Kuah Gulai dan Sepiring Dendeng Batokok

Kuah Gulai dan Sepiring Dendeng Batokok

Kuah Gulai dan Sepiring Dendeng Batokok

Rosna

Terbaik 10 Lomba Cerpen Autofiksi

Sepiring nasi padang dengan lauk dendeng batokok telah disajikan di depanku. Sebagian nasi putih itu telah bercampur dengan kuah gulai nangka dan sesendok cabe hijau. Dengan cepat aku mencuci tangan lalu mulai mengunyah makanan dengan khidmat. Saat nasi dan daging itu beradu lembut di mulutku lalu ditelan perlahan di tenggorokan, saat itu aku baru merasa mataku kembali terbuka. Rasanya aku sudah tidak makan enak selama satu bulan ini.

Aku kembali memanggil salah satu pekerja rumah makan itu dan meminta tambahan nasi beserta sepiring kuah gulai yang dicampur dengan kerupuk jangek. Tak lupa segelas teh es telah berada tak jauh dariku.

Sungguh setelah pekerjaan yang melelahkan tadi, makan sepiring nasi padang adalah kenikmatan tersendiri. Aku ingin semua masalah yang kualami tadi luruh bersama dendeng batokok yang kukunyah tadi.

Bisa-bisanya si Ratih, teman kantorku, menuduhku cari muka dengan Bu Santi, atasan baru kami di kantor. Padahal aku hanya melaporkan kejadian sebenarnya bahwa Ratih memang sudah sering pulang lebih cepat dari jadwal yang telah ditetapkan dan kerap izin saat jam kerja. Kemudian, dengan cepat kabar bahwa aku adalah  penjilat, tersebar di grup WhatsApp kantor. Sial betul.

Aku melihat dendeng batokok tinggal setengah di piring dengan cepat kuambil semua lalu memasukkannya dalam mulut. Aku membayangkan daging tipis itu adalah mulut Ratih yang sembarangan dalam berbicara.

Dendeng batokok habis di mulut tapi tidak dengan rasa kesalku pada Ratih. Aku menghela napas lalu memandang ke sekeliling. Rumah makan ini tak begitu ramai sore ini. Mungkin karena bukan jadwal makan atau karena sore ini gerimis tak jua mau berhenti.

Saat aku menoleh ke belakang, aku melihat seorang perempuan muda tengah makan seorang diri, sama seperti aku. Dia menunduk sambil sesekali mengaduk lauk di depannya.

Aku segera menyelesaikan makan lalu memutar sedikit posisi duduk sehingga bisa melihat perempuan muda itu.

Dari tempat aku duduk, aku bisa melihat wajahnya. Sekilas dia tampak seperti Farida, teman kosku yang dulu ketika kuliah. Hidungnya yang mancung dan kacamatanya persis sekali dengan Farida.

Aku kembali melihat piring-piring yang kosong di depan hanya menyisakan kuah gulai yang tinggal sedikit.

Melihat sisa kuah itu aku tersenyum sendiri, dulu hanya dengan sisa kuah gulai ini aku dan Farida sudah bisa makan dengan enak. Kami terkadang hanya membeli sepotong ayam gulai lalu meminta kuahnya lebih banyak. Dan seringnya lauk yang kami beli adalah dendeng batokok. Daging tipis itu kami bagi-bagi untuk makan siang dan kuahnya kami sisakan untuk makan malam.

Aku tersenyum sendiri membayangkan kisah masa lalu itu. Rasanya kejadian itu baru terjadi kemarin. Bahkan sisa dagingnya masih terselip di antara gigiku.

“Bukan begitu membaginya, Na. Kita potong lebih kecil lagi tetapi kuahnya harus ada. Jadi untuk makan malam, aman,” ucap Farida lalu menyimpan makanan kami itu ke dalam lemari.

Aku hanya memandanginya lalu melanjutkan mengunyah nasi tanpa lauk.

“Nanti kalau awal bulan, baru kita ‘gas’ makan enak.”

Bagiku Farida saat itu adalah mentor untuk kehidupan awalku di dunia kos-kosan. Kami berjumpa begitu saja. Saat aku menemukan kos-kosan ini, saat itu pula aku bertemu dengannya. Kebetulan kamar yang kosong hanya kamar Farida, sehingga kami berbagi ruang.

Meski aku dan Farida beda fakultas tetapi kami selalu bersama saat tak ada jam perkuliahan. Namun ketika di pertengahan perkuliahan Farida mengambil masa langkau satu semester. Katanya, bapaknya sakit sehingga dia harus menemani ibunya.

“Kau akan kembali, kan, Da?” tanyaku ketika pagi minggu itu dia pamit untuk pulang kampung.

“Kalau semua baik-baik saja, aku pasti kembali, Na. Tapi aku tak yakin. Kalau bapak sakit itu artinya kami tak ada uang,” jawabnya pelan hampir tak terdengar.

Sambil memasukkan bajunya ke dalam tas, aku memandang Farida dalam diam.

Aku tahu Farida punya mimpi yang besar untuk menjadi seorang guru. Dia pernah berkata setelah wisuda nanti dia akan kembali ke kampung untuk mengajar anak-anak di kampungnya yang banyak putus sekolah.

“Mereka putus sekolah bukan karena tak mau belajar, Na. Tapi mereka tak punya pilihan antara mengisi perut dengan mengisi otak.”

“Aku akan memutus rantai kemiskinan itu dengan pendidikan,” ucapnya bangga sambil memegang diktat perkuliahan di dadanya.

Setelah itu Farida menatap nanar ke atas langit-langit kamar lalu terdiam agak lama.

Saat Farida selesai membereskan baju dan buku-bukunya. Aku mengantarkannya hingga ke depan jalan di dekat kos. Dia akan menunggu angkutan umum untuk mengantarkannya ke terminal. Sambil menunggu, aku mencoba mencairkan suasana dengan cerita lucu apa saja. Namun Farida tak seperti biasanya, dia hanya membalas dengan menganggukkan kepala.

Farida berdiri saat melihat dari jauh angkutan umum sudah mendekat. Aku ikut berdiri juga lalu memeluknya lama. Aku tahu sesuatu akan berubah setelah kepergiannya. Entah itu apa.

Aku merasakan bahuku basah. Aku yakin Farida juga merasakan hal yang sama.

“Jangan lupa, Na. Orang sukses dimulai dengan disiplin terhadap waktu dan uang.”

Aku mengangguk lalu memberikan kantong kresek yang berisi dua potong dendeng batokok dan sebungkus nasi putih yang telah kubeli sebelumnya.

“Ini untuk makan di jalan. Hemat-hemat, ya,” kataku.

Farida membuka kantong kresek itu lalu tak lama kami tertawa bersama.

***

Tanpa sadar aku telah mengaduk-aduk sisa kuah itu sambil memandang ke arah perempuan muda itu. Aku tersadar ketika pekerja rumah makan hendak membereskan piring-piring itu.

Setelah pekerja rumah makan itu pergi, aku beranjak menuju kasir. Aku kembali melihat ke arah perempuan muda tadi tetapi dia sudah tidak ada.

Saat aku melangkah ke luar rumah makan, perempuan muda itu tengah duduk di bangku lalu tak lama dia menaiki angkutan umum yang berhenti.

Seketika aku melihat tentengan yang kupegang, sepotong dendeng batokok untuk menu makan malamku nanti.(*)

Dumai, 28 Desember 2024

Rosna Deli, perempuan penyuka keramaian.

__

Komentar Juri, Imas Hanifah:

Ide tentang makanan/benda yang kemudian mengingatkan ke kenangan masa lampau, rasa-rasanya tak pernah gagal untuk disuguhkan ke dalam suatu cerita. Namun, di sini, ada beberapa bagian yang rasanya kurang natural dan membuat saya merasa tidak yakin. Mungkin benar, ada bagian-bagian yang merupakan pengalaman penulis, akan tetapi caranya menyampaikan tidak begitu meyakinkan.

Seperti ketika ia melihat sosok yang mirip Farida, tapi sama sekali tak berniat menyapa atau memastikan. Juga di bagian awal, soal tokoh yang mengomel soal Ratih, entah mengapa itu pun sedikit kurang pas.

Walaupun demikian, ada beberapa hal yang saya suka dari cerita ini. Selain idenya (soal makanan), saya juga suka cara bercerita si penulis yang mengalir, sebab kalimat-kalimatnya telah tersusun dengan baik. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, cerita ini memang layak masuk ke dalam 10 besar terbaik. Selamat.

Grup FB KCLK