Awal dari Kehidupanku yang Baru
Sudah kelima kalinya aku bermimpi buruk malam ini, semenjak kedua orang tuaku bercerai. Ya, mereka menyalahkan aku. Seperti itulah anggapan mereka. Ayah dan Ibu memutuskan bercerai setahun silam, karena masalah yang kutimbulkan.
Aku mengagumi seseorang bernama Muhammad Ali Warkhan sejak pertama bertemu dengannya di komunitas je-Jepang-an, bernama Atsuki J-Freak Community tahun 2005.
Sabtu sore ini, aku bermaksud mengunjungi teman-teman komunitas Atsuki. Sempat khawatir juga sih, karena hampir satu jam berkeliling taman budaya Yogyakarta, belum terlihat tanda-tanda keberadaan mereka.
Hampir saja aku berteriak, ketika tiba-tiba dari belakang terdengar suara seorang cewek menepuk pelan pundakku. “Hai, boleh bertanya?”
Aku pun menoleh ke belakang. “Kamu tahu tempat perkumpulan komunitas Atsuki?” Melihat aku yang kebingungan, cewek itu pun melanjutkan, “komunitas pencinta segala hal tentang Jepang gitu. Aku belum ketemu mereka nih.”
“Aku juga sedang mencari tempat perkumpulan komunitas Atsuki, Kak,” balasku ramah, sambil menyunggingkan senyum persahabatan. Karena cewek di depanku ini sepertinya orang baik, aku melanjutkan, “Bagaimana kalau kita mencari bersama saja?”
Cewek itu refleks menjentikkan jari, “Ide bagus,” sembari melanjutkan, “namaku Rahma. Namamu siapa?”
“Namaku Maruyama. Salam kenal, Kak….” Aku mengulurkan tangan, tanda persahabatan. Rahma pun membalas uluran tanganku.
Lima belas menit akhirnya kami menemukan perkumpulan komunitas Atsuki. Kini, kami sedang duduk membentuk lingkaran, dengan seorang cowok berada di tengah. Sepertinya ia ketua kelompok, atau orang penting yang ditugaskan untuk mengatur anggotanya. Awalnya, aku tidak begitu memikirkan dia. Tapi, ternyata takdir berkata lain.
Setelah perkenalan kami waktu itu, kami dipertemukan kembali, setelah aku menjadi bagian dari teman komunitas Atsuki. Tentu saja yang memasukkanku menjadi anggota kelompok, tidak lain adalah kak Li. Ya, namanya Muhammad Ali Warkhan, sering dipanggil Li Chan.
“Kamu anggota baru, ya?” Kak Li tiba-tiba menghampiriku.
“Iya, Kak.”
“Kalau ada waktu, mampir saja ke sini, tiap Sabtu jam lima sore. Kita sering kumpul membahas film terbaru.”
Aku hanya bisa mengangguk.
“Panggil saja aku Li chan.”
Sambil menyambut uluran tangan Kak Li, aku menjawab, “Maruyama.”
“Nickname, ya? Bagus juga,” balas Kak Li, sambil mengangguk-ngangguk. “Nama aslimu siapa, sih? Boleh tahu?” lanjut Kak Li tersenyum.
Aku hanya bisa menggeleng pelan.
Tahun demi tahun telah berlalu. Tak jarang, kami sering berhubungan via pesan, meskipun hanya sebatas kegiatan atsuki. Hingga kecelakaan itu terjadi padaku.
Sore itu, aku baru saja pulang dari rapat presentasi kerja ilmiah remaja. Karena terburu-buru menghadiri acara ulang tahun Kak Li, aku tidak memperhatikan jalan. Konsentrasiku terbagi, ketika salah seorang temanku memanggilku. Saat itulah, sebuah truk menabrakku keras. Buku-bukuku berhamburan. Sebelum tak sadarkan diri, aku masih sempat bergumam lirih, menyebut nama orang yang diam-diam kusukai. “Kak Li Chan, maafkan aku tidak bisa menghadiri acara ulang tahunmu.”
***
Di lain tempat, tepatnya di sebuah rumah sederhana, Kak Li yang sedang memegang sebuah gelas tersentak kaget ketika gelas itu tiba-tiba jatuh. Dia pun sibuk beristigfar beberapa kali. Ada apa ini? Kenapa firasatku mengatakan, seperti ada suatu musibah sedang terjadi.
Telepon singkat tentang kecelakaan yang dialami oleh Maruyama setengah jam lalu, membuat Kak Li setengah berlari menelusuri setiap koridor Rumah Sakit Hasan Sadikin. Begitu ia mendengar obrolan beberapa perawat kalau aku membutuhkan darah golongan AB, temanku itu bermaksud membantuku.
Sebulan berlalu, aku sudah diizinkan pulang. Luka-lukaku pun sudah sembuh. Namun, nahas, setelah kedua orang tuaku tahu hubungan asmaraku dengan kak Li, Ayah dan Ibu berdebat. Ayah berada di pihakku karena Kak Li bersedia menyalurkan darahnya kepadaku.
Sedangkan Ibu tak setuju. Namun, bagiku, terdengar klise: Ibu menyalahkan Kak Li karena pemuda itulah penyebab kakiku lumpuh, hingga ke mana pun aku pergi harus menggunakan kursi roda.
Pertengkaran tak terelakkan terjadi di rumahku, hingga Ayah melontarkan kalimat pedih ini, “Sebaiknya kita bercerai saja.”
Aku disuruh memilih, mau diasuh siapa, antara Ayah atau Ibu. Hingga akhirnya aku mulai berpikir, alangkah baiknya jika aku tidak memilih keduanya. Karena aku tidak mau mereka malah kembali bertengkar. Dan aku pun memutuskan tinggal bersama Nenek.
Hubungan asmara kami pun terbongkar juga. Akhirnya, Nenek mengetahui rahasia kami. Aku lega, Nenek merestui hubungan kami, ketika kami memutuskan untuk menikah.
Acara pernikahan yang kami adakan dua bulan kemudian pun berlangsung sederhana, yang disetujui oleh kedua keluarga kami masing-masing. Kami pikir, tidak ada salahnya diadakan dalam acara sederhana. Yang terpenting bagi kami, bisa membawa keberkahan dalam kehidupan rumah tangga kami berdua nantinya. Tamu undangan, entah itu teman maupun tetangga terdekat kami berdua ikut menghadiri acara pernikahan kami. Mereka juga mendoakan kami agar keluarga kami nantinya sakinah, mawadah, warohmah. Selain bersalaman dengan pengantin, juga diadakan pengajian sebelum acara utama dimulai. Tentu tak lupa pidato singkat dari ketua rukun tetangga dan rukun warga, berfoto bersama sepasang mempelai dengan tamu undangan dan kedua orang tua masing-masing pengantin, serta tak lupa sajian makanan.
Hari-hari kulewati bersama Kak Li. Ia mengajariku ketegaran dalam menjalani hidup. Bagaimana dulu ia mendirikan komunitas Atsuki dari awal. Bagaimana ia menghadapi masalah yang datang silih berganti hingga Atsuki bisa berkembang maju. Aku begitu kagum kepadanya, hingga tak mampu melukiskan kata.
Aku hanya bisa berucap dalam hati: Kalau aku mencintainya karena Allah.(*)
Catatan:
Atsuki artinya membara. Komunitas Atsuki dibentuk pada tanggal 25 September 2017. Bertempat di Taman Budaya Yogyakarta. Namun saat ini, komunitas tersebut tidak mengadakan perkumpulan lagi karena kesibukan masing-masing anggotanya dan beberapa di antaranya sudah tidak tinggal di Yogyakarta lagi, sehingga sulit untuk dikumpulkan. Namun, ikatan kekeluargaan kami tidak pernah pudar, karena Atsuki masih tetap ada sampai sekarang. Love you all.
Maryam Yapeni, berdomisili di kabupaten Sleman, Yogyakarta. Karena menyukai hal-hal yang berhubungan dengan Jepang, ia mempunyai nama pena Maruyama. Selain menjadi seorang penulis, ia juga ingin menginjakkan kaki ke Jepang. Suka menulis dan membaca fiksi—dan tentu saja—mendengarkan musik dan menonton anime Jepang.
facebook : Fukuda Maruyama, twitter :@maruyamaICHI1.
email : mry_calv@yahoo.com, gmail: maruyamaATTSUKI@gmail.com
Meskipun tidak masuk nominasi, cerpen ini kami anggap layak terbit di KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu keempat Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan