Pernyataan Cinta
Oleh: Rinanda Tesniana
Naskah Favorit Lomba Cerpen Autofiksi
Membuka buku harian lama seperti membaca kembali sebuah novel kesukaan yang ceritanya lekat dalam ingatan. Meski sudah hafal alurnya, tetapi tetap saja menimbulkan rindu ingin mengulangnya lagi dan lagi. Aku membuka kotak merah jambu yang berisi kenangan-kenangan tentang lelaki yang mengisi seluruh bagian hatiku sejak sepuluh tahun lalu, Riki.
Hari itu, aku ingat sekali, hari Senin pertama di bulan Februari. Mungkin karena cerita tentang hari Valentine yang akan dirayakan teman-teman gank-ku bersama pacar mereka, atau karena terlalu lelah menyimpan perasaan sampai nyaris jadi abu, aku memutuskan bicara empat mata dengan Riki.
Setelah menghabiskan lima buku harian yang hanya tertulis namanya, aku harus memberanikan diri. Menyatakan cinta pasti tidak seburuk yang aku bayangkan. Terlebih jika Riki membalas perasaanku, untuk pertama kalinya aku akan punya pacar. Ah, baru mengkhayalkannya saja aku sudah bahagia.
Aku meminta Nia, sahabatku yang sekelas dengan Riki, untuk memintanya datang di taman belakang sekolah. Tepatnya di sebuah bangku panjang di bawah pohon rambutan yang berbuah lebat. Tak banyak orang menghabiskan waktu di sana, jadi cukup aman untuk membicarakan hal penting seperti ini.
Riki datang dengan tampang bingung yang tampak jelas. Mungkin karena kami nyaris tidak pernah terlibat obrolan panjang, paling hanya sesekali saling menyapa ketika berpapasan. Ajakan bertemu seperti ini, bisa jadi cukup mengejutkan baginya.
“Ada apa, Nin?” Dia duduk di sebelahku yang sedang sibuk menenangkan debaran jantung yang tak terkendali.
“Halo, Ki. Apa kabar?” Aku berusaha menampilkan senyum terbaik untuk menutupi kegugupan yang merajalela.
“Kata Nia, kamu manggil aku? Ada apa?” Kali ini dia menatapku dengan sorot mata khawatir.
Aku memegangi dada dengan was-was, takut jantungku lepas dan menggelinding ke arahnya.
“Aku … aku ….” Lidahku seperti diikat tali tambang dengan kuat, tak bisa bergerak.
“Kenapa?” kejarnya tak sabar.
Aku menarik napas, berusaha mengumpulkan kekuatan, dan tak sempat berpikir panjang saat mengatakan, “Aku suka kamu. Kamu … kamu mau nggak … jadi pacar aku?”
Mata Riki membesar. Mulutnya terbuka lebar. Dia menjauhkan diri dariku.
Melihat responsnya yang seburuk itu, aku yakin kalimat penolakan yang akan dia ucapkan. Sialan!
Mungkin terlalu mendadak untuknya. Namun tidak untukku. Aku tak akan pernah lupa kejadian sore itu, minggu pertama di bangku SMA, anak kelas 10 kebagian sif dua. Aku sedang menunggu Ibu di depan gerbang yang sudah terkunci dari dalam saat hujan mendadak turun. Tak ada tempat berteduh sebab sekolah kami letaknya cukup jauh dari rumah warga. Saat itulah Riki datang. Meski hanya kebetulan lewat, dia mau memayungiku dan mengajakku ngobrol hingga Ibu datang tepat saat azan magrib berkumandang. Sejak hari itu, dia terkunci di hatiku.
“Kamu abis nyimeng ya, Nin?”
Ucapannya membuyarkan memori lamaku. Astaga! Tega-teganya dia menuduhku sejelek itu.
“Nggak mungkin! Aku, kan, bukan cowok-cowok yang suka nongkrong di kantin belakang itu.”
“Lagian, bercandanya begitu.” Riki bersungut, wajahnya tampak kesal.
“Becanda? Siapa yang becanda?” Aku nyaris menjerit. Susah payah aku mengumpulkan keberanian, dia anggap aku becanda?
“Jadi, serius?” Dia memandangku seolah aku ini suster ngesot di film horor. “Kamu serius?”
Aku mengangguk kuat.
“Tapi, Nin, aku … aku nggak bisa.” Dia menggaruk rambutnya dengan gugup.
“Oh.” Aku menelan kekecewaan. Ingin bertanya alasan penolakannya, tetapi pita suaraku seolah terikat erat.
“Kamu nggak marah, kan?”
Marah? Lebih tepatnya aku malu. Setelah mengorbankan seluruh harga diri dengan pernyataan cinta ini, Riki malah menolakku.
“Maaf, Nin.”
Tanpa menunggu jawabanku, dia berlalu. Air mataku jatuh satu-satu, lalu menderas. Aku duduk di kursi panjang yang dikotori dedaunan gugur itu dengan rasa putus asa. Ini cinta pertamaku, dan kisahnya harus berakhir dengan menyedihkan.
Beberapa hari kemudian, tepat tanggal 14 Februari, teman-temanku heboh dengan sebatang Silverqueen berpita merah jambu dengan catatan kecil: Maaf ya, Nin.
Senyum otomatis terukir di bibirku melihat cokelat itu terletak di atas meja. Terlebih saat melihat sosok Riki berdiri kaku di pintu kelas. Meski ekspresi wajahnya datar, tetapi aku yakin cokelat itu darinya.
“Nin? Nina!”
Aku tersentak, tersadar dari lamunan panjang dengan buku harian terbuka di pangkuan.
“Ngapain, sih? Bukannya siap-siap.” Suamiku menyusul duduk di sisi ranjang.
“Ini, lagi baca-baca diari lama.” Aku tertawa.
Dia mendekat dan ikut menengok buku harian yang sedang aku baca, sekilas saja. “Kamu sedang ingat-ingat mantan?” tanyanya terdengar kesal.
Aku tertawa. Padahal entah mantan yang mana, satu pun tidak ada.
“Awas aja kalau ketahuan, ya! Buruan siap-siap!” Dia mengacak rambutku.
Suamiku memang tidak sabaran. Padahal acara resepsi Nia, sahabat kami, baru dimulai pukul sebelas nanti. Ini masih jam enam pagi.
Setelah ijab kabul minggu lalu, aku memang lebih sensitif. Banyak kenangan manis hilir mudik dalam pikiranku. Pernikahan Nia yang sangat dekat dengan tanggal pernikahan kami, membuatku semakin melankolis.
“Nina, Nina!” Kali ini suara Ibu yang terdengar. Mengapa semua orang sibuk sekali pagi ini? Tak bisakah aku mengenang masa lalu dengan tenang?
“Nin, Riki mana? Ajak suami kamu sarapan dulu sana! Bapak minta temenin ke bengkel sebentar,” titah Ibu, begitu dirinya muncul di kamarku.
Aku mengangguk dan memasukkan kembali buku harianku ke dalam kotak merah jambu berdebu.[*]
Padang, 29 Desember 2024
__
Komentar Juri, Lutfi rosidah:
Membaca cerita Nina, serasa kembali ke masa-masa SMA. Relate banget dengan kelakuan anak muda di tahun 90-an yang harus mengumpulkan keberanian ekstra demi menyampaikan perasaannya pada Sang Pujaan Hati.
Penulis mampu menyampaikan perasaan galau, was-was, sekaligus kecewa yang ia rasakan. Sepanjang cerita saya merasa dibawa kembali ke masa lalu yang penuh romantika. Kalau bicara kekurangan, itu pun bukan masalah teknis: ending-nya yang rasanya terlalu manis.