Kaeru
Oleh: Erien
Terbaik 19 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata
Nobu meyakini cerita dari mendiang kakek buyutnya tentang paus raksasa dengan kota besar di punggung sebagai kenyataan. Padahal, tidak ada orang lain di kota ini yang menceritakan hal yang sama.
Kaeru, begitu kakek Nobu menyebutnya, akan terbang dari laut di selatan kota. Paus itu besarnya melebihi kota tempat mereka tinggal. Ia akan menutupi langit pada saat matahari tidak tenggelam selama 24 jam. Dan itu hanya terjadi sekali dalam kurun waktu 107 tahun, dua hari lagi.
“Kakek bilang, saat matahari berbalik dan tepat di atas bukit ini, aku dan keluargaku harus naik ke sini jika ingin melihat Kaeru.” Nobu menoleh ke arah Jiro yang duduk tepat di sebelahnya.
“Jadi karena itu kau mau berteman denganku? Karena hanya aku dan ibuku yang tinggal di bukit ini?” Ada kecewa dalam pertanyaan sahabat Nobu itu.
“Bukan! Kebetulan saja hanya kau yang tinggal di bukit ini, Jiro. Jangan marah.”
Jiro terdiam dan heran kenapa Nobu begitu percaya tentang Kaeru. Tidak ada satu penduduk kota ini yang pernah melihat paus itu. Hanya kakek Nobu yang bercerita dengan terbata-bata dan hanya Nobu yang mendengarkan lalu menceritakan kembali penuh semangat pada Jiro. Mungkinkah karena mendiang kakek Nobu adalah manusia tertua di kota ini, jadi hanya dia yang pernah melihat Kaeru? Kalau tidak salah ingat, kakek Nobu usianya 121 tahun saat wafat dua tahun lalu. Jika benar yang dia katakan, maka saat Kaeru terbang di atas kota ini, usianya sama seperti Nobu dan Jiro sekarang.
Jiro tidak ingin menganggapnya serius. Hanya saja, saat Nobu mengatakan bahwa hanya dari bukit tempat rumahnya berada paus itu bisa dilihat, Jiro mulai tertarik dan menganggap Nobu benar-benar serius. Apalagi, saat ibunya menunjukkan pintu lemari yang dibuat mendiang kakeknya bertuliskan Kaeru. Sayang, ibunya tidak sempat bertanya apapun tentang tulisan itu kepada ayah Jiro yang meninggal saat Jiro berusia setahun.
Sudah sebulan ini setiap kali pulang sekolah Nobu bermain ke rumahnya. Itu membuat Jiro makin menganggap Kaeru juga nyata. Mereka akan duduk berdua menikmati pemandangan kota di kaki bukit sampai menjelang matahari terbenam, membayangkan paus raksasa dengan kota di punggungnya. Lalu, mereka tertawa saat berimajinasi mereka saling melambai dengan anak-anak penghuni kota di punggung Kaeru.
“Dua hari lagi, Jiro. Sepertinya, hanya aku yang akan datang ke sini. Ayah dan ibuku tidak percaya perkataan Kakek. Nanti, temani aku, ya.”
Jiro hanya mengangguk.
Beberapa ikan terbang melewati mereka. Tumbuhan di punggung ikan-ikan itu menari tertiup angin. Beberapa di antaranya sudah berbunga. Sepertinya, matahari yang bersinar lebih lama membuat air laut di utara kota panas dan ikan-ikan itu terbang untuk mencari angin yang menyejukkan di laut selatan kota. Nobu pun pulang.
Dua hari kemudian, dua jam sebelum matahari tepat berada di atas bukit, Nobu terlihat berlari menuju rumah Jiro. Kebetulan, hari ini sekolah diliburkan karena cuaca sangat panas.
“Jiro!”
Jiro yang keluar rumah tertawa melihat sahabatnya datang dengan ransel penuh makanan; sebutir semangka berukuran sedang, empat botol jus jeruk, sewadah nasi kepal aneka rasa, seplastik udang goreng tepung, setoples stroberi, dan dua botol air putih. Semua dikeluarkan Nobu dengan hati-hati dan diletakkan di tikar yang sudah digelar oleh ibu Jiro di bawah pohon mangga. Dengan cekatan, Jiro membelah semangka menjadi dua dan memberi Nobu satu bagian. Mereka pun duduk menghadap kota sambil menyendoki semangka berdaging merah itu.
“Satu jam lagi!”
Jiro melirik matahari yang sudah berada sekitar lima belas derajat sebelum tepat di atas kepala mereka. Dia berganti menoleh ke arah Nobu yang terlihat senang. Nobu mengunyah nasi kepal dengan cepat, tidak sabar ingin melihat Kaeru. Bahkan, Nobu membawa kamera untuk mengabadikan paus besar itu.
“Kalau kakekmu bohong dan ternyata Kaeru itu cuma dongeng, bagaimana?”
Nobu menghentikan kunyahannya lalu menatap Jiro. “Kakek tidak pernah bohong. Bahkan, saat akan meninggal, kakek mengatakan Kaeru berulang kali sambil menunjuk arah bukit ini, Jiro. Kakek pasti benar.”
Jiro tersenyum sambil mengangguk.
Menit berganti. Matahari semakin meninggi. Dua botol air putih sudah habis seiring keringat yang membanjiri dahi dan punggung dua anak itu. Entah kenapa, bukit ini sangat sunyi. Tidak ada ikan yang terbang menuju selatan. Tidak ada angin berembus.
Nobu berdiri saat matahari tepat berada di atas kepalanya. Begitu pula Jiro. Mereka menatap kota yang terbentang di bawah bukit sana. Langit sangat cerah. Beberapa awan putih berjalan pelan seperti siput berbulu domba. Tidak ada tanda-tanda Kaeru.
“No–.”
“Itu! Lihat, Jiro!” Bak kesurupan, Nobu meloncat-loncat sambil menunjuk ke arah selatan. Dia menarik-narik lengan baju sahabatnya.
Jiro terbelalak. Dia kaget melihat apa yang bergerak di laut sebelah selatan. Ada pulau besar bergerak dengan cepat menuju kota di bawah bukit ini! Di atas pulau itu terlihat kota yang tidak kalah indah.
Belum selesai Jiro kaget dan Nobu yang meloncat-loncat, dalam hitungan detik tiba-tiba kota itu terangkat dan terlhat paus raksasa. Kaeru.
Nobu dan Jiro terdiam membatu. Mereka tidak menyangka bahwa Kaeru benar-benar sebesar kota, ah sepertinya malah lebih besar dari kota di bawah sana. Tetes air terlihat turun dari perut paus itu seperti hujan yang datang tiba-tiba. Kota mereka terlihat menggelap. Langit di atas kota benar-benar tertutup Kaeru.
Sedetik kemudian, bukit bergetar hebat. Nobu dan Jiro sampai terduduk. Keduanya gemetar lalu menangis. Ibu Jiro belari keluar dan memeluk keduanya. Kaeru turun menimpa seluruh kota dan mengganti kota Nobu dengan kota di punggungnya. Semua terbenam di dasar sana; orang tua dan adik Nobu, tetangga, teman-teman sekolah, guru-guru. Semua.
Nobu menangis.
Kakek buyut Nobu benar. Kaeru itu ada, sesuai artinya: mengganti, kembali. {*}
Kotabaru, 27 Oktober 2024
Erien. Saya.
Komentar Juri, Lutfi:
Salah satu cerpen yang langsung mendapat tempat aman bagi saya. Penulis menghadirkan latar dan tokoh-tokoh yang cukup menarik. Ekspektasi kami, naskah ini bakal berada di urutan atas. Sayang sekali, penulis mungkini terburu-buru menyelesaikan cerita sehingga ending yang dipilih terasa kurang mendukung bangunan cerita.