Suatu Siang di Persinggahan
Oleh: Hassanah
Terbaik 9 Lomba Cerpen Autofiksi
Sebagian orang-orang yang turun bersamaku sudah dijemput keluarganya. Sebagian lagi sudah melanjutkan perjalanan dengan kendaraan lain. Bus-bus yang terparkir sebelumnya juga sudah melaju dengan penumpang-penumpangnya. Dan aku masih menunggu di bangku loket sambil bernostalgia.
Dua belas tahun lalu, saat usiaku baru sepuluh tahun, aku ingat betul suasana di loket ini. Aroma solar yang menguar dari knalpot bus, suara kondektur yang berteriak, supir becak yang mendekati gerombolan penumpang yang baru turun, juga rasa lelah setelah kurang lebih 15 jam perjalanan. Aku juga ingat bagaimana Ibu menyuruhku duduk dan menjaga tas-tas kami dan Ayah pergi ke toilet bersama adikku. Waktu itu, aku hanya memikirkan rumah nenek dan pohon durian di belakangnya.
Jika diingat-ingat, sepanjang perjalanan, aku dipangku oleh Ayah. Ayah memeluk pinggangku agar ketika tertidur, aku tak terjatuh. Lengan Ayah yang besar juga membuatku tidak tertubruk penumpang yang lewat. Sebab kami duduk di dekat lorong. Sebenarnya aku lebih suka duduk di dekat jendela, tapi adikku lebih suka dipangku oleh Ibu ketimbang Ayah.
Setibanya di loket, bukan berarti perjalanan kami berakhir. Kami harus melanjutkan perjalanan menggunakan mobil travel selama lima jam. Dan sembari menunggu supir travel menjemput kami, Ibu menyuruhku makan pagi sekaligus siang di kantin dekat loket. Tetapi, perutku masih mual. Aroma solar dan pengharum bus membuatku tak nafsu makan sama sekali.
Aku masih ingat, kami berempat duduk berhadapan di salah satu meja. Ibu memesan nasi dan gulai ikan tongkol, sementara Ayah memilih lauk ayam goreng. Ibu menyuapi adikku dan aku menggeleng saat Ayah menawari. Dan perhatianku teralihkan pada abang-abang yang mengantar teh dan kopi panas ke meja kami. Dia mengenakan jins hitam dan kaus oblong bewarna senada. Tubuhnya agak kurus. Tingginya hampir sama dengan Ayah. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya lurus dan lebat. Saat menyajikan pesanan kami, gigi gingsulnya kelihatan.
Aku terus memerhatikan lelaki itu. Dia kembali ke area dapur dan bersenda gurau dengan temannya. Tak lama, dia kembali membawa nampan dan menyajikan segelas jus ke meja yang lain. Saat itu, pandanganku benar-benar terkunci padanya.
”Makan apa jadinya, Kak? Pop mie mau?” Kalau saja Ibu tak bertanya, mungkin leherku bisa keram karena terus memperhatikan lelaki tadi.
Aku menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ibu. Ayah diam saja. Adikku seperti hanya memedulikan suapan Ibu.
”Makan! Nanti masuk angin kalau gak makan.” Ibu menaikkan sedikit suaranya.
Dan kali itu aku hanya diam sambil melirik lelaki yang baru saja mengambil gitar dan duduk di muka loket. Si abang-abang berkaus hitam.
Entah berapa lama, tiba-tiba ayahku berdiri. Membuka jaketnya, menyerahkannya pada Ibu. Setelahnya, Ayah mengajakku.
Aku tak bertanya. Hanya menurut sambil terus memerhatikan lelaki yang sedang bermain gitar bersama temannya. Yang kemudian, datang seorang perempuan muda berkaus hijau ketat dan bergabung bersama mereka.
”Pegang tangan anaknya, Yah!” Ibu memerintah sebelum kami benar-benar meninggalkan kantin.
Dan saat itu, aku hanya melihat jalan di depanku dan sesekali mendongak, melihat wajah Ayah.
Kami berjalan hingga kurasakan kepalaku terasa panas dan sedikit gatal. Bawah hidungku berkeringat. Dan Ayah membawaku untuk menyebrangi jalan. Kami menuju salah satu gerobak yang ada di trotoar. Seorang bapak-bapak sedang duduk di kursi plastik merah sambil memegang mangkuk putih. Entah kenapa, aku jadi tersenyum sambil melihat wajah Ayah dan gerobak secara bergantian.
”Bakso apa, Buk?” tanya Ayah.
”Bakso ikan, Pak.”
”Sapi gak ada?”
”Habis.”
”Mau?” Ayah menoleh kepadaku.
Aku mengangguk mantap. Tak bisa rasanya kutahan senyumku. Dan aku pun duduk di kursi plastik yang tersisa. Ayah berdiri di sebelahku. Dan setelah pesanan kami selesai, bapak-bapak sebelumnya bangkit. Kemudian Ayah meletakkan mangkuk baksoku di kursi yang kosong.
Ternyata bakso ikan tidak begitu cocok di lidahku. Mungklgiain karena terbiasa memakan bakso sapi sejak kecil. Aku pun menyuapi Ayah agar lekas habis. Tetapi, bihun dan kuahnya tetap tersisa banyak.
Setelahnya, kami pun kembali berjalan menuju loket. Melewati ruko-ruko yang ramai. Menyebrangi jalanan yang padat. Dan Ayah sempat menawariku untuk membeli sate padang, tetapi aku menolak.
”Dapat, Yah?” tanya Ibu setibanya kami di loket, pada salah satu bangku tunggu.
”Dapat. Tapi kurang enak.”
Ibu tertawa kecil dan menggodaku, ”Udah kenyang?”
Aku ingin tersenyum malu, tapi terlalu gengsi dan akhirnya kucoba untuk cemberut saja. Tetapi, Ayah dan Ibu malah tertawa.
”Ya, halo!” Aku mengangkat panggilan di ponsel dan kenangan dua belas tahun lalu itu kembali terbungkus. ”Oh, iya, Pak. Saya di dalam loket. Pakai kerudung cokelat.”(*)
Pekanbaru, 29 Desember 2024
__
Komentar Juri, Berry Budiman:
Saat membaca cerita ini, aku bisa merasakan nostalgia yang ingin dibagikan penulis. Nostalgia yang membentuk sebuah gambar. Kenangan yang tentu saja meninggalkan kesan karena relatable dengan pengalaman banyak orang. Tetapi sayangnya, penulis tidak mengeksplorasi pikiran dan perasaan tokoh (dirinya sendiri) dengan optimal. Pengalaman itu hanya menjadi gambar yang ia ingat, tanpa munculnya makna mendalam yang menyertainya. Dengan penulis yang memberi jarak kepada dirinya (pengalamannya) sendiri, pembaca pun akan merasakah hal yang sama. Efek keintiman yang semestinya ada dalam cerita autofiksi pun melemah.