Blue Emperor
Oleh: Sun Rising
Terbaik 12 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata
Gadis itu duduk di atas tempat tidur, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Layaknya seorang tahanan, ia berada dalam kamar yang kuncinya selalu berada di luar dan jendela yang dipasangi teralis besi, akan tetapi jauh dari lubuk hatinya ia tidak keberatan sama sekali.
“Aku bisa membawanya hari ini bukan?”
“Tentu, Anda punya waktu hingga malam nanti.”
Sayup-sayup terdengar suara dari luar kamar, disusul bunyi anak kunci yang diputar. Pintu dibuka perlahan hingga tampak seorang perempuan yang amat ia kenal berdiri di ambang pintu.
“Shopia ….” Gadis itu hanya melihat dari sudut matanya yang tampak kosong. Bahkan tidak merasa perlu repot-repot untuk menoleh, tetapi ia segera membulatkan matanya ketika mendapati fakta bahwa Shopia tidak sendirian. “Oh …. ”
“Nona Fuko.” Shopia memanggil ramah.
Gadis itu akhirnya menoleh sepenuhnya. Menampakkan wajahnya yang datar seolah tanpa emosi. Kulitnya putih seputih lantai pualam yang tertimpa cahaya lampu, begitu pula rambut panjangnya dan baju terusan berbahan katun yang ia kenakan, semuanya berwarna putih bersih tanpa noda barang setitik. Poninya menjuntai menutupi sisi kanan wajahnya, akan tetapi tampak mata kirinya yang berwarna emas dengan pupil yang berkilat tajam layaknya seekor kucing.
“Taiyo.” Fuko berkata lirih. Ada sedikit getar emosi dalam suaranya.
Taiyo, lelaki di sebelah Shopia itu mengangguk kecil dan masuk ke dalam kamar untuk menghampiri Fuko. “Aku datang.” Ia lantas mengulurkan kedua tangannya ke arah Fuko.
“Hum ….” Fuko menerima uluran tangan Taiyo dan perlahan menegakkan tubuhnya untuk berdiri. Taiyo menggenggam erat-erat tangan Fuko, memastikan gadis tersebut tidak akan terjatuh. Membimbingnya untuk duduk di kursi roda yang telah disiapkan Shopia.
“Kami pergi dulu.” Taiyo mengangguk kecil ke arah Shopia dan segera mendorong kursi roda tersebut keluar kamar setelah Fuko duduk dengan nyaman di sana.
“Kita akan ke kota di pinggir teluk.” Taiyo memberitahu, memecah kesunyian mereka dalam perjalanan. Sebenarnya tujuan mereka tidak begitu jauh, hanya beberapa menit perjalanan meski ditempuh dengan jalan kaki. Hanya saja selama tujuh tahun semenjak ia dibawa ke tempat ini, ia hampir tidak pernah keluar dari bangunan yang menjadi rumahnya saat ini.
Hari-harinya hanya berkutat dengan berbagai perhitungan dan rumus-rumus rumit serta teknologi-teknologi paling mutakhir yang pernah ada sebelum kemudian kembali ke dalam kamarnya dan dikunci di dalam sana. Selayaknya sebuah tawanan, Fuko tahu, juga sadar sepenuhnya, akan tetapi ia tidak menolak. Merasa itulah yang terbaik untuk manusia hina seperti dirinya. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Taiyo. Lantas tak lama kemudian lelaki tersebut mengikat jiwa mereka dengan bait-bait sumpah.
Fuko melihat ke berbagai arah, menyaksikan kerumunan manusia yang berlalu lalang. Meski wajahnya tetap begitu datar, tetapi jelas sekali ia sebenarnya menikmati pemandangan yang disuguhkan. Pemandangan yang berbeda dari kehidupannya sehari-hari.
“Kita tidak bisa berlama-lama di sini, tetapi saat kembali nanti kita bisa singgah dulu ke pasar.”
“Pasar ….” Fuko bergumam dan menoleh ke belakang menatap Taiyo. Ah, sudah berapa lama ia tidak menyaksikan pasar?
Taiyo hanya tersenyum tipis. “Maaf, apa kamu lama menungguku?”
Fuko kembali menatap ke depan. “Tidak apa, aku sudah terbiasa dengan kesendirian sejak dulu. Justru rasanya sebuah keajaiban sekarang aku bisa berada di keramaian tanpa perlu khawatir akan apa pun.”
Setelah itu hening. Tanpa percakapan sama sekali. Hingga akhirnya Taiyo berhenti mendorong kursi roda Fuko.
“Sebentar lagi.” Taiyo mendongak ke arah langit.
“Sudah sempurna, ya?” Fuko ikut mendongak.
“Semuanya berkat dirimu. Pengetahuan yang dimiliki klanmu sangat membantu semua ini, juga tentang–”
“Hentikan!” Fuko memotong dengan tegas. “Aku hanyalah aib, dan kini aku seorang pengkhianatan.”
“Kamu masih beranggapan seperti itu?” Taiyo menatap ke bawah. Melihat Fuko yang tatapannya begitu kosong. “Kurasa kamu sudah melakukan hal yang benar.”
“Ini bukan soal benar atau salah. Bagaimana pun … Aku aib bagi klan Tsukishiro.” Fuko menoleh, membuat poni kanannya sedikit tersibak karena angin yang bertiup, dan Taiyo dapat melihat mata kanan Fuko yang berwarna biru cerah juga menatapnya.
Klan Tsukishiro memiliki keistimewaan yang begitu besar. Mereka memiliki kecerdasan di atas manusia pada umumnya. Dahulu mereka hidup begitu tenang hingga kemudian berbagai lembaga mulai mengincar mereka karena kecerdasan tersebut, demi kepentingan pribadi masing-masing.
Kemudian dimulailah rentetan kejadian tragis bagaimana mereka diambil paksa hingga diperjualbelikan sebagai budak di pasar-pasar gelap. Harga seorang dengan marga Tsukishiro selalu memiliki nilai yang teramat tinggi. Tidak jarang mereka terus berpindah-pindah tangan dan merasakan berbagai kebengisan.
Lantas sisa-sisa klan memutuskan untuk bersembunyi. Menarik diri dari milenial manusia dan hidup dalam ketakutan dan penderitaan. Hingga tiba-tiba seorang gadis klan Tsukishiro jatuh cinta pada seorang pria luar dan mereka berdua menikah. Sebuah pertentangan besar dari peraturan klan Tsukishiro demi menjaga kemurnian klan. Sang gadis diusir dari klan, diberi cap sebagai pengkhianat, dan anak yang terlahir dari rahim gadis tersebut dianggap aib terbesar serta pembawa kutukan bagi mereka. Terlebih rupanya bayi tersebut cacat, kakinya lumpuh.
Mirisnya, pernikahan tersebut pula yang membuat sisa-sisa klan Tsukishiro berhasil ditemukan. Hingga anggapan bahwa sang gadis dan anaknya adalah aib semakin kuat. Bencana demi bencana terjadi menimpa mereka, akhirnya klan tersebut dikabarkan telah punah.
Taiyo menatap Fuko. Klan Tsukishiro memiliki rambut putih dan mata emas yang begitu mencolok. Mata biru Fuko satu-satunya tanda bahwa dia berdarah campuran.
“Kamu bukan aib. Kamu menyelamatkan dunia.” Taiyo berkata lamat-lamat. “Kita diambang kehancuran. Di belahan dunia gunung-gunung es mulai mencair. Hanya menunggu waktu hingga akhirnya bumi ditelan limpahan air yang akan merendam semuanya.”
Taiyo kembali menengadah. “Kamu memang berdarah campuran, tetapi kecerdasanmu tidak berbeda dari klanmu. Kami beruntung menemukanmu. Berkatmu akhirnya kami berhasil mendapatkan pemecahan untuk menjaga peradaban manusia.”
Terdengar suara dengungan dari ujung lautan.
“Dia datang. Lihatlah. Itu Blue Emperor.” Taiyo tersenyum tipis.
Seekor paus raksasa berwarna biru terbang cukup rendah di langit hingga semua mata dapat melihatnya. Tidak hanya itu, di bagian atas paus tersebut tampak bangunan-bangunan berdiri dengan kokoh dan tegak, juga beberapa kehidupan di sana.
Fuko hanya diam menatap paus tersebut. Ia ingat bagaimana mereka mengerahkan segala upaya untuk menemukan makhluk tersebut hanya dengan berbekal mitos-mitos dan dongeng yang beredar, setelah mendapatkan kesimpulan bahwa makhluk tersebut mungkin benar-benar ada.
“Berkat dirimu, Fuko. Mungkin namamu tidak akan disebutkan dalam pengumuman penemuan Blue Emperor serta proyek evekuasi ini, tapi kami semua yang berada di pulau kecil ini tahu kamu yang memegang kunci keberhasilan. Kamu bukan aib, kamu justru membawa baik nama klanmu.”
Fuko diam termenung. Dengungan Blue Emperor kembali terdengar. Tanpa ia sadari setitik air mata mulai mengalir dari matanya.
Taiyo berpindah posisi ke hadapan Fuko. Ia berjongkok dan menatap wajah gadis itu yang pipinya kini mulai basah.
Taiyo tersenyum. “Blue Emperor masih dalam tahap uji coba. Jika mereka yang di atas sana berhasil bertahan hidup selama satu bulan, hasil nama-nama yang dapat tinggal di atas paus tersebut akan diumumkan.”
“Lalu percaya padaku, nama kita berdua tidak ada di dalam daftar tersebut. Setelah ini berakhir kupastikan kita akan pergi dari pulau para ilmuwan ini dan kamu dapat merasakan kebebasan yang sebenarnya.”
“Meski diriku–” akan tetapi sebelum Fuko menyelesaikan kalimatnya, mulutnya telah dibungkam dengan lembut oleh tindakan kasih sayang dari Taiyo sementara tangan kirinya menggenggam tangan Fuko, menyatukan jari-jari mereka hingga cincin pernikahan mereka sedikit berbenturan. (*)
Jawa Tengah, 27 Oktober 2024
Komentar Juri, Eva:
Memang tidak banyak kisah berbalut romansa yang bersaing pada lomba kali ini. Namun, bukan itu alasan utama kenapa cerita ini menarik perhatian kami, melainkan keselarasan idenya, tentang peradaban darat yang nyaris punah dan rencana membangun peradaban baru di atas paus terbang raksasa. Hal ini menunjukkan bahwa penulis sudah memikirkan ide yang paling “masuk akal” untuk gambar yang ia pilih.
Selain itu, pesan yang ingin disampaikan juga cukup menyadarkan kita bahwa kehidupan ini memang sudah tua. Cerita yang tragis tetapi ditutup dengan manis. Saya membayangkan diri saya menutup mata menikmati sensasi yang diberikan penulis pada penutupan cerita.