Masa Kelam Dragonia
Oleh: Tatiana S. Hanami
Terbaik 16 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata
Entah kapan ini dimulai, kehidupan di Lembah Arai dipenuhi wajah-wajah lesu, sarat akan ketakutan, setiap musim dingin hampir tiba. Semua orang beraktivitas seperti biasa. Tiap petang semua anggota keluarga berkumpul di ruang makan menyantap makan malam, mengobrol, dan tertawa. Namun, jika dilihat lebih dekat, tawa mereka tak pernah mencapai mata. Obrolan mereka pun tersendat-sendat.
Lembah Arai berada dalam wilayah Kerajaan Dragonia. Setiap permulaan musim dingin, prajurit kerajaan akan menyambangi rumah-rumah penduduk di seluruh wilayah, merekrut satu anak laki-laki dari setiap keluarga dalam rentang usia dua belas ke atas. Rela tidak rela, anggota keluarga lain harus menyerahkan anak dan saudara mereka. Karena itu sudah tercantum dalam Perjanjian Kerajaan, hingga Masa Kelam berakhir.
Masa Kelam di Dragonia berarti tiga hal: serangan monster, kewajiban melahirkan anak laki-laki, dan pengambilan si anak laki-laki.
Tidak ada laki-laki di rumah kami. Hanya ada aku, Ibu, dan Hana adikku yang baru berusia lima. Ayah dibawa para prajurit di musim dingin seminggu setelah Hana lahir, dan tak pernah kembali.
Setiap musim semi tiba, sejumlah monster mengerikan muncul dari dalam bumi. Mereka menyerang apa saja, memakan manusia dan ternak atau hanya mengoyaknya untuk ditinggalkan, menghancurkan rumah serta ladang-ladang, menggantikan udara musim semi yang harusnya manis bunga-bunga, dengan amis darah dan kabut busuk teror. Mereka datang dari hutan Noor yang terletak di Utara kerajaan. Jumlah mereka tidak banyak, hanya saja tubuh mereka begitu besar, dan tidak pasti berwujud hewan apa. Ibu bilang waktu ia masih kecil dahulu sekali, mereka berbentuk ular kobra, dua ekor, sebesar tiga rumah dijadikan satu. Sebanyak 199 orang menjadi korban.
Para monster itu tidak tinggal dalam waktu lama, mereka akan kembali lesap ke dalam bumi beberapa minggu setelah kemunculannya. Hanya saja jika dibiarkan, korban yang jatuh akan lebih banyak. Pihak kerajaan pun membuat keputusan untuk menyerang mereka di hutan Noor supaya mereka tak mendatangi pemukiman. Namun, hal tersebut membutuhkan kekuatan ekstra. Maka, setiap keluarga wajib mengirimkan satu anak laki-laki untuk ditempa di istana selama musim dingin oleh petarung-petarung terbaik yang dimiliki kerajaan. Oleh sebab itulah aturan melahirkan anak laki-laki diberlakukan. Namun, tidak ada yang pernah tahu jenis kelamin bayi yang akan dikandung seorang ibu, jadi jika sepasang suami istri tak memiliki anak laki-laki setelah melahirkan anak pertama yang berjenis kelamin perempuan, sang ayah mesti menggantikan tempat.
Tahun ini usiaku enam belas. Seperti anak perempuan lain aku dibebani harapan untuk melahirkan anak laki-laki—hanya untuk direbut dariku kemudian. Aku tidak bisa melakukannya. Entah demi kedamaian kerajaan atau keselamatan orang banyak, aku tak mau menikah dan melahirkan lalu menumbalkan anakku sendiri. Selain itu aku masih terlalu muda! Persetan dengan aturan, aku yang akan maju ke medan pertempuran. Perempuan juga akan bisa menggunakan pedang dan anak panah jika diberi kesempatan untuk berlatih.
Jadi, malam itu harusnya aku duduk di rumah menyambut kedatangan keluarga laki-laki yang dijodohkan denganku, tapi aku menyamar dan menyelinap di antara para laki-laki yang akan dibawa ke istana. Aku hanya meninggalkan surat untuk Ibu dan boneka rajutan sebagai hadiah perpisahan untuk Hana. Aku tahu ibuku akan hancur hatinya, tapi aku harus mengambil risiko itu untuk mengambil jalan takdirku sendiri. Jika pun aku mati dan menghancurkan hati Ibu lebih parah lagi, setidaknya aku sendiri yang memilih begitu.
Aku ketahuan sebagai seorang perempuan dua hari setelah pelatihan dimulai dan terancam dipulangkan, lebih buruk lagi akan dijadikan budak di istana sebagai hukuman. Namun, salah satu petarung yang melatih kami, perempuan, menyarankan untuk memberiku kesempatan dengan taruhan nyawanya sendiri. Aku bahagia bukan kepalang saat mengetahui ada perempuan di antara para pejuang laki-laki.
“Kau bodoh atau tidak pernah punya otak?!” Kukira dia akan senang dengan keberadaanku, tapi dia justru memakiku. Nada suaranya mampu membuat prajurit paling berotot sekali pun terdiam kaku. Tapi, aku harus membela diri. Dan aku pun menyerocos tentang mengapa aku harus melakukan itu, dengan tidak hati-hati, kata makian untuk aturan kerajaan juga lolos dari mulut sebelum aku sempat berpikir.
Dia, Rose, memijat kening seraya menyumpah keras-keras setelah mendengarkan cerocosanku. “Hebat, ada dua si tolol sekarang.” Aku mungkin salah lihat, tapi bibirnya tertarik membentuk senyuman saat dia mengatakannya.
***
Itu gunung berjalan, bukan laba-laba!
Aku tak bisa berhenti gemetar saat melihat si monster. Kami mengintai dan membuat jebakan di hutan Noor sejak sinar matahari pertama musim semi belum terbit. Dua minggu telah berlalu, bumi sudah kembali menghijau dan mulai memamerkan warna-warninya. Aku sempat mengira kali itu tidak akan ada monster.
Dimulai oleh getaran hebat seperti gempa bumi serta sebuah raungan yang menggelegar dan mendirikan bulu kuduk, tanah di hutan Noor merekah, memunculkan sesosok hitam kehijauan mengilap dari dalamnya. Dia merangkak keluar, berjalan mengangkangi pohon-pohon dengan kaki-kakinya yang sebesar batang pohon itu sendiri dan duri-duri yang menyerupai ranting-ranting yang meranggas.
“Fokus,” kata Rose seraya menyikut rusukku.
Aku berkuda bersama Rose, duduk di belakangnya sebagai pemanah, sedang Rose berperan ganda; berpedang dan memanah.
Kapten Nell, ahli berpedang terbaik di Dragonia, berkuda dengan pelan di bawah perut si monster laba-laba. Dia memakai baju zirah lengkap, yang terlihat hanya sedikit celah di bagian mata, persis sama dengan yang dikenakan Rose.
Sejenak, Kapten Nell mengangkat tangan memberi isyarat, para pemanah yang bersembunyi di bukit pun melemparkan hujan panah ke monster itu. Aku masih berada agak jauh, tapi aku bisa mendengar kelotak dari suara anak panah yang mengenai cangkangnya. Si monster menggeram marah, panah-panah berujung tajam tak menggoresnya. Hujan panah gelombang kedua kembali datang, dan sang monster meraung lebih keras. Saat itulah Kapten Nell dan prajurit berpedang mulai beraksi. Menyabet kaki-kakinya, beberapa berusaha memanjat untuk menyerang area perut, melontarkan tombak-tombak, bahkan penyergap yang mengintai di pepohonan melompat ke punggung laba-laba.
Monster itu hanya satu, sebesar gunung, dan lebih keras dari batu. Saat dia menjadi agresif, para pejuang terjatuh, terluka, terinjak, dan lebih parahnya lagi, dia melontarkan benang beracun. Benang itu seperti mengandung cairan asam, melelehkan apa pun yang dikenainya. Formasi menjadi kacau, buyar karena takut terkena serangan.
Aku mulai mempertanyakan kenekatanku. Keberanian menjadi pemberontak yang sempat menyala-nyala itu perlahan luntur saat mendengar teriakan kesakitan mereka yang telah menjadi korban. Apakah aku benar-benar rela mati di sini, di bawah kaki atau cairan asam makhluk mengerikan itu?
Seseorang melempar batu dan mengenai mata laba-laba, membuatnya mengerang dan mengibas-ngibaskan kepala.
“Rose, turunkan aku di dekat pohon itu,” kataku, mendadak punya ide. Rose tidak bertanya, hanya menoleh sekilas. Dia menurunkanku di tempat yang kumau, aku membeberkan ide dalam kepala. Dia mengangguk begitu saja.
“Bersiaplah. Aku akan memberitahu yang lain,” katanya sebelum berderap mantap dengan kudanya.
***
“Api itu ide yang bagus.” Kapten Nell menepuk punggungku dua kali, tersenyum.
Pertarungan telah berakhir. Kami berhasil mengalahkan monster laba-laba. Mungkin kami hanya beruntung, tapi ini patut disyukuri.
Sebenarnya Rose-lah yang telah mengeksekusi ideku. Dengan gagah berani dia naik ke kepala laba-laba dan membutakan sisa matanya yang luput dari bidikan panahku, lalu menuangkan minyak tanah, melempar dirinya sendiri ke sesemakan jauh di bawah sesaat sebelum aku melontarkan anak panah api. “Terima kasih sudah memercayaiku,” kataku padanya.
“Apa saja pantas dicoba. Lagi pula kalau gagal kemungkinannya hanya mati.”
Aku meringis. Kurasa dia benar-benar tidak takut mati. Dan aku ingin seperti dirinya.
Tidak ada yang bisa memastikan kapan Masa Kelam berakhir. Aku mungkin untuk kali ini bisa pulang, bertemu Ibu dan Hana lagi—itu pun jika mereka tidak terlanjur membenciku. Karena dengan apa yang telah kulakukan, aku seperti telah melemparkan tanggung jawab yang tidak mau kutanggung kepada Hana. Tapi—
“Rose, selanjutnya ajari aku berpedang.”(*)
Jawa Timur, 27 Oktober 2024
Tatiana S. Hanami, makhluk yang senang menghalu.
Komentar juri, Eva:
Saya tidak pernah berekspektasi akan terciptanya ide tentang seorang pahlawan perempuan dari gambar yang dipilih. Itu sudah menarik, dan untungnya cerita ini pun dieksekusi dengan menyenangkan oleh penulis. Sebuah kisah aksi-fantasi yang ketegangannya terasa dengan baik. Ya, saya ikut berdebar pada adegan pertarungan si tokoh dengan si Monster.
Pengorbanan, diskriminasi, dan konsekuensi dari sebuah pilihan, mungkin adalah beberapa hal yang ingin disampaikan di dalam cerita. Sebuah cerita yang cocok untuk pembaca yang sedang membutuhkan motivasi.
Selamat, ya.