahaya.”

“Aku sudah tahu sejak lama bahwa suatu hari kanda akan pergi,” permaisuri memeluk suaminya. “Yang penting, kanda telah memberikan kami anak-anak yang luar biasa.”

Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, Siliwangi berkumpul dengan ketiga anaknya di hutan keramat belakang istana. Ia memberikan masing-masing dari mereka sebuah jimat kecil.

“Ini adalah pemberian terakhir Ayahanda,” katanya. “Jimat ini akan melindungi kalian dan memberikan kekuatan saat kalian membutuhkannya.”

Yang mereka tidak tahu adalah bahwa jimat itu adalah teknologi medis masa depan yang akan memperpanjang umur dan meningkatkan daya tahan tubuh mereka.

“Ayahanda, kenapa harus pergi?” Rara Santang menangis dalam pelukan ayahnya.

“Karena setiap orang memiliki jalannya masing-masing, anakku. Jalan Ayahanda sudah selesai di masa ini.”

Kian Santang maju selangkah. “Suatu hari nanti, akankah Ayahanda kembali?”

Siliwangi tersenyum. “Ketika Sunda membutuhkan, ketika nilai-nilai kebaikan terancam punah, maka Ayahanda akan kembali.”

Walangsungsang yang paling kecil memeluk ayahnya erat-erat. “Aku akan membangun pelabuhan terbesar di Jawa, Ayahanda! Supaya kalau Ayahanda kembali, Ayahanda bisa berlabuh di sana!”

“Aku akan menjadi pelindung yang kuat!” seru Kian Santang.

“Dan aku akan mengajarkan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anakku,” janji Rara Santang.

Siliwangi mengaktifkan kronometer kuantum. Cahaya biru berpijar mengelilingi tubuhnya, membuat daun-daun bergetar dalam resonansi temporal.

“Ingatlah,” suaranya mulai terdengar jauh, “Ayahanda mencintai kalian bukan karena darah yang mengalir di tubuh kalian, tetapi karena kebaikan hati yang kalian miliki. Teruslah berbuat baik, dan jiwa Ayahanda akan selalu bersama kalian.”

Tubuhnya mulai menjadi transparan. Ketiga anaknya mengulurkan tangan, berusaha meraihnya.

“Sampai jumpa di masa yang akan datang,” bisiknya, lalu menghilang dalam ledakan cahaya yang menyilaukan.

***

Dr. Arya Siliwangsa membuka mata di laboratorium temporal tahun 2157. Teknologi canggih menyambutnya kembali, namun hatinya terasa hampa. Ia bangkit dan menuju komputer utama, mengakses database sejarah Nusantara.

Di sana tertulis: “Walangsungsang kemudian dikenal sebagai Mbah Kuwu Cirebon, pendiri pelabuhan dagang terbesar di pantai utara Jawa. Raden Kian Santang menjadi tokoh legendaris yang melindungi rakyat kecil. Rara Santang menikah dengan Syarif Abdullah dan melahirkan Sunan Gunung Djati, salah satu Walisongo penyebar Islam di Jawa.”

Arya tersenyum bangga. Intuisinya tentang anak-anaknya ternyata benar. Mereka telah menjalankan potensi yang ia lihat dalam diri mereka dengan sempurna.

“Prabu Siliwangi menghilang dalam peristiwa yang disebut moksa pada tahun 1521,” ia melanjutkan membaca. “Legenda menyebutkan bahwa suatu hari nanti, ketika tanah Sunda membutuhkan, sang Prabu akan kembali.”

Ia menatap ke luar jendela laboratorium, di mana kota metropolitan masa depan terbentang luas. Namun hatinya masih terikat pada sawah hijau Pajajaran dan senyuman tulus ketiga anaknya.

Dalam hatinya, ia berjanji: suatu hari nanti, ketika teknologi temporal lebih sempurna, ia akan kembali. Bukan sebagai Dr. Arya yang terjebak, tetapi sebagai Prabu Siliwangi yang memilih pulang kepada keluarga yang dicintainya.

Karena rumah sejati bukanlah di masa kita dilahirkan, tetapi di masa kita belajar mencintai dengan sepenuh hati.

Tangerang, 30 Juli 2025

Lampiran :

Kronometer Kuantum, Jam tangan canggih yang bisa membuka pintu waktu.

Translator Neural, Penerjemah otomatis yang tertanam di otak. Seolah-olah lidahmu langsung bisa bicara bahasa mana pun, termasuk Sunda Kuno.

Setelan Pelindung Temporal, Baju anti-sengatan waktu.

Scanner Biologis, Alat pendeteksi usia, luka, penyakit, dan… tahun berapa kamu berada.

Tablet Nutrisi, Makanan masa depan: cukup satu pil, kenyangnya.

Enhancer Otot Mikro, Alat kecil untuk jadi kuat seperti Hanoman. Tapi bukan karena ilmu kanuragan, ini karena sains!

Nanobot Medis, Ribuan robot kecil yang masuk ke darah untuk menyembuhkan luka atau penyakit. Seperti mantra pengobatan, tapi mekanik.

Pemanggil Hujan Teknologi, Pawang hujan digital. Tidak perlu sesajen, cukup aktifkan alat dan langit pun menuruti.

Proyektor Hologram, Mesin yang bisa menampilkan gambar tiga dimensi di udara.

Amplifier Nano, Pengeras suara ukuran debu. Biar bicara pelan pun bisa terdengar seisi alun-alun.

Kristal Temporal, Batu energi waktu, bahan bakar untuk mesin waktu. Dalam istilah lokal, ini semacam mustika waktu.

Resonansi Temporal, Getaran atau suara aneh ketika waktu mulai berubah.

Teknologi Medis dalam Jimat, Teknologi dari masa depan yang dibungkus jadi jimat. Bisa memperpanjang umur, meningkatkan kekuatan, tanpa terlihat.

Biodata Penulis

Penulis pemula fiksi ilmiah yang mengkhususkan diri pada adaptasi mitos dan legenda Nusantara dengan pendekatan saintifik. Memiliki ketertarikan mendalam terhadap kemungkinan ilmiah di balik cerita-cerita tradisional Indonesia, mulai dari kisah raja-raja sakti hingga fenomena supernatural dalam folklore lokal.