Gigi Gingsul
Oleh : Kepik Merah
Cerpen Unggulan Event Naskah Loker Kata (minggu kedua)
Satu-satunya suara mengganggu pada pagi yang sunyi dan dinginnya embun Desa Bumi Etam adalah ketukan pintu dari luar. Ketukan itu terdengar gusar memaksa pintu dibuka dan empunya ingin segera menghambur ke dalam. Mendengarnya kepala saya terasa sakit macam dipentungi palu baja sebab insomnia dua hari belakangan. Kelebat ingatan dari pagi-pagi sebelumnya menyusup satu persatu, masing-masing mengungkap wajah-wajah familiar, serta rahasia yang tersimpan dalam bayang-bayang cahaya siang.
Saya menemukan wajah pucat Fatur begitu pintu yang dikunci dari dalam terbuka. Badannya bergetar hebat seperti orang menggigil kedinginan, tapi keringat di pelipisnya tampak merembes bagai biji jagung habis diperotoli. Saya tidak sempat bertanya basa-basi pasal kegaduhannya menerobos masuk mess karyawan perusahaan tambang batubara. Alih-alih penasaran, saya membiarkan dia nyelonong menuju bilik pribadinya dan saya sendiri pergi ke dapur hendak menyeduh teh panas. Barangkali aroma daun teh kering yang diseduh air mendidih bisa meredakan sakit kepala saya.
Tidak ada orang lain di rumah kecuali Fatur dan saya. Delapan lainnya penghuni rumah tinggal bersama yang dikontrak perusahaan ini sudah berangkat sedari pukul lima pagi menunaikan shift kerja siang. Fatur dan saya kebetulan off duty, jadwal kami tidak bertugas sehari dalam sepekan. Biasanya ketika sedang libur dan cuaca mendung, tidak banyak yang kami lakukan. Hanya tidur sepanjang hari atau makan ketika orang katering yang mengantar ransum datang siang dan malam hari. Jika hari cerah, saya ikut pergi memancing bersama seorang tetangga, Paman Ali, warga asli Desa.
Dari Paman Ali, saya tahu banyak berita seputar perkembangan Desa. Menurut saya, dia salah satu tipe pria paruh baya yang banyak bicara, maksudnya senang mengobrol. Soal senar pancing yang putus, anak ayam yang baru menetas, Kepala Desa baru, maling di rumah menantu Pak RT, juga kabar meninggalnya anak bidan desa. Bahkan istri beliau yang pandai memasak itu pun dia sebut-sebut namanya dengan bangga. Acil Midah si tukang masak keliling terkenal di Desa. Hajatan mana yang bukan Acil Midah kepala kokinya, entahlah.
Dari Paman Ali juga saya dinasihati, agar saya pandai jaga diri di perantauan. Bukannya saya tidak bisa bela diri, saya pernah pakai sabuk kuning saat SMA, tapi hanya sampai situ saja. Saya tidak terlalu berminat pada Taekwondo dan melepaskan kesempatan menjadi atlet daerah setelah lulus. Saya lebih senang bekerja, menghasilkan uang saku yang lebih besar dan menabung beberapa rupiah buat mewujudkan mimpi bapak saya pergi haji. Soal nasihat jaga diri kata Paman Ali, tentu saja saya tidak berharap punya masalah dengan orang lain, berkelahi misalnya, tidak akan. Saya menghindari perkelahian.
Beda kisah kalau Fatur yang diceramahi. Nasihat Paman Ali lebih cocok, lebih mengena, lebih masuk akal jika diteriakkan ke telinga Fatur. Anak muda itu sumbu pendek, sama pendeknya dengan petasan banting, padahal usianya hanya terpaut tiga tahun di bawah saya. Pernah suatu kali dia bertengkar dengan Ramli di lapangan, beradu buku tangan. Teman-temannya enggan melerai sampai pengawas turun. Waktu saya tanya perkaranya hanya karena bercanda yang kelewatan, Ramli menyebutnya binatang, tak terimalah Fatur dikatai. Pada hari-hari normal, Fatur sebenarnya laki-laki biasa, merokok sesekali. Andai bukan sumbu pendek, dia boleh juga digelari si tangan kidal pekerja keras. Cita-citanya menikah dengan kembang desa.
Kembang desa?
Saya terdiam mengingat sesuatu. Tentang perjumpaan dengan Halimah, gadis belia yang membantu saya dorong motor dari gapura sampai depan rumah dua hari lalu. Rambutnya hitam panjang dibiarkan terurai sepinggang. Alisnya tebal membingkai bola mata yang bulat berbinar sayu. Gingsulnya kelihatan manis saat tersenyum. Suaranya pun lembut mengalahkan desau angin yang mengipasi ubun-ubun saya.
Bunyi ketel bersiul melengking tanda air sudah mendidih merobek lamunan saya. Uap panas mengepul saat saya menuangkan air yang baru direbus ke cangkir. Air panas mengisi cangkir kaca, di dalamnya sekantung teh celup menyebarkan warna, perlahan berubah dari kuning keemasan lalu menjadi cokelat kemerahan. Semakin merah, semakin gelap, semakin tajam warnanya. Saya berhenti menyiram air panas lalu beralih mengaduk teh kental. Anehnya, saya tidak menemukan wangi khas teh tawar di sana. Saya menghidu sambil terus mengaduk, sudah cukup tua warnanya kemudian saya sesap tanpa gula.
Dahi saya berkerut, curiga. Sesuatu yang sangat tipis mengganjal di lidah tidak menyenangkan untuk ditelan. Saya meraihnya dengan dua jari, dan melihat sehelai rambut keluar dari mulut saya. Rambut itu saya keluarkan, sekali tarik, namun ternyata cukup panjang menariknya sampai habis.
“Astaga!” pekik saya terkejut. “Pabrik mana yang jualan teh celup dioplos sama rambut?”
Saya mengamati rambut hitam yang jika dibentangkan panjangnya hampir satu depa itu. Bulu kuduk seketika meremang, sebab saya masih ingat bahwa tiada laki-laki gondorong atau manusia berjenis kelamin perempuan yang tinggal bersama kami. Sudah setahun berada di sini, saya pun belum pernah melihat ada anak gadis maupun nenek-nenek yang masuk ke hunian pekerja tambang. Rambut panjang tadi saya singkirkan di wastafel. Semenit berikutnya terbesit dalam pikir saya memeriksa ketel air. Betapa kagetnya jantung saya mau loncat.
Orang gila mana yang menyimpan rambut dalam ketel buat menjerang air? Bukan sehelai dua helai, saya ambil dengan sendok segumpal rambut hitam yang beruap panas itu. Seperti ada rasa terbakar tangan saya spontan melepaskan gagang sendok. Sendok dan gumpalan rambut basah itu terkulai di lantai.
Saat menunduk hendak mengambil sendok, di bawah meja wastafel saya lihat ada helm hitam entah milik siapa. Pergi ke kota pakai motor saja kami perlu menyewa dari tetangga. Boleh jadi seseorang meninggalkannya di sana sejak lama.
Belum beranjak menjauh, saya kembali terdiam. Menghentikan langkah, menghentikan jalannya waktu. Menatap seksama helm yang ternyata berwarna biru dongker, bukan hitam, bukan merk populer, dan murahan. Alis saya terangkat sebelah. Saya menyunggingkan senyum. Membalas senyum gigi gingsul manis itu.
Angin berhembus sepoi-sepoi, tetapi waktu enggan mengalir. Rambut panjang yang ditiup terbang melambai-lambai, bagai anak sungai yang panjangnya dari hulu hingga ke hilir. Ingin sekali saya benahi dan menyisipkannya ke belakang telinga. Tapi benda itu menyembunyikan telinganya. Tertutup. Rapat. Hanya wajah pucat dan senyum yang tiba-tiba hilang dalam kegelapan. Dalam helm. Helm hitam, bukan, tapi biru dongker.
Biru dongker. Apa sebenarnya warna hitam?
Hitam. Gelap. Ya, pasti hitam.
Kegelapan.
Malam yang gelap.
Kemana mataharinya?
Hanya kunang-kunang yang terbang dalam kegelapan.
Kunang-kunang terbang mendekat. Dengan cahaya di perutnya, ia melompat masuk ke dalam mata saya.
“Mas! Mas Andik! Mau kemana?”
“Mas Andik yang tinggal di mess WEM, ya?”
Pudar warna yang saya lihat pelan-pelan jadi terang. Silau. Saya menyipitkan mata. Sebelah tangan saya menghalangi cahaya. Satu senter. Tidak. Ada dua senter menyala di depan muka saya. Pak RT menyelempangkan sarung dan satu orang lagi saya kenali, Paman Ali. Mereka menyangga kedua lengan saya, bantu berdiri. Katanya, beruntung mereka sedang berjaga malam menemukan saya jalan ke arah gapura. Pukul tiga dini hari.
Apa?
Saya mengucek-ucek mata. Terbelalak. Saya tidak yakin dengan kenyataan bahwa hari sudah malam. Sudah mendekati waktu subuh malah. Saya pun mengedarkan pandangan, menyapu setiap jengkal kegelapan dan bayang-bayang remang di antara pepohonan. Saya menghitung jarak dari rumah sampai ke gapura. Berjalan sejauh lima ratus meter di tengah malam tidak masuk nalar saya, kecuali ada orang sinting repot-repot menggendong saya jauh keluar kamar.
“Saya tadi di dalam rumah, loh, beneran,” terang saya mengangguk-angguk pada Paman Ali.
“Mas Andik jalan sambil tidur, ya?” tanya Pak RT sembari menoleh pada kawan merondanya.
“Ajaib, Mas!” kelakar Paman Ali mencairkan suasana.
Bukannya tertawa, kami justru saling pandang bergantian. Kemudian saya pun diantar pulang sampai depan pintu.
Paginya, saya berangkat kerja seperti yang sudah-sudah. Teratur jam lima pagi naik bus perusahaan dari halte ke underpass, sebuah lapangan besar tempat perlintasan karyawan kontrak memasuki area tambang, area wajib perlengkapan dan seragam safety. Di dalam bus nomor sembilan belas khusus penumpang fuelman yang menuju jetty, saya duduk di bangku belakang, ikut menyahut pada satu topik pembicaraan, sisanya lebih banyak diam, memandang jauh keluar jendela. Jauh ke dalam bayang-bayang redup di antara pohon-pohon akasia yang berkejaran tertinggal di belakang.
Hari-hari berlalu dan insomnia saya semakin menyebalkan. Segala macam cara saya upayakan demi memejamkan mata. Katanya, membaca buku bikin mata lelah, saya pinjamlah satu dari kawan serumah, membosankan. Saya ganti olahraga ringan, main spinning bike, mengayuh sepeda statis dalam kamar. Belum tiga puluh menit, saya keringatan, berhenti dan bosan lagi. Pada akhirnya saya baru tertidur di penghujung malam sisa-sisa waktu istirahat dan bangun dengan kantung mata menghitam.
Memejamkan mata, entah bagaimana jadi menakutkan bagi saya. Tapi saya butuh tidur. Tapi jam tidur saya tidak baik-baik saja. Dan ketika saya tertidur, tidur itu jadi menyeramkan.
Selalu dengan mimpi yang sama. Helaian rambut yang ditarik keluar mulut sepanjang satu depa. Rambut-rambut yang menggumpal, kadang tersumpal. Kadangkala ia terurai bagai kepak sayap yang membelai wajah saya, menutupi hidung, sesak, kehabisan napas. Lalu saya terbangun. Lagi-lagi di gapura, dipulangkan warga yang meronda.
Di dalam bak mandi yang airnya seperti cermin, saya melihat wajah pucat seputih cat tembok. Wajah familiar yang kemarin lusa tersenyum dengan gigi gingsulnya. Cantik. Tapi tubuh saya bergidik. Ngeri.
“Mas Andik!”
Linglung. Saya tidak ingat kapan Paman Ali masuk kamar. Juga Fatur. Dengan raut muka merah padam, biji mata membesar dan menyala-nyala, rahangnya mengeras, napasnya memburu. Saya lihat tangannya terkepal, memasang badan siap menyerang.
BUKKK!!!
Satu tonjokan. Telak di pipi kanan. Perih.
Saya teringat kata-kata Paman Ali. Ternyata saya belum bisa. Jaga diri.
“Setan, Kau!” pekik Fatur hendak meninju kali kedua, namun ditahan.
Paman Ali menahannya.
“Mas Fatur, sabar, Mas.”
Saya pun memasang kuda-kuda. Satu tendangan bisa saja merobohkannya.
“Mas Andik! Mas Andik!” Paman Ali menengahi.
“Paman minggir! Saya mau dia jelasin! Kenapa dia pukul saya?!” Saya bertanya geram.
“Setan! Kau setan!”
“Apa kau bilang?!”
“Mas Andik, begini, kamu jawab aja ya. Jangan terpancing dulu,” ulur Paman Ali. “Mas Andik pernah jalan dengan Dek Halimah?”
“Jawab, Setan!” Lewat bahu Paman Ali, Fatur menarik kerah baju saya.
“Halimah anak Bu Bidan?”
Paman Ali mengangguk.
“Jawab aja! Kau yang jalan sama Halimah tempo hari, bukan?” Fatur tak mau melepas cengkeramannya.
Linglung. Saya membenarkan. Senin sore, menjelang magrib. Halimah mengutarakan perasaannya pada saya. Perasaan yang tidak bisa saya kembalikan dengan wujud yang sama. Perasaan yang tidak cukup kuat menancap di hati saya. Dan. Perasaan yang tidak ingin saya khianati.
“Halimah meninggal gantung diri, Mas!”
Paman Ali menarik lengan Fatur menjauh.
Kepalan tinju saya surut. Dada terasa panas di dalam sana, dan hati saya mencelos. Saya tak sanggup menatap mereka. Tak sanggup pula berkata-kata.
Maafkan saya.
Halimah.***
Kaubun, 18 Juni 2025
Kepik Merah, hanya kumbang buruk rupa dengan sayap kecilnya mencoba terbang mendaki semesta yang begitu besar. Suka melipat benua dan menjahit kolam budaya lewat buku-buku. Masih juga percaya pada teori bahwa jus alpukat asalnya dari Indonesia.