Josie dan Aku
Oleh: Erien
Terbaik 8 Lomba erpen Autofiksi
Jossie berhenti makan saat mendengar bisikanku. Dia menaruh sendok bebek di mangkuk sotonya lalu menatapku.
“Gimana, Mbak Rin?”
Aku nyengir, salah tingkah, tidak enak hati pula. Namun, aku tidak punya pilihan selain kembali berbisik. “Boleh pinjem duit, nggak?”
“Berapa?”
“Seratus. Nanti satu jam lagi aku kembalikan.” Kutatap Jo–begitu aku memanggilnya–tepat ke arah matanya agar dia tahu aku tidak berbohong.
Jo tersenyum dan itu menghapus semua perasaan tidak enakku. Bagaimanapun, ini tanggal tua. Jo mungkin belum juga dikirimi orang tuanya, sama sepertiku. Namun, ada masalah mendesak yang mengharuskanku melakukan ini. Aku bukan orang yang gampang berutang. Jo paham itu.
“Eh, sori ya, Jo. Ntar ngobrol di kos aja, deh.”
Aku dan Jo kembali makan soto masing-masing. Warung soto murah di sudut kampung Karang Malang, Jogjakarta itu cukup sepi. Padahal biasanya banyak mahasiswa antri. Memang kami datang bukan pada jam makan karena hari sudah menjelang sore. Aku dan Jo seringkali menggabungkan makan siang dan malam pada satu waktu. Kali ini, aku juga minta dibungkuskan soto satu porsi berikut es teh manis. Setelahnya, kami pulang ke kos.
Baru saja sampai ke lantai tiga tempat kamar kami berada, belum juga masuk ke kamarnya, Jo berbalik. Aku yang mengikuti hampir saja menabraknya. Dia membuka dompet lalu menyodorkan kepadaku. Ada dua lembar merah muda dan dua lembar lima ribuan.
“Mbak, uangku tinggal dua lembar ini. Jadi minjem, nggak? Beneran cuma sejam ntar balik lagi?”
“Iya, sejam doang. Nanti aku balikin lagi.” Aku mengangguk.
“Buat apaan, to? Tumben amat.” Jo menyerahkan satu lembar seratus ribuan.
Aku hanya tertawa. “Tengkiu, Jooooo. Emang baek banget temen aku ini. Udahlah cantik, baik, jomlo pula!” Kucubit pipinya.
“Yee. Ujungnya malah ngatain.”
Aku kembali tertawa dan pamit padanya. Untung Jo bukan tipe orang yang kepo. Jadi, aku tidak perlu menjawab pertanyaannya. Kuambil jaket di kamar lalu pergi berjalan kaki sambil menenteng bungkusan soto menuju Klebengan yang jaraknya hanya sekitar sepuluh menit berjalan santai, santai sekali. Yang kutuju adalah kos kekasihku.
Ah, untung ada Jo. Dia memang teman kos paling baik. Kami beda universitas dan dia satu angkatan di bawah angkatanku. Untukku, Jo itu unik. Dia sangat penakut dan suka sekali mengaitkan segala sesuatu dengan hal-hal mistis, supranatural, gaib, dan sejenisnya. Beda denganku yang masa bodoh dengan hal seperti itu.
Waktu pertama pindah ke kos ini, mamanya menitipkan Jo padaku. Kebetulan kamar kami berhadapan. Aku sempat heran kenapa mamanya tidak menitipkan Jo pada bapak kos kami. Dan Jo cerita kalau kakaknya yang katanya indigo, bilang bahwa Jo dan mamanya bisa mengandalkanku. Katanya, aku kuat karena punya banyak “penjaga” dan Jo harus nurut sama aku agar tidak bermasalah di kos kami. Terjawab sudah kenapa Jo tertarik dengan hal-hal mistis.
Aku tidak percaya pada kata-kata kakak Jo. Namun, aku hanya bisa cengar-cengir ketika Jo sangat mengandalkan aku di waktu tertentu. Misalkan saat bau wangi yang bukan parfum Jo, muncul tiba-tiba di kamarnya. Dia sampai tidur di kamarku saking takutnya. Aku diminta mengusir sesuatu yang wangi itu. Ya, sudah, aku pasang saja dua kipas angin di kamar dia sampai bau itu hilang meski aku sendiri tidak merasa ada yang wangi.
Bukan itu saja, Jo pernah memintaku menghilangkan santet di badannya. Lagi-lagi, ini suruhan kakak perempuannya. Wow. Kala itu aku sibuk menahan tawa. Kenapa aku yang disuruh? Padahal, aku jelas bukan dukun, aku tidak tahu cara menghilangkan santet. Aku bukan orang pintar apalagi “orang pintar”. Itu alasan pertama. Kedua, aku tidaklah salihah-salihah amat hingga cukup percaya dirimeruqiyah atau mendoakan orang lain. Rambutku saja pendek tidak tertutup. Yang terakhir, kalaupun aku bisa merukiah, aku tidak tahu apakah mempan pada Jo karena dia itu non muslim. Namun Jo tidak peduli. Aku mengalah kemudian meminta waktu setengah jam di kamar untuk membacakan Al Fatihah dan meniupkan pada segelas air. Jo meminumnya dengan gembira. Santet itu hilang atau tidak, aku tidak paham.
Jujur, saat itu aku ingin sekali mengingatkan Jo untuk tidak sebodoh itu. Seharusnya dia pakai logika, jangan seperti orang jatuh cinta yang gelap mata. Mana mungkin aku ini seperti yang dikatakan kakaknya. Kenapa pula dia percaya?
Kalau mengingat itu, aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Tapi, mungkin semua ada hikmahnya. Buktinya, Jo percaya dan mau membantuku meminjamkan uangnya.
Belum sampai satu jam sejak meminjam uang lalu pergi ke rumah kekasihku, aku sudah kembali ke kos. Aku segera naik, masuk ke kamar, melepas jaket, dan mengambil gayung berisi alat mandi. Sebelum mandi, aku mampir dulu ke kamar Jo.
“Lho, Mbak? Kok cepet banget wes balek? Dari mana, to?” Logat semarangan Jo keluar saat melihatku.
“Biasaaa.”
“Huuu, bukan malam Minggu ini.”
Aku tertawa sambil menyodorkan lembaran seratus ribu. “Nih. Makasih, ya.”
“Weh, beneran cepet banget.” Wajah Jo semringah saat melihat uangnya kukembalikan.
Aku tersenyum.
Sebenarnya, tadi aku masih punya satu lembar lima puluh ribuan. Namun, kurang lebih satu jam lalu uang itu sudah berpindah ke tangan keķasihku yang tadi pagi mengabari kalau dia belum makan dari siang kemarin karena kehabisan uang. Uang dari Jo kubawa agar laki-laki itu, mau menerima bantuanku dan mengira aku masih pegang selembar ratusan ribu. Tidak masalah bagaimana aku makan besok. Mungkin puasa saja. Tentu saja aku tidak mungkin menceritakan ini pada Jo.
“Mbak.”
“Hm?”
“Kamu … gandain uang, ya?”
Aih, Jo! Mukanya serius banget.(*)
Kotabaru, 29 Desember 2024
Erien, masih saya.
__
Komentar Juri, Lutfi rosidah:
Kelebihan dari cerpen ini adalah penuturannya yang apa adanya. Tidak banyak kata-kata puitis menjadikan kisah ini terasa natural. Kalau saja penulis fokus pada inti cerita dan tidak memberi penjelasan yang malah mengurangi kenikmatan selama membacanya, naskah ini layak mendapat tempat lebih tinggi.