Tempat Duduk Ternyaman
Oleh: Ika Mulyani
Tiga Terbaik Lomba Cerpen Autofiksi
Kelasku adalah kelas unggulan pertama untuk jenjang kelas dua di SMP tempatku bersekolah. Aku suka sekali pada wali kelasku. Ia mengajar Bahasa Inggris. Usianya lima puluhan kurasa, tetapi masih terlihat cantik dan selalu modis. Rambutnya yang sebahu disasak tetapi dibiarkan terurai, tidak disanggul, jadi agak aneh menurutku. Ia selalu mengenakan kalung bernuansa etnik, yang ukurannya tidak pernah kecil, dan beberapa di antaranya bergemerincing saat ia bergerak. Sepatunya selalu pantofel berhak tinggi berbentuk seperti batang pensil, yang berbunyi nyaring setiap kali ia melangkah: tak tok tak tok. Bagus juga, sih. Dengan hanya mendengar suara sepatunya, aku jadi tahu kalau ia sudah akan memasuki kelas, sehingga aku bisa bersiap: duduk manis dengan wajah (seakan) bersemangat untuk memulai pelajaran.
Aku menyukai guru itu terutama karena ia mengatur tempat duduk di kelas, sehingga aku tidak perlu repot mencari teman yang mau duduk denganku. Dipasangkannya setiap satu siswa laki-laki dengan satu siswa perempuan untuk duduk dalam satu bangku, dengan alasan: “Supaya kalian tidak banyak mengobrol selama pelajaran.”
Setiap minggu, kami harus berganti posisi barisan. Bila minggu ini di barisan paling kiri di dekat pintu, minggu berikutnya bergeser ke kanan; barisan paling kanan pindah ke barisan paling kiri. Setiap hari, kami harus berganti tempat duduk. Hari ini di paling depan, besok di baris kedua, besoknya di baris ketiga, dan seterusnya. Jika sudah ada di paling belakang, di hari berikutnya jadi di paling depan.
Alasannya: “Supaya kalian semua bisa merasakan setiap posisi tempat duduk secara adil.”
Kawan sebangkuku terlihat sebal dengan pengaturan ini. Kurasa ia merasa nasibnya buruk sekali karena harus duduk sebangku denganku. Selama di kelas, meski hanya terpisah jarak tidak sampai setengah meter, kami lebih sering terlihat seperti dua orang yang tidak saling mengenal. Tetapi pernah satu hari, aku lupa karena apa, tiba-tiba saja ia menceritakan perihal rambutnya.
“Waktu kecil rambut gue ini lurus, lho. Enggak tahu kenapa, kok, sekarang jadi keriting gini.” Ia berkata sambil mengusap rambutnya dan tertawa.
“Wah, masa, sih? Aneh banget.” Aku ingat menyahut dengan suara sedikit bergetar dan hati berdebar.
“Iya. Gue juga heran. Makin lama makin keriting, tau.” Ia kembali tertawa.
Aku tersenyum. Dalam hati berharap setelah itu hubungan per-temansebangku-an kami akan menjadi lebih cair.
Namun ternyata tidak. Setelah hari itu, ia kembali seperti biasa: bicara padaku hanya jika benar-benar diperlukan.
Aku berusaha keras untuk tidak terlalu memikirkan, tetapi tidak berhasil. Apalagi sesungguhnya bukan hanya ia yang seperti itu. Semua siswa di kelas ini terasa asing bagiku, tidak ada yang mau berteman denganku. Bahkan Ratna teman sekelas di kelas satu, tidak pernah mau membalas sapaanku. Ia bersikap seakan tidak melihat wujudku, atau seolah-olah aku adalah makhluk menjijikkan yang tidak layak untuk dipandang.
Aku tidak pernah mengerti mengapa mereka begitu.
Mungkin karena mereka tidak suka karena aku malah tertawa geli ketika dalam satu ulangan Bahasa Inggris aku mendapatkan nilai tiga puluh? Aku ingat ketika itu aku tertawa karena kawan sebangkuku ternyata mendapat nilai yang sama.
Atau mungkin karena aku menyatakan keherananku saat ada yang menangis tersedu-sedu ketika mendapatkan peringkat ke-23 dalam rapor semester ganjil? Sementara aku sendiri ada di peringkat 29 dan merasa baik-baik saja.
Mungkin mereka menganggapku aneh, karena tidak bersikap selayaknya seorang siswa kelas unggulan. Atau mungkin aku seorang introver yang tidak pandai berteman. Atau mungkin dua-duanya.
Aku pernah mendengar selorohan tentang bagaimana seorang introver mendapatkan teman: sepuluh persen tidak melakukan apa-apa, dua puluh persen temannya datang sebagai kiriman Tuhan, dan sisanya “dipungut” oleh ekstrovert.
Kurasa Nina adalah kiriman Tuhan untukku di kelas satu, yang kemudian Dia tarik kembali ketika kami naik ke kelas dua.
Saat pembagian rapor kenaikan kelas waktu itu, ibuku keluar dari ruangan kelas dengan wajah berseri. Aku tersenyum saat melihat peringkat kelasku yang tertera di buku rapor: 9 dari 288 siswa.
Nina terlihat ikut senang, ucapan selamatnya terasa sangat tulus.
“Mamaku belum keluar.” Nina berujar saat kukatakan aku ingin melihat buku rapornya juga.
Aku pun memutuskan untuk menemani Nina menunggu ibunya dan meminta ibuku untuk pulang lebih dulu. Sementara menunggu, aku kembali membuka buku raporku dan tidak bosan-bosan melihat tulisan “9/288” itu.
Sekolahku memang selalu mencantumkan peringkat paralel di setiap kenaikan kelas, untuk kemudian mengelompokkan para siswa ke dalam kelas-kelas sesuai peringkat itu.
Aku masih tak percaya, ternyata di kelas dua nanti aku akan jadi bagian dari kelas unggulan pertama. Tak kusangka, aku bisa masuk peringkat sepuluh besar!
Namun, aku gelisah dan begitu juga tampaknya Nina, ketika ibunya tidak kunjung keluar dari ruang kelas. Kami harus menunggu lama sekali, bahkan sepertinya Ibu Nina keluar paling akhir. Wajahnya kusut sekali dan jadi agak menyeramkan. Tanpa menyapaku, bahkan tanpa melirikku sama sekali, ia menarik tangan Nina dan setengah menyeretnya pulang. Aku hanya bisa bengong.
Tampaknya waktu itu ibu Nina marah, karena ternyata di kelas dua Nina tercatat sebagai anggota kelas peringkat terendah. Aku merasa patah, seakan aku telah melakukan sesuatu yang salah sehingga kami harus terpisah.
Posisi ruang kelas kami yang bersebelahan membuatku sedikit terhibur. Saat istirahat, aku bisa menyambangi Nina dan mengajaknya ke kantin. Terkadang, kami pulang bersama-sama seperti saat kelas satu.
Akan tetapi, makin lama Nina makin sulit untuk ditemui. Ia lebih sering terlihat asyik berkumpul bercengkrama dengan banyak teman sekelasnya, membuatku segan untuk mengganggu. Mereka suka berbicara keras-keras, kadang terdengar iseng saling mengejek, lalu tertawa terbahak-bahak. Pasti seru sekali memiliki teman seheboh itu, walaupun kelihatannya para guru tidak terlalu sependapat. Agaknya guru-guru lebih menyukai kelas yang nyaris selalu hening. Seperti kelasku.
***
Hari ini Jumat, tanggal 21 April 1989. Aku melirik jam dinding di ruang tengah. Sepuluh menit lagi, pikirku. Aku malas kalau harus berlama-lama menunggu pelajaran pertama dimulai, karena tidak ada yang bisa diajak ngobrol. Sedih.
Aku pun keluar dari rumah dan duduk di kursi teras..
“Sudah sarapan?” tanya Ibu yang sedang menyuapi adik bungsuku.
Aku mengangguk.
“Kebiasaan, deh. Sempat-sempatnya duduk santai begitu! Udah jam enam lewat seperempat, lho, ini. Ayo sana berangkat!”
Aku kagum dengan perkiraan Ibu soal waktu yang nyaris selalu tepat meskipun tidak melihat jam.
“Nunggu Nina.” Aku merasa menemukan alasan yang tepat untuk hari ini.
“Nina mau nyamper? Enggak salah? Dia jadi harus putar balik, atuh.”
Kukatakan pada Ibu, Nina mengajakku untuk berangkat bersama-sama, naik mobil ayahnya yang akan pergi ke Jakarta.
Ketika sepuluh menit kemudian Nina tidak juga datang–tentu saja ia tidak akan datang, kukatakan pada Ibu mungkin Nina lupa. Atau mungkin ayah Nina tidak jadi pergi ke Jakarta, dan bekerja seperti biasa di kantornya yang berada di samping rumah dinas yang mereka tempati.
Di rumah kami tidak ada pesawat telepon, akan sulit bagi Nina untuk mengabari jika ada perubahan rencana. Jadi Ibu percaya cerita dustaku dan menyuruhku untuk segera berangkat. “Mudah-mudahan jalan lancar jadi kamu enggak telat,” katanya, tulus mendoakan.
Aku yakin, aku tidak akan terlambat. Aku sudah sering menghitung berapa lama waktu yang diperlukan untuk tiba di sekolah: biasanya dua puluh menit bila perjalanan lancar, tiga puluh bila ada kemacetan di beberapa titik rawan yang biasa.
Perhitunganku hari ini tepat. Beberapa saat sebelum pintu gerbang sekolah ditutup, aku sudah ada di kelas dan duduk di bangkuku.
Aku mengembuskan napas lega, karena tiba ‘tepat waktu’, dan karena hari ini adalah jadwalku untuk duduk di baris paling belakang, di pojok terjauh dari meja guru; tempat duduk ternyaman, yang kalau boleh, ingin aku tempati sepanjang tahun. []
Ciawi, 29 Desember 2024
Ika Mulyani, emak-emak introvert yang lebih suka berkomunikasi lewat tulisan.
__
Komentar Juri, Berry Budiman:
Cerita ini mengekspresikan dengan baik karakter seorang introver, bahwa mereka bukanlah seorang pemalu. Terkadang cara berpikir mereka tidak sama dengan orang lain, dan mereka merasa nyaman saja untuk menunjukkannya. Mereka juga tidak mengharuskan orang lain untuk mengerti apa yang mereka rasakan. Mereka lebih suka megolah perasaan itu sendiri dan memberinya makna. Di sini terlihat sekali ada eksplorasi penulis terhadap dirinya sendiri, yang merupakan nyawa dari sebuah autofiksi.
Tokoh dan cara tuturnya juga relatable bagi pembaca yang juga seorang introver, seperti halnya penulis. Misalnya terkait mendapat nilai kecil saat ujian, itu juga kualami, karena bagiku lebih baik nilai kecil daripada mencontek dan karena itu saat SMA aku selalu keluar lebih awal saat ujian. Bukan karena bisa menjawab semua soal, justru karena tidak bisa menjawab sebagian besar soal, dan menunggu sampai waktu berakhir pun percuma saja, kan? Kalau tidak tahu ya tidak tahu! Ilham tidak akan datang kecuali waktu yang tersisa kamu gunakan untuk curi-curi kesempatan mencontek. Cara pikir yang tidak umum, tentu saja.
Plot cerita ini pun disusun dengan menarik dan dirangkai dengan cara yang “apa adanya”, sehingga membuatnya mengalir dengan natural, sebagaimana pengalaman yang tidak pernah bisa kita arahkan ke mana akhirnya.