Spanduk Lusuh

Spanduk Lusuh

Spanduk Lusuh

Oleh: Retno Ka

Tiga Terbaik Lomba Cerpen Autofiksi

Pernahkah, setidaknya sekali dalam hidupmu, kau tak bisa menjalani harimu dengan baik hanya karena sebuah mimpi? Dalam rentang waktu tertentu—yang aku tidak bisa memastikannya karena tidak pernah mencatatnya—aku selalu mengalami hal ini. Mimpi itu terkadang penuh warna seperti bianglala, kadang pula kelabu seperti udara yang pekat oleh debu. Yang menjadi kesamaan adalah, itu selalu memuat seseorang di dalamnya.

Dia kusebut seseorang, karena secara harfiah masih dikategorikan orang. Teman-temannya dulu memanggilnya An—kependekan dari … ya, kau bisa menebaknya. Aku tak pernah ikut memanggilnya begitu, karena kurasa, hewan yang betulan menyandang nama itu akan keberatan jika mendengarnya. Dia sendiri sepertinya baik-baik saja dipanggil begitu, tidak pernah tampak bangga dan tidak pula menunjukkan raut wajah kesal. Pengamatanku mungkin salah, tapi karena kau tidak mungkin bisa mencari tahu kebenarannya, maka, telan saja semua ceritaku.

Aku tidak membencinya. Meskipun yang keluar dari mulutku akan selalu berkebalikan. Dahulu kami kerap duduk berdampingan di luar jam kelas. Kadang di depan ruang koperasi sambil menyantap jajanan, kadang di bangku taman dekat perpustakaan tanpa melakukan apa-apa. Orang kebanyakan paling tidak akan menyapa, bukan? Atau jika tidak nyaman, dia bisa menghindar saja dan memilih tempat duduk lain. Tidak mungkin bukan, dia menungguku menyapa lebih dulu? Maksudku, kami satu kelas, dan dia laki-laki.

Sementara kami duduk bergeming selama beberapa menit itu, aku tak tahu ke mana wajahnya menghadap, karena aku bahkan tak berani menoleh ke arahnya. Aku hanya sesekali melirik ke arah kakinya yang terayun itu, lalu, diam-diam menyimpan aroma tubuhnya dalam memoriku. Dengan aroma yang kusimpan itu, aku merasa bisa dengan mudah menemukannya jika suatu hari kami berada di satu tempat yang sama. Tentu saja jika dia tidak memakai parfum berlebihan. Kau jangan buru-buru menyebutku sebagai perempuan mesum karena hal ini, kurasa, kau pun memiliki satu aroma yang paling melekat di benakmu. Bukan aroma yang mengingatkanmu pada sesuatu atau seseorang—semisal kau mencium bau got lalu teringat sisi Jakarta yang pernah kau tinggali—bukan. Tapi benar-benar aroma yang kau ingat karena itu adalah milik sesuatu atau seseorang yang kau tahu.

Seiring waktu, tidak ada lagi adegan duduk kikuk seperti itu. Dia mengubah gaya rambut, juga memakai parfum. Lalu, tersematlah julukan An itu karena dia selalu berganti pacar beberapa waktu sekali. Saat mendengar desas-desus itu, setengah diriku merasa sesak, dan setengahnya lagi lega-seleganya. Aku bisa berhenti untuk berpikir berlebihan karena tampaknya, dia bukan sengaja mendatangiku saat tengah duduk sendirian. Melainkan hanya asal saja.

**

Semalam, setelah sekian lama, aku kembali memimpikannya. Waktunya amat tidak tepat. Sebab aku harus melakukan perjalanan jauh ke rumah orangtuaku. Butuh sekitar tujuh jam menggunakan bus, meskipun hanya duduk, itu cukup melelahkan buatku. Aku harus menyiapkan tenaga dan mentalku berhari-hari sebelumnya. Dan itu telah kujaga dengan hati-hati sampai kemudian aku tidur dan membuatnya lenyap tak terkendali pagi hari tadi. Aku belum pernah merasa semenyesal ini karena tidur.

Saat bangun, aku seperti habis berlari mengelilingi lapangan. Kakiku lemas dan jantungku terasa mau lepas. Berlebihan memang, tapi aku tidak tahu lagi cara menjelaskannya supaya kau bisa paham bagaimana maksudku. Aku bergeming miring di tempat tidur cukup lama, dan kau tahu, mataku basah. Jika tidak mengingat kenyataan, aku pasti akan bergelung lebih lama di dalam selimut. Mungkin sampai siang, atau bahkan sampai malam lagi. Namun, tas-tas berisi pakaian yang telah kupersiapkan terus menatapku di pojokan kamar, dan aku tentu tak punya alasan untuk mengabaikannya.

Di luar jendela bus, pemandangan tampak monoton. Aspal, tiang, beton. Lalu, spanduk-spanduk. Ada yang ukurannya kecil dan besar. Mungkin sebutannya beda-beda berdasarkan jenisnya. Bagiku, semua itu spanduk. Aku bosan tapi lebih baik bosan daripada tidur lalu bertemu lagi dengan dia. Apalagi, jika mimpi semalam yang akan terulang. Mimpi yang menampilkan dia pada saat pertemuan terakhir kami belasan tahun silam. Saat ia berjalan ke arahku setelah aku melakukan cap tiga jari di ruang guru. Lalu, dengan lugas, dia menyebut namaku untuk pertama kali.

“Ka, mau melanjutkan ke mana habis ini?”

**

Menurutmu, mengapa sebuah mimpi bisa amat mengganggu? Apa susahnya mengabaikan? Anggap saja ia spanduk yang bertebaran di sepanjang tepi jalan. Mungkin kita akan membaca apa yang tertera di sana, memperhatikan setiap gambar dan warna-warnanya, tetapi bukankah setelah kita melewatinya, kita bahkan tidak akan terlalu mengingatnya? Apalagi, jika itu hanya spanduk lusuh yang informasi di dalamnya telah melampaui masa kadaluwarsa. Apa justru karena ia lusuh jadi membuat kepikiran. Ah, sudahlah. Sampai sini dulu. Lain waktu, aku yang akan mendengar ceritamu.

Terima kasih sudah mendengarkan ceritaku sampai selesai. Kau tahu bukan, kenapa aku hanya bisa menceritakan ini kepadamu? Sebab aku tak mungkin menceritakannya kepada seseorang yang sedang duduk di sampingku sambil memangku anak laki-laki yang kulahirkan tujuh tahun lalu.(*)

Jepara, 29 Desember 2024

Retno Ka, ibu dari seorang anak lelaki. Menyukai hijau, dan laut.

__

Komentar Juri, Inu Yana:

Membaca cerita ini, aku merasa seperti besty dari si penulis yang tengah diajak curhat mengenai apa-apa yang penulis alami. Seperti layaknya kamu bertukar cerita dengan teman terbaikmu, tentunya kamu akan bercerita dengan jujur dan apa adanya tanpa takut penilaian dari orang lain, bukan? Itulah yang sudah Retno lakukan dalam cerita ini.

Sebuah kenangan relatable yang bisa dialami oleh banyak orang. Tentang aroma “seseorang” yang menempel di kepala kita, juga tentang memimpikan seseorang di masa lalu meskipun kini kita telah memiliki pasangan hidup. Seseorang yang bahkan tak memiliki hubungan apa-apa dengan kita di masa lalu. Dan perasaan yang tak pernah terungkapkan membawa sosok itu ke dalam mimpi seumpama utang yang belum lunas.

Pemilihan judulnya juga tepat. Sebuah spanduk, meski lusuh sekalipun, antara sadar dan tidak, mata kita akan tetap melihatnya, membaca apa yang tertera di sana. Begitu juga tentang seseorang yang berkesan di masa lalu.

Sebuah kisah yang manis, jujur, sekaligus berkesan ini memang pantas untuk masuk jajaran tiga naskah terbaik. Selamat, Retno.

Grup FB KCLK