Sepotong Roti untuk Riley (Terbaik 5 Cerpen Fantasi)

Sepotong Roti untuk Riley (Terbaik 5 Cerpen Fantasi)

Sepotong Roti untuk Riley

Oleh : Rinanda Tesniana

Terbaik 5 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata

Riley, seekor ambaka muda, berdiri di depan sebuah bakery yang selama ini tak berani ia dekati. Bagaimana tidak, aroma roti yang tak boleh ia makan itu benar-benar menggoda. Namun, tadi Riley kecil kehujanan setelah pulang dari pertemuan dengan Wisman, kepala negeri Medula. Sebenarnya bisa saja Riley memaksa menerobos hujan. Ia memiliki sayap walau tidak bisa terbang secepat yacht, makhluk bersayap emas yang selalu memenangkan lomba terbang cepat di negeri ini. Perutnya berbunyi mencium aroma roti yang menyebar di udara.

Riley tidak pernah makan roti, tepatnya tidak boleh. Kata Wisman, ambaka hanya boleh minum air putih dan dedaunan agar berumur panjang. Tentu ia ingin berumur panjang, karena itu ia mematuhi ucapan Wisman. Namun, tidak apa umurnya berkurang sehari asal bisa menikmati sepotong roti yang tampak lezat itu.

Pintu tertutup rapat tetapi harum roti tetap menguar kuat. Riley tak tahan lagi, ia berniat masuk dan mengambil sepotong saja roti, yang paling kecil.

Hujan yang menderas memantik semangat Riley. Pasti tidak ada yang mendengar ia membuka pintu. Perlahan Riley menguak pintu, berusaha agar tak menimbulkan bunyi apa-apa. Dengan napas tersengal, Riley kembali menutup pintu dan tersenyum melihat tumpukan roti di depannya. Ini seperti Hanah. Mungkin begitu. Karena menurut Wisman, di Hanah nanti Riley dan ambaka lainnya boleh makan roti. Meski ia tak bisa membayangkan di mana letak Hanah, tetapi Riley percaya Wisman tak mungkin berbohong.

Ia bersiap mengambil roti namun urung ketika mendengar suara seseorang dari dapur. Ia bersembunyi di balik tumpukan roti-roti yang wangi itu. Meski tak sabar, Riley memilih untuk diam dulu, karena ia yakin suara mulutnya saat mengunyah akan mengganggu ketenangan dua mayang itu.

“Bosan rasanya harus memasak ribuan roti tiap hari.” Mayang bersayap merah jambu dengan tubuh berwarna serupa mengeluh pada temannya, mayang berkulit gelap yang tak memiliki sayap.

Riley mengerti mengapa mayang-mayang itu mengeluh. Pasti lelah sekali membuat banyak roti yang akan dibagikan kepada seluruh mayang di negeri ini. Mayang, makhluk perpaduan manusia dan peri itu jumlahnya paling banyak di Medula.

“Sudahlah, jangan mengeluh. Kau, kan, tahu Medula sedang krisis.” Mayang berkulit gelap menepuk pundak temannya. “Lagi pula, kau masih memiliki sayap, tidak terlalu lelah jadinya.”

Mayang dewasa tidak memiliki sayap. Saat mereka beranjak remaja, sayap akan membesar lalu lepas perlahan.

“Ah, aku bosan mendengar kata krisis itu. Kita mulai kehabisan bahan baku untuk membuat roti. Rasanya tak tega mengorbankan ….”

“Sudahlah. Mari kita mulai membuat adonan, agar Tiodore dan Gea tidak kerepotan nanti malam.”

Riley tersenyum senang melihat dua mayang itu mulai fokus pada pekerjaan mereka. Baru saja ia mengambil sepotong roti, kemunculan Wisman di dapur mengejutkannya. Di negeri ini hanya Wisman yang bisa muncul dan menghilang sesuka hati.

“Wisman!” Mayang bersayap merah jambu berlutut di hadapan Wisman.

“Ada apa, Wisman? Tak biasanya Anda datang ke bakery?” Mayang berkulit gelap sepertinya lebih bisa menguasai diri.

Riley mengintip dari sela-sela rak roti. Ia sedikit melupakan keinginannya mencicipi makanan itu sebab penasaran dengan pembicaraan mereka. Masalahnya, Riley baru saja pulang dari istana Wisman. Pemimpin negeri itu mengabarkan kalau para ambaka akan dimasukkan dalam sebuah tempat pelatihan agar memiliki kemampuan untuk menjaga Medula sebaik teros—makhluk penjaga negeri yang tak terkalahkan. Jadi, setiap hari ada seekor ambaka masuk tempat pelatihan.

“Aku … aku sudah berbicara dengan para ambaka, sepertinya hanya itu satu-satunya jalan agar kita tidak kelaparan.” Suara Wisman terdengar lesu.

“Apa tidak ada jalan lain, Wisman?” Si kulit gelap menggelengkan kepala. “Aku pasti tidak tega melakukannya.”

Kening Riley berkerut, melakukan apa maksud mereka?

“Tak ada jalan lain, Mika. Di negeri ini hanya ambaka … makhluk yang … tidak berguna.”

Riley sedih mendengar ucapan Wisman. Mungkin karena itulah mereka akan masuk pelatihan, agar ambaka jadi berguna. Ia tak ingin berlama-lama di tempat ini, malas mendengar perkataan lain tentang kaumnya. Sebelum pergi, Riley mengambil sepotong roti, tidak jadi yang kecil, ia mengambil roti berukuran paling besar dan mengendap keluar.

Suara pintu yang ditutup agak kencang mengagetkan Wisman. “Apa ada mayang lain di sini?”

“Tidak ada, Wisman. Mungkin angin terlalu kencang. Di luar masih hujan, kan?”

Wisman mengangguk. Ia bersiap pergi. Masih ada urusan lain harus di pikirkannya. Untuk sementara, masalah makanan pokok para mayang di Medula sudah selesai. Ya, anggap saja begitu.

“Wisman, mungkin mereka memang tidak memiliki kemampuan apa-apa, tetapi menjadikan mereka bahan utama pembuatan roti, saya sungguh tidak sampai hati.” Mayang merah jambu memelas sesaat sebelum Wisman benar-benar pergi.

“Tidak ada jalan lain, Karl, tidak ada. Aku tidak mau rakyat kelaparan,” ucapnya sebelum menghilang.

Di sudut jalan buntu yang tersembunyi dari keramaian, Riley memakan rotinya perlahan. Ternyata rasa roti itu tidak seenak aromanya. Ah, Riley menyesal mengambil roti berukuran paling besar. Dengan menghabiskan roti ini, bisa jadi umurnya berkurang hingga seminggu.[*]

Padang, 27 Oktober 2024

Rinanda Tesniana, pencinta bubur ayam, hujan, dan malam.

Komentar Juri, Berry:

Sebuah dramatic irony yang dibangun dengan cukup baik, bagaimana kita—pembaca—mengetahui konflik yang terjadi, sementara tokoh utama di dalam cerita tidak mengetahuinya. Alur cerita yang menuju pada kejutan itu tidak terasa tiba-tiba atau dipaksakan. Penggunaan istilah-istilah asing di dalam cerita yang terkadang terasa sebagai upaya untuk membuat cerita terasa lebih “fantasi”, di sini terasa lebih natural dan mudah dipahami.

Terlepas dari eksekusi pada plot yang baik sekali, ada satu hal yang mungkin tidak terlalu penting untuk disinggung, tetapi cukup menggangguku. Kenapa nama tokoh paling penting itu “Wisman”? XD. Sementara ada Riley, Medula, teros, ambaka, dan sebagainya, yang sangat menarik, dan si kepala negeri ini malah diberi nama “Wisman” (apakah kependekan tunawisman?). Ya, gerutuan tidak penting sebenarnya, tetapi aku tetap merasa pemilihan nama tersebut sedikit melemahkan nuansa yang sudah terbangun.

Satu kelebihan lagi, ending-nya cakep. 

Grup FB KCLK

Leave a Reply