Rumah

Rumah

Rumah

Oleh: Ika Mulyani

Rasa-rasanya, jika bisa, aku ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya seraya tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak, ketika pagi ini orang-orang membawaku pergi dari tempat yang telah kutinggali lama sekali–tempat yang membuatku nyaris mati bosan.

Pergi jauh dari kios tanaman di seberang pintu gerbang kebun binatang itu, berarti aku berpisah dengan penghuni lain dan terbebas dari mereka, yang selalu ribut nyaris tentang apa saja. Berisik sekali!

Kalau sudah mengomentari cuaca, mereka seperti manusia saja–aku sering mendengar manusia di dekatku mengeluh tentang cuaca.

Jika hawa sedang panas menyengat, aku sering mendengar para manusia itu mengeluh: “Panas banget, kapan hujan, ya? Sumur udah kering, nih. Mau cebok aja susah.” Tetapi ketika musim penghujan datang, mereka tetap saja mengeluh. “Hujan terus. Cucian belum ada yang kering. Mana sempak cuma punya segitu-gitunya.” Atau: “Hujan terus begini, bisa-bisa banjir lagi, deh!”

Sungguh lucu. Apa sebetulnya mau para manusia itu? Mungkin kalau seandainya aku tercipta jadi malaikat yang bertugas menurunkan hujan, aku bakal mogok kerja.

Teman-temanku itu, bila dibandingkan dengan manusia, memang hanya mengeluh jika musim kemarau tiba. Terkadang, saat panasnya tak tertahankan, aku ikut mengeluh juga. Tetapi sedikit saja, tidak berisik seperti mereka.

Namun di saat hujan turun, mereka tetap berisik; ribut bersorak bersuka cita, tidak peduli apakah itu hujan pertama setelah kemarau panjang, atau hujan kesekian kali dalam satu hari yang sangat dingin di puncak musim penghujan. Mungkin jika manusia bisa mendengar kami, mereka akan punya satu hal lagi untuk dikeluhkan.

Bagaimanapun, aku bisa bertoleransi pada satu lagi penyebab keberisikan teman-teman: debu dan asap. Tak kupungkiri, aku pun tidak tahan untuk tidah mengeluhkan keberadaan dua benda itu, terutama asap yang dimuntahkan oleh kendaraan aneka bentuk dan warna, yang demikian seringnya berlalu-lalang di jalan aspal di depan tempat tinggal kami.

Kalau itu sungguh-sungguh menyebalkan! Daun-daun kami memang bisa menyerap racun dalam asap itu dan mengolahnya jadi oksigen yang diperlukan oleh para manusia. Tapi kalau terlalu banyak, kami kewalahan juga. Apalagi makin hari makin banyak saja kendaraan yang berseliweran.

Seakan belum cukup, teman-temanku punya satu hal lagi untuk diributkan: selalu ada saja manusia, terutama yang masih kecil, yang iseng mematahkan salah satu bagian tubuh kami. Benar-benar iseng dan tanpa tujuan yang jelas. Memang tidak menyakitkan bagi kami, tetapi sedih rasanya melihat patahan ranting atau daun itu tergeletak di jalanan, terinjak-injak dan akhirnya jadi sampah.

Untung tidak semua manusia berperilaku seperti itu, seakan kami makhluk yang tidak berguna.

Ada orang-orang yang datang dan masuk ke tempat kami tinggal. Mereka baik dan selalu bersikap lembut kepada kami, bahkan melebihi kebaikan dan kelembutan manusia yang setiap hari merawat kami.

Mereka memandang kami dengan mata berbinar. Biasanya akan ada yang berkata: “Ya ampun ini cantik sekali!” atau: “Yang ini bagus banget!” Perkataan itu seringkali diiringi dengan belaian lembut pada bagian tubuh kami.

Biasanya kemudian satu atau beberapa dari kami akan pergi bersama orang-orang itu, menuju tempat tinggal baru yang kubayangkan pasti sangat nyaman.

Seperti yang pagi ini kualami.

Di tempat baru ini, aku disimpan di sudut ruangan yang teduh dan nyaman. Aku kini sendirian, jadi tidak akan kudengar lagi segala keributan yang selama ini menggangguku.

Tidak ada angin di sini. Daunku nyaris tak bergerak sepanjang waktu, tetapi herannya udara terasa sejuk. Sinar matahari hanya bisa kunikmati dari balik jendela kaca besar di dekatku. Namun ternyata lebih nyaman seperti ini. Rasanya hangat, panas matahari sama sekali tidak menyengat.

Satu hal yang jelas, tidak ada debu dan asap yang menyesakkan itu, bahkan asap rokok pun tak ada.

Manusia yang menyimpanku di sini tadi membersihkan setiap helai daunku dengan kain basah yang lembut. Aku jadi merasa sangat segar dan cantik.

Akhirnya, aku mendapatkan ketenangan dan kedamaian di tempat baruku ini, rumah baruku.

Hari pun, kubayangkan, akan berlalu dalam damai.

Namun, tiba-tiba terdengar gonggongan anjing dari balik pintu lebar di sana itu. Tak lama kemudian pintu itu terbuka, dan seekor anjing besar berbulu cokelat muncul. Lehernya terikat tali yang dipegang erat oleh seorang manusia berambut cokelat dan memakai baju berwarna merah muda.

Aduh. Bagaimana kalau anjing itu mengencingiku, seperti yang biasa dilakukan anjing atau kucing yang lewat di depan rumah lamaku?

Untunglah anjing itu langsung duduk, cukup jauh dari tempatku. Dia tidak lagi menggonggong. Sesekali terdengar suara semacam rintihan dari moncongnya. Baru kuperhatikan kalau matanya terlihat sayu. Apakah anjing itu sedang tidak sehat?

Aku tersentak saat terdengar lagi suara gonggongan, lebih ribut dari gonggongan anjing pertama. Pintu itu terbuka lagi, dan muncul dua ekor anjing besar berambut lebat; satu berwarna putih bersih, satu lagi hitam tapi bagian perutnya putih. Keduanya pun sama dalam keadaan terikat dan tali pengikatnya dipegang erat-erat oleh manusia yang membawa mereka. Jadi aku seharusnya tidak perlu khawatir akan dikencingi.

Seperti si Cokelat, mata si Hitam juga terlihat kuyu dan tidak banyak bergerak. Apakah di sini tempat anjing sakit? Tetapi si Putih itu terlihat baik-baik saja. Bahkan ia terus saja melompat-lompat dan menggonggong dengan berisik. Benar-benar berisik! Melebihi ributnya suasana di rumah lamaku.

Tidak lama kemudian, terdengar lagi suara gonggongan dari balik pintu lebar itu. Aku sangat yakin suara itu dihasilkan oleh lebih dari dua anjing.

Aduh. Ada berapa lagi anjing yang akan datang? Akankah nanti setiap hari ribut seperti ini? Mendadak rumah lamaku terasa lebih menjanjikan kedamaian. []

Ciawi, 25 November 2024

Ika Mulyani, mengucapkan Selamat Hari Guru untuk semua guru, pendidik dan pengajar di negeri ini.

Leave a Reply