Selasa
Oleh: Rinanda Tesniana
Cerpen Unggulan Event Naskah Loker Kata (minggu kedua)
Tanah yang menutupi jasad Bapak belum kering benar. Bunga-bunga yang minggu lalu aku taburkan di atasnya pun masih utuh meski sudah mengering. Nisan dari kayu yang tertulis nama dan tanggal kematian Bapak sedikit pudar, mungkin terpapar hujan panas yang seminggu ini silih berganti.
Hari ini, aku menangisi lagi kepergian Nenek, ibu dari Bapak, yang mendadak meninggal subuh tadi. Lepas Zuhur, jenazah beliau yang disemayamkan di rumah kami, dikubur tepat di sebelah makam Bapak.
“Siapa lagi habis ini?”
Suara bisikan entah siapa di belakangku, membuatku teringat kata-kata adik-adik Bapak tadi pagi.
“Mas No tega banget jemput Ibu.” Tante Ningsih berkata lirih di antara isak tangis yang tak kunjung berhenti sejak tiba di rumah kami.
“Hus, jangan keras-keras, ndak enak kalau Mbak Neni dengar.” Tante Rima memeluk bahu adiknya itu.
“Tapi, Mbak, bener, kan? Mas No meninggal hari Selasa. Beliau jemput Ibu hari Selasa. Habis ini siapa?”
Tante Rima dan Tante Ningsih berpelukan seolah hanya mereka berdua yang kehilangan. Aku meletakkan kembali gelas berisi air yang tadinya hendak kuminum untuk membasahi tenggorokan yang mulai terasa perih.
Di ruang depan, di sisi jenazah Nenek, Ibu setia mengaji. Membaca surat apa saja yang dibukanya dalam kitab suci. Aku tahu Ibu adalah orang paling hancur hari ini. Setelah kepergian Bapak, yang bahkan air mata Ibu belum kering, minggu ini mertuanya pun berpulang. Tak ada yang tak mengetahui kedekatan Ibu dan Nenek. Tiap orang tuaku bertengkar, Nenek pasti membela Ibu walaupun dia yang bersalah. Terlebih di depan Tante Ningsih dan Tante Rima, Nenek selalu membanggakan Ibu yang perhatian dan sayang padanya.
Di malam pertama kematian Bapak, Nenek dan Ibu mengobrol di kamarku hingga pagi. Mereka membahas kejadian-kejadian lucu saat bersama Bapak, tertawa untuk beberapa hal, berakhir dengan menangis berpelukan.
“Aku takut, Mbak ….” Suara Tante Ningsih memecah lamunanku.
“Sudahlah, Ning, ajal itu takdir. Ndak ada hubungannya sama hari sial.”
“Mbak, Mbak ndak ingat, toh, waktu Pakde Jaya meninggal hari Selasa. Adiknya, kakaknya, keponakannya, sahabatnya, semua meninggal. Sampai anaknya meninggal hari Jumat, baru siklus kematian itu berhenti.” Raut wajah Tante Ningsih tampak ketakutan.
Aku menggelengkan kepala. Tak percaya mendengar pendapat tak masuk akal tanteku itu. Aku yakin semua sudah digariskan Tuhan. Bukan salah Bapak yang meninggal hari Selasa dan menjemput Nenek pergi bersamanya. Apa bisa orang mati menjemput orang yang masih hidup? Ada-ada saja.
“Nenek udah nggak ada, Ge.” Lamunanku berhenti saat Ibu berpegang pada lenganku. Aku mengangguk, menatap masygul kuburan Nenek yang mulai ditutupi tanah.
*
Malam keempat setelah kepergian Nenek, rumah terasa sangat kosong. Ibu masuk ke kamar setelah Isya, sanak-saudara pun sudah pulang ke rumah masing-masing.
Aku duduk di kursi makan. Dari sini, ruang tamu dan ruang keluarga terlihat jelas karena Bapak sengaja mendesain rumah ini tanpa sekat. “Biar keluarga kita bisa ketemu terus.” Begitu katanya saat kutanya mengapa.
Aku menghela napas panjang. Sudah pukul sepuluh malam, tetapi mataku tak juga mengantuk. Samar rintik hujan terdengar, beriringan dengan suara angin yang cukup kuat. Lolongan anjing membuat rambut di seluruh tubuhku berdiri. Mendadak gorden ruang tamu tersibak karena tiupan angin. Mataku tertumbuk pada pemandangan gelap di luar rumah yang hanya diterangi lampu teras temaram. Aku mengalihkan pandangan, berusaha tak merasa takut di rumahku sendiri.
Biasanya Bapak duduk di sofa panjang ruang tengah, bersebelahan dengan Nenek yang suka sekali menonton berita. Lalu Ibu duduk di sofa tunggal, menyimak obrolan Bapak dan Nenek kemudian menengahi jika mereka berdebat sengit. Tanpa sadar aku tersenyum mengingat rutinitas itu.
“Senyum sama siapa, Ge?”
“Loh, kamu ndak tahu, toh, Gea udah punya pacar, pasti lagi ingat pacarnya. Siap-siap mantu kamu, No.”
Aku terperangah melihat Bapak dan Nenek duduk di tempat biasa. Hanya saja biasanya aku melihat punggung mereka karena arah kursi menghadap ke televisi, kali ini mereka menghadapku.
Kain gorden masih bertiup seolah ada angin yang sengaja menerbangkannya, lampu ruang tamu berkedip sebelum mati total. Suara anjing tetangga melengking keras, seolah ia berada tepat di telinga. Sejenak kerja otakku berhenti. Lupa dengan semua kejadian yang terjadi seminggu ke belakang.
“Beneran, Ge, kamu udah punya pacar? Yang nganterin kamu naik Beat itu?” Bapak menatapku antusias. Wajahnya pucat tetapi senyum di bibirnya tak hilang.
“Beneran, Ge?” Nenek menyeringai, memandangku yang tengah memelotot melihat darah yang mengalir di pelipisnya.
Seluruh bagian tubuhku seperti diikat besi. Aku terpaku kaku, tak mampu bergerak atau berkata apa-apa.
“Beneran, Ge?” Suara Nenek menggema, seolah jauh tetapi kini Nenek sudah ada di depanku.
“Beneran, Ge?” Nenek tertawa terbahak-bahak menunjukkan barisan gigi runcing yang penuh darah.
“Beneran, Ge?” Kepala Bapak sudah berada tepat di pangkuanku.
*
“Kamu kurang tidur? Kantung mata kamu hitam banget.” Ibu sedang menyiangi sayuran saat aku keluar kamar pada pukul sepuluh pagi.
“Kangen Nenek sama Bapak, Bu.”
Ibu menghela napas, tampak berat. Gurat lelah dan kesedihan membuat wajah Ibu terlihat lebih tua dari biasanya.
“Ibu mimpi Nenek, Ge. Nenek ngajak Ibu ke rumahnya.”
Aku menatap Ibu nanar. Aku belum siap kehilangan lagi. Apa benar setelah ini giliran Ibu?
Aku sengaja tak menceritakan peristiwa semalam yang membuatku pingsan dan tersadar di atas tempat tidur—entah siapa yang memindahkan. Aku tak ingin menambah beban pikiran Ibu.
“Ibu … mungkin Ibu capek.” Aku tersenyum getir mengingat percakapan panjang di semua grup keluarga beberapa hari ini. Mereka mulai mencemaskan tentang siapa selanjutnya yang menyusul Nenek. Mitos tentang kematian pada hari Selasa yang akan mengajak orang terdekat untuk berpulang juga gencar dibahas.
“Sudahlah!” Ibu menepiskan tangan melihat ekspresi wajahku. “Jangan mikirin tentang itu.”
Kami sama-sama tahu apa yang Ibu maksud dengan itu.
“Ajal itu sudah ditetapkan sebelum kita lahir.”
Ibu menyiangi sayuran. Dia bergerak lamban menutup keran air, mencuci sayur, berbicara tentang hal-hal acak. Bapak, di sana, di sebelah kanan Ibu, sementara di sebelah kirinya Nenek tegak dengan limbung. Aku ingin berteriak terapi tenggorokanku seolah ditelan mamalia buas.
“Ge.” Ibu berbalik, menatapku, wajahnya pucat, seringai di bibirnya membuatku terpaku, terlebih ketika dia mendekatiku. Pun Bapak. Pun Nenek.
“Ya, kan, Ge?” Suara Ibu jauh, tetapi dia dekat. Berjalan berjingkat-jingkat, tertawa terbahak-bahak lalu menggelepar di lantai. Bapak dan Nenek membiarkan Ibu, mereka menatapku, dalam.
“Gea!” Ibu mengguncang bahuku. “Kok, bengong?”
Tak ada Bapak dan Nenek. Tak ada Ibu yang kejang di lantai. Yang ada beliau sedang melihatku dengan sorot mata bingung. Aku menggelengkan kepala. Mulai mencemaskan diri sendiri. Apakah aku selanjutnya yang akan mati? Mengapa bayangan Bapak dan Nenek tak berhenti mengganggu?
*
Tepat seminggu setelah kematian Nenek, aku sibuk membantu Ibu berbenah di dapur. Acara mendoa kemarin malam, membuat area dapur seperti kapal pecah. Kami baru sempat membersihkannya malam ini, karena seharian tadi Ibu mengurus surat kematian Nenek, sementara aku kuliah.
“Panggil Bik Atun aja besok, ya, Ge? Capek banget. Udah kemalaman juga.”
Aku mengangguk. Tak sanggup rasanya melihat tumpukan piring, mangkok-mangkok, gelas, sendok, semua harus dicuci.
“Bu, ini Selasa, kan. Semoga saja ….”
“Sudahlah.” Ibu menyentuh bahuku lembut. “Mandi sana! Bau asem.” Ibu menutup hidungnya. Aku menyambut dengan tawa. Tawa pertama dalam dua minggu ini.
Sejujurnya beberapa hari ini aku tak berhenti memimpikan Bapak dan Nenek. Kata Ibu, mereka minta doa. Tadi malam, aku mimpi Bapak menarik tanganku, memaksaku naik ke kereta kencana yang menunggu kami. Dalam mimpi itu aku menolak, tetapi Bapak kuat sekali. Hampir saja aku naik ke dalam kereta kencana itu, beruntung aku terbangun dengan tubuh penuh peluh. Aku bingung, apakah semua itu nyata? Mengapa lelahnya terasa sampai sekarang? Atau mimpi buruk itu hanya kamuflase dari ketakutanku akan kematian? Meski menolak percaya, tetapi Tante Ningsih selalu membahas tentang kematian berantai di grup keluarga. Lama-lama rasa takut menggerogoti batinku. Membuat aku paranoid dan ketakutan menunggu kedatangan hari ini. Namun, aku sedikit tenang karena Selasa kali ini hampir selesai. Sudah pukul sepuluh malam. Harusnya tidak ada berita buruk lagi, kan?
“Gea! Ge!” Pekikan Ibu menyadarkan lamunanku. Sejak tadi aku hanya terduduk sambil memegangi handuk di kamar. Pintu terkuak. Ibu muncul dengan daster yang masih berantakan, napasnya tak teratur. “Tante Ningsih, Ge. Tante Ningsih meninggal. Serangan jantung!”
Dadaku berdebar kencang. Jadi kali ini giliran Tante Ningsih? Diam-diam aku mengembuskan napas lega.
“Ge.”
Tante Ningsih tersenyum. Tepat di depanku.[*]
Padang, 19 Juni 2025
Rinanda Tesniana, pencinta malam, bubur ayam, dan hujan.