Toko Kuning Alle (Terbaik 14 Cerpen Fantasi)

Toko Kuning Alle (Terbaik 14 Cerpen Fantasi)

Toko Kuning Alle

Oleh : Triandira

Terbaik 14 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata

Pukul 8.17 malam. Jalanan kota tampak sepi dan tertutup salju. Udara dingin semakin menggigit kulit saat angin bertiup kencang. Alle tersentak, bergegas bangun dari kesibukannya memperbaiki mesin panggang yang rewel di gudang. Dari suara berisik yang terdengar, sepertinya perangkap yang ia pasang berhasil menjerat seekor mangsa. Mungkin kucing liar, yang dua hari ini menumpahkan bahan makanan di dapur. Seperti tepung gandum, pasta cokelat, selai kacang, atau … sekantong gula yang terikat rapat. Tapi, bagaimana bisa? Alle terkejut mendapati permen jahe kesukaannya di stoples juga tersisa sedikit. Lalu tampak lantai basah oleh butiran es yang membentuk jejak-jejak kaki. Sedangkan tali perangkap tak mengendur sama sekali.

Alle mengernyit heran. Kemudian kembali berjalan sambil menahan agar tak bersuara. Setelah berada dekat dengan tungku, lelaki itu mengayunkan tongkat kayu ke sosok berjubah gelap di depannya. Hendak memukul, ketika tiba-tiba sesuatu yang bersisik menyembul keluar dari dalam jubah, membuatnya melangkah mundur. Menjarakkan diri dengan tongkat yang tertodong lurus ke depan.

“Makhluk sialan! Berani-beraninya kau masuk ke sini,” teriak Alle. “Ayo, kemarilah jika berani—”

“Tu—tunggu!” cegah si makhluk pencuri sambil menyilangkan tangan di atas kepala. “Alle ….”

Alle terkejut. “Kau tahu namaku? Siapa kau?”

“Aku? Root.”

“Root?”

“Ya.” Root berhenti mengunyah permen jahe di mulutnya. “Hah … sudah kuduga kau pasti lupa. Coba lihat baik-baik.”

Makhluk itu melepas jubah, menunjukkan wujudnya yang aneh: wajah mirip manusia, bertangan, berkaki, berekor pendek, dan bersayap mungil.

“Dulu saat banjir, kau datang menolongku. Apa kau ingat?”

“Kau, naga kecil yang waktu itu …?”

Root mengangguk.

“Jadi, itu bukan mimpi?” kata Alle setengah berbisik. Matanya terus memerhatikan Root yang sudah banyak berubah. Ia ingat. Dulu, ada naga kecil berekor panjang terseret banjir. Kakinya luka-luka. Saat itu, hanya ia yang keluar rumah sambil berpayung lebar.

Merasa kasihan kalau meninggalkannya sendirian di jalan, Alle membawa masuk Root kecil ke tokonya yang disinari lampu kuning. Sebenarnya ia juga khawatir jika orang lain melihatnya, Root akan berada dalam bahaya. Makanya setelah kaki Root membaik, ia menyuruh naga kecil itu pulang. Ke Nasesia. Tempat manusia-manusia naga seperti dirinya tinggal.

***

Root selalu tahu cara terbaik untuk membuat seseorang semakin menyukainya. Sambil membungkukkan badan, ia telan habis sepotong roti bagel yang Beatrice suapkan kepadanya.

“Bagaimana caramu membuat ini?” tanya Root.

“Kenapa?”

“Kau pintar membuat krim keju yang enak. Aku suka.”

“Kalau begitu Sabtu depan, akan aku beri yang banyak untukmu,” kata si teman baru.

Tapi Alle masuk dari arah dapur, lalu menyahut, “Tidak, itu terlalu lama. Lusa ia harus pulang.”

“Oh, sayang sekali.” Beatrice mengusap pipi Root yang kembali penuh oleh makanan. “Tapi tenanglah. Aku akan ke sini lagi besok.”

“Terima kasih, Bi. Aku menyayangimu,” Root tersenyum hangat saat si teman baru pergi. 

Dari banyak pelanggan yang datang ke Toko Kuning, Beatrice adalah yang paling mudah dikenali. Perempuan gendut itu selalu datang dengan memakai daster bermotif bunga, dan membawa keranjangnya sendiri untuk menyimpan roti-roti yang ia beli.

“Sudah kubilang, aku belum ingin pulang,” kata Root, begitu tinggal mereka berdua di toko.

Setelah lampu teras dimatikan, Alle membantu mengganti perban yang Root pakai di sayapnya.

“Lihat, kan? Baru sebulan tinggal, sayapmu sudah lecet-lecet. Bagaimana kalau lebih lama lagi? Apa kau mau sayapmu patah?” balas Alle. Dalam hatinya, ia bisa membayangkan betapa sakitnya Root saat ini. “Ingat, Root. Kau tidak bisa terus-terusan menyembunyikan sayapmu dari orang-orang.”

“Tidak masalah. Bukankah bagus kalau aku terkenal. Tokomu juga akan ramai.”

Alle meninju cepat lengan Root.

“Jangan bodoh. Lagi pula, orang tuamu pasti kebingungan mencarimu sekarang,” Alle kembali bicara. “Sebenarnya kenapa kau kemari?”

Root menghela napas. “Aku penasaran,” katanya. “Sepertinya roti-rotimu sangat enak. Jadi, aku ingin mencicipinya.”

Tanpa bicara lagi, Alle langsung menjewer manusia setengah naga itu.

“Aku serius!”

Root kemudian bercerita. Bahwa semasa kecil, hidupnya di Nasesia sangat bahagia. Anak-anak senang bermain bersama. Berlarian dan bersembunyi di mana saja. Namun suatu hari, para manusia naga termasuk ibunya, selalu melarang untuk bermain di dekat lubang air misterius. Lubang yang sangat dalam dan gelap. Sekaligus berbahaya, karena siapa pun yang memasukinya akan hilang.

Anak-anak pun menjadi takut. Kecuali Root. Ia malah ingin tahu, apa benar lubang itu adalah jalan menuju dunia lain yang asing dan jauh dari Nasesia—seperti yang pernah diceritakan mendiang kakeknya? Jadi, suatu kali Root mendekat ke lubang itu. Sendirian. 

Melongok-longok dari atas batu yang licin, dan … slap! Ia terpeleset masuk ke dalam lubang.

“Lalu kita bertemu,” jelas Root.

“Tapi, kenapa kau ke sini lagi sekarang?”

“Karena sejak Ayah pergi tanpa kabar, Ibu membawa pulang Si Berengsek ke rumah. Kami sering bertengkar. Lama-lama Ibu juga berubah, sikapnya sangat kasar kepadaku.”

Alle terdiam.

“Ngomong-ngomong, kau tahu, kan? Dulu aku cuma punya ekor. Tapi sekarang … apa aku masih bisa pulang?” tanya Root ragu-ragu. “Dengan sayap dan tubuh remajaku ini, bagaimana caranya—”

“Kita bisa cari tahu nanti. Sekarang tidurlah,” balas Alle. Lantas berjalan masuk ke kamar.

Tapi bukankah aneh? Sejak bertemu denganmu, aku selalu ingin kembali ke sini

Root membatin, setelah berulang kali gagal memejamkan mata.

Ia pun pergi ke kamar Alle. Diintipnya dari lubang angin, tampak Alle sedang duduk melamun. Menghadap cermin yang memperlihatkan sayap-sayap patah di punggungnya.

“Alle, kau …?”

Alle menoleh kaget. Tapi kemudian mereka duduk bersama, menyaksikan salju turun semakin deras.

“Orang tuaku meninggal karena terperosok ke dalam jurang. Sejak itu aku hidup sendirian di rumah kami yang sempit. Rasanya sangat menyiksa. Aku tak tahan. Jadi, aku pergi dan memulai hidup baru di sini,” ungkap Alle tiba-tiba.

“Pasti sakit sekali, kan?” sambung Root, melirik ke bekas patahan sayap di punggung Alle.

“Mana mungkin tidak? Tapi hanya ini yang bisa kulakukan agar orang-orang tak curiga, dan aku bisa hidup tenang.”

“Lalu ekormu? Berapa lama sampai benar-benar hilang?”

“Sama seperti ayah-ibumu, dan manusia naga lainnya di Nasesia, ekorku terus memendek dan hilang sendiri setelah tiga tahun sayap terbentuk dengan sempurna,” jawab Alle. “Mungkin kau juga akan begitu.”

Root mengangguk. Mereka tak berbicara lagi, hanya duduk bertelanjang dada. Membiarkan Alle merasakan kebebasan sebagai makhluk yang berbeda dari orang-orang di kota itu. Meski hanya semalam.

***

Salju jatuh dari dahan pohon yang memutih di pinggiran jalan. Menutupi sebagian tutup lubang saluran tempat Alle berdiri, yang tak bisa dilihat oleh siapa pun, kecuali manusia naga seperti dirinya. Di Nasesia, mereka menyebutnya Pintu Liong—sebuah jalan yang menghubungkan Nasesia dengan dunia manusia.

Usai melihat sekeliling, memastikan tak ada orang lain di sana, Alle lekas mengusap tutup lubang saluran yang tertutup salju. Ia tekan kuat-kuat, dan seketika tutup besi itu seperti tersedot ke tanah. Sehingga terlihat lubang yang kosong dan gelap yang cukup untuk menelan masuk tubuh Root yang kecil, bertahun-tahun silam.

Apa yang harus kulakukan sekarang?

Tiba-tiba Alle merasa bingung. Ia tak ingin menghalangi Root bertemu ibunya. Tapi di sisi lain, ia mulai menyukai tinggal bersama manusia naga itu. Root sudah seperti adik baginya. Dan hanya Root yang bisa mengobati kerinduannya terhadap Nasesia, tanpa menangis. Jadi, haruskah ia membohongi Root? Mengatakan kalau tak ada jalan lagi baginya untuk pulang?

Pikiran Alle semakin kacau, saat ia melihat sulur-sulur panjang merambat keluar. Lalu seperti saling mendorong, pelan-pelan lubang bertambah lebar.

Alle panik. Sebelum ada yang melihat, cepat-cepat ia melempar batu ke dalam lubang agar menutup kembali. Lalu pergi begitu saja. Tanpa ia tahu, kalau sesaat kemudian datang sebuah bayangan, dan sesuatu yang menyerupai kaki kadal berukuran besar mengusap-usap tutup lubang saluran, seperti yang Alle lakukan.(*)

Malang, 18 Oktober 2024

Triandira, penyuka film-film fantasi. Dalam serial Harry Potter, beberapa tokoh seperti Hedwig dan Hagrid menjadi alasannya menyukai film itu. Sedangkan di sepanjang perjalanannya sebagai penulis, ia menulis beberapa cerpen fantasi: “The Necklace” dan “Edeline dan Para Centaurus”. Cerpen terbarunya, tergabung dalam antologi “Duri di Dada Ibu” terbit pada 2024.

Komentar Juri, Imas: 

Salah satu cerita dengan ide yang menarik dan ringan. Kesedihan yang dirasakan kedua tokoh utama, kemudian dilema yang Alle rasakan memunculkan kesan dramatik yang menyentuh saya.

Lalu, pada akhir cerita, muncul kesan misterius yang bisa memunculkan beragam tafsir dari pembaca.

Grup FB KCLK

Leave a Reply