Dosa

Dosa

Dosa

Andai aku bisa menghilang ke masa lalu, aku akan memperbaiki segala yang salah dan menempatkannya ke dalam posisi yang semestinya. Sayang, masa lalu tak dapat diulang.

Aku Aluna. Gadis remaja yang mendambakan kehidupan rumah yang sebenarnya. Yang hanya menginginkan rumah sebagai tempat yang layak untuk ditinggali. Yang mengangankan sebuah kisah keluarga bahagia dengan berbagai lelucon yang ada.

Namun, semua itu hanya harapan semu yang tidak bisa kusentuh. Yang bisa kulakukan hanya terus berkhayal dan berimajinasi seolah aku memiliki keluarga yang sempurna walaupun pada kenyataannya hanya pil pahit yang mampu kureguk.

Semua yang kumiliki telah direnggut sang waktu dariku. Diembus bak angin yang menyapu dedaunan kering yang berjatuhkan. Menjauhkannya dari sang induk, di mana ia dulu pernah merasa nyaman di sana.

Mengapa angin sekejam itu padaku? Tak tegakah ia melihatku, sang daun berjauhan dengan inangnya? Tak dapatkah aku berguguran di sebelah ibuku dan membantunya subur kembali sehingga aku bisa terlahir kembali sebagai daun? Tidak bisakah?

Begitu kejam ujian yang kau berikan padaku, angin!

***

Yang menjadi angin, yang dengan tanpa perasaannya menghempaskanku adalah kecelakaan itu. Kecelakaan yang hembuskanku hingga ke titik terjauh di hidupku hingga aku lupa rasanya rumah. Ia akar semuanya.

Rasanya aku hampir akan memakinya jika saja tak ingat nasihat Bunda.

Jangan balas perbuatan orang yang jahat dengan perlakuan yang sama. Balaslah dengan kebaikan maka kau akan mendapatkan hasil yang berbeda.

Hingga pada akhirnya, aku hanya mengutuk takdir dan kecelakaan sialan itu tanpa bisa apa-apa.

***

Aku menatap langit-langit kamarku dengan pandangan yang suram. Sekarang, semuanya tak sama lagi. Everything has change.

Kupejamkan mataku. Semua kesedihan tiba-tiba terkumpul mengingat apa yang sudah terjadi. Aku baru saja akan menumpahkannya ketika suara pintu kamarku berderit terbuka. Aku bergegas bangun.

Dia berdiri di ambang pintu. Terpaku di sana. Ada kemarahan yang berapi-api di mata cokelat itu. Dia—ayahku.

“Kamu masih dis ini?” suaranya yang datar sanggup menusuk jantungku. Aku hampir saja lupa caranya bernapas. Aku bahkan tak berani menatap matanya. Banyak luka yang kutorehkan di mata lelaki yang kubanggakan itu.

“Kau bahkan tak berniat menjenguk ibumu sendiri. Kau anak macam apa, Sialan?!” Tidak ada emosi. Ayah menyampaikannya dengan datar namun sarat akan kebencian. Aku yakin, jika jantungku barang pecah belah, sekarang serpihannya sudah terserak ke mana-mana.

Dan, lagi-lagi aku hanya mampu bungkam. Hanya itu keahlianku saat ini.

“Dasar Anak Sialan! Jika saja buka karna permintaan Eva, kau sudah mati sekarang.”

Blam!

Pintu seketika tertutup bersamaan dengan tetes bening yang menjalar ke pipi dari kedua mataku. Rasanya teramat perih. Bukan karena perkataannya yang ingin mematikanku, melainkan karena kebencian dari hatinya tentangku tak pernah hilang. Sama sekali takkan hilang walaupun suatu saat nanti ia tahu kebenarannya.

Kali ini, aku menangis lagi. Dalam keheningan yang menjalar.

***

“Siapa anak ini?” Doni bertanya dengan nada menghentak pada Eva. Kekecewaan terpancar jelas di sana. Eva hanya menunduk. Tak tau apa yang akan dijawabnya dengan tangan tergenggam erat pada Aluna kecil.

“Maaf, Mas,” itu yang digumamkan Eva sehingga membuat kekalutan Doni bertambah.

Istrinya yang dibaggakannya selingkuh!

“Jangan bilang anak ini hasil hubungan gelapmu?” suara Doni yang bergetar sarat akan ketakutan membuat Eva mengangkat kepalanya. Ada getar luka di sana sekaligus kecewa. Untuk pertama kalinya, Eva menyesal berselingkuh.

Awalnya ia selingkuh pun karna mendengar desas-desus jika Doni—suaminya melakukan tindakan menyeleweng. Jadilah ia juga menjalin asmara kembali dengan berondong muda yang dulu sempat dijodohkan dengannya.

Eva tidak menyangka ternyata semua berita itu palsu. Saat Doni akan melangkah pergi, Eva melepas pegangan Aluna dan mendekap erat Doni dari arah belakang. Berkali-kali mengumankan kata maaf atas penyelewengan yang ia lakukan. Doni hanya terdiam.

Ia terus menunduk menatap tangan yang memeluknya. Terselip rasa bersalah namun segera ditepisnya. Dipeluknya Eva agar Eva percaya. Agar semua dosanya luruh.

Semoga saja.

***

Doni duduk di kasur sambil menatap map cokelat di tangannya dengan frustrasi. Mengingat permintaan Eva tadi, ia tak bisa menolaknya. Ia akan memperbaiki dosanya. Tapi tidak dengan anak itu. Anak itu malah membawa semua dosanya. Mengantarkannya dalam masa-masa pengkhianatan yang ia lakukan bersama sekretarisnya.

Ia akui ia bersalah. Dan ia akan memperbaikinya dan berusaha mencintai Eva lagi. Tidak dengan kehadiran anak itu di sisinya. Anak itu sumber masalah, sama seperti ibunya.

Dengan amarah yang memuncak, dirobeknya map cokelat itu dan dimasukkannya ke dalam tempat sampah. Ia hanya berharap, dosa itu tak menghantuinya, mengingat ada dosa yang serumah dengannya.

Dan kini, dosa itu, melaksanakan tugasnya dengan baik. Dosa itu berhasil membuatnya akan kehilangan Eva sekali lagi. Doni—ayah biologis Aluna, berteriak. Ia membenci Aluna.

Ini dosa yang harus ditanggungya.

***

“Di mana Aluna, Pah?” pertanyaan itu membuat Doni mengernyit. Tidak biasanya Eva menanyakan Aluna dis aat dia sudah tahu kalau Doni membenci anak itu.

“Dia di rumah,” Doni menjawab seadanya. Ia tak ingin kesehatan istrinya yang baru siuman dari koma pascaoperasi bertambah parah.

“Tapi, aku merindukannya.” Eva menatap Doni dengan pandangan memohon.

Doni menghela napas. Baru saja ia akan mengambil ponsel, dokter masuk ke ruang rawat. Dengan sedikit senyum sopan, Doni mempersilakan sang dokter untuk kembali mengecek fungsi organ tubuh Eva yang sempat terhenti karena koma.

Kecupan hangat di kening Eva menjadi awal mula untuk sebuah berita terburuk dalam hidupnya. Ia sudah menelepon rumah namun pada telepon yang ke-9 kalinya, belum ada yang menjawab. Dengan kecemasan level akut, Doni menelepon lagi.

Ia bersyukur ketika suara seseorang menyahut di seberangnya. Dengan nada cuek yang ia buat, mencoba menanyakan di mana Aluna. Dengan terbata, orang di seberang mengatakan Aluna menghilang.

Doni hampir memaki jika saja tak ingat di belakangnya kamar sang istri. Doni segera mematikan teleponnya dan dengan langkah gusar masuk ke ruang rawat. Samar, suara tangis mengiringi langkahnya.

Jantungnya langsung bertalu. Ada apakah gerangan?

Dan semua ketakutannya menjelma menjadi nyata saat Eva dengan isak tangisnya tergugu membaca surat yang di pegangnya. Eva menangis dengan tangan terulur pada Doni agar ia membacanya. Dengan gemetar, Doni menerimanya.

 

Dear Bunda,

Bunda, Aluna mau minta maaf gak pernah nengok Bunda setelah kecelakaan itu. Aluna takut Ayah marah sama Aluna. Aluna juga gak mau Ayah benci Aluna. Jadi, Aluna diem aja di rumah. Bunda tenang aja, walau di rumah, doa Aluna sampai ke bunda lho.

Bunda tau enggak? Ayah sayang banget sama Bunda, walau dengan sikap kaku kayak gitu, Ayah sayang bangetkan sebenarnya sama kita? Aluna yakin, walaupun ayah keliatan benci ke Aluna, ayah sayang Aluna.

Ayah cuma pengen Aluna jadi anak yang baik kan, Bunda? Dan Aluna malah ngehancurin harapan Ayah itu dengan gak sengaja bikin Bunda gak konsen nyetir pas kita naik ke puncak. Maafin Aluna ya Bunda. Mintain maaf Aluna juga buat Ayah….

Bunda, aku benci takdir yang bikin Bunda jauh sama Aluna. Aluna benci. Aluna gak suka angin yang bikin daun jadi jauh dari pohonnya. Aluna gak suka.

Dan kecelakaan itu, bikin Aluna lagi-lagi kehilangan kesempatan buat deket sama Ayah. Aluna pengen kenal siapa ayah Aluna. Masa Aluna gak tau nama ayah Aluna? Miris kan?

Oh ya, Bunda … maaf juga ya, pas Bunda siuman, aku ga bakal ada di sana. Aluna liatin kok dari atas sini. Jaga ginjal Aluna baik baik, lho.

Aluna sayang kalian. Tetap harmonis ya…

Aluna Deandra

 

Dosanya, mampu memporak-porandakan semua harapannya.  Penyesalan yang terlambat, hanya sebagai penghias hati. Dan Doni—ia menyesal.(*)

Mempunyai nama pena Ai Chase. Anak pertama dari keluarga ribut ini sangat menyukai dunia tulis menulis. Mottonya adalah Semangat yang tak pernah henti. Bisa kenalan lebih jauh di Facebook Ai Chase atau Instagram @aichaseai.

Meskipun tidak masuk nominasi, cerpen ini kami anggap layak terbit di KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu keempat Februari.

Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

Leave a Reply