Kapas yang Diterbangkan Angin
Oleh: Retno Ka
Aku tidak tahu bagaimana kamu memaknai satu tahun pernikahan kita. Apakah membuatmu kesal karena terpaksa harus tinggal serumah denganku yang selalu menyalakan kipas angin padahal kau tidak betah dingin? Atau membuatmu menyesal karena hanya mengantarkanmu pada status duda padahal umurmu belum genap tiga puluh?
Aku sempat terlintas sebuah ide untuk mengatur pertemuan denganmu di pujasera, tempat yang biasa kita datangi sebelum meninggalkan pabrik. Kita bisa tetap diam saja sambil mendengarkan deru motor yang mengambil alih jalanan, atau boleh juga untuk sekadar menyantap cilok berisi ayam cincang kesukaanmu. Aku tak ingin membebanimu untuk membicarakan apa pun, hanya saja, jika kau sendiri yang ingin melakukannya, aku pasti akan mendengarnya baik-baik. Tidak apa-apa jika sekarang itu sudah tidak mungkin terjadi, aku hanya ingin memberitahumu saja.
Ir, kita sudah saling mengenal jauh sebelum satu tahun itu. Entah pada bagian apa ingatanmu merekamku untuk kali pertama. Bagiku, itu adalah saat kau menangis meraung-raung karena tidak diperbolehkan ibumu memakai kerudung seperti Mbak Nani. Kita mungkin belum bersekolah waktu itu, tapi entah mengapa ingatan itu amat begitu lekat di kepalaku. Bahkan, siapa saja yang tergelak di sana saat itu, aku masih hafal.
Belakangan aku menyadari, kejadian itu adalah awal mula dari segenap prasangka yang melingkupimu. Teman-teman sepermainan kita, juga para orang tua bahkan, mulai menyebutmu dengan sebutan kemayu. Aku tak pernah melihatmu naik pitam karena perkataan itu, sebaliknya, kau justru akan menanggapi mereka dengan santai.
“Orang gagah begini kok kemayu,” katamu, dan kau mulai berjalan dengan dada yang dibusung-busungkan, tetapi saat beberapa langkah, langkahmu akan berubah gemulai, hal yang memantik gelak tawa pada siapa pun yang melihat.
Aku juga ikut tertawa, tetapi demi apa pun, aku hanya menganggap itu sebagai lelucon. Tidak ada kesimpulan yang terbesit di benakku, yang menganggap kamu bukan lelaki seutuhnya.
Aku selalu menganggapmu sebagai lelaki, lebih-lebih ketika suaramu berubah warna dan jakunmu mulai bertumbuh. Ada yang berdesir di dalam sini, deras dan hangat. Desir yang kukira bisa teralihkan jika aku menjadi kekasih Dim waktu kita memasuki masa SMA. Namun, aku salah. Desir itu tidak bisa berpindah. Aku menyadarinya setelah aku terhanyut saat Dim meraih leherku hari itu, seakan-akan aku memang mendambakannya sangat lama, namun, ketika ia mencoba menciumku, aku justru menamparnya keras-keras. Aku memakinya kurang ajar, lalu, iya, kami bubar. Aku tak ingin tahu apa yang terjadi pada diriku waktu itu, tapi karena aku memberitahumu saat ini, mungkin kau bisa menyimpulkan sendiri.
Aku kembali padamu. Berangkat dan pulang bersama. Duduk di bangku yang sama sampai kelas dua belas. Lalu, mengambil jurusan yang sama pula saat kuliah dan terhenti pada tahun pertama karena sama-sama terkendala biaya. Wabah menyerang desa kita, ratusan hektar sawah, termasuk milik orang tua kita, mengalami gagal panen total. Itu tahun-tahun yang sulit, Ir, tapi aku merasa baik-baik saja selagi masih bisa melihatmu.
Aku menyukaimu dan aku menyukai gagasan yang diusulkan orang tua kita. Aku tak tahu apa orang tuamu dan orang tuaku sudah berunding sebelumnya, jelasnya, hari itu, di antara mereka tidak ada yang canggung.
“Kalian menikah saja,” kata ibumu, yang diikuti anggukan semua orang di pelataran rumah kita yang berdampingan.
Seakan-akan, membicarakan pernikahan setara merencanakan rute perjalanan yang paling sederhana. Kita hanya saling pandang, lalu beringsut ke pabrik tanpa menanggapi apa-apa. Aku baru berani mengulang pembahasan itu setelah beberapa hari kemudian.
“Bagaimana menurutmu, apa kita harus menikah?” Aku mengatur suaraku sebisa mungkin saat mengatakannya, supaya tidak terdengar mendesak atau mengintimidasi.
Aku pun sudah membangun pertahanan dalam diriku kalau-kalau kau akan langsung menolak ide itu, apa pun alasan yang akan menyertainya. Tapi kau tidak menolak, dan ternyata itu justru lebih sulit untuk dihadapi. Aku
bergeming sangat lama saat itu karena berusaha menyambungkan kesadaranku yang pecah-pecah.
“Mulai dari mana kita? Toko perhiasan?”
***
Aku masih merasa itu tidak nyata. Kau membelikanku cincin dan melingkarkannya di jari manisku. Kau menghadap bapakku dan mengikrarkan janji-janji.
Kita berpindah tempat tinggal. Membeli perabotan baru dan menatanya bersama-sama pada akhir pekan. Kita cenderung cepat dalam urusan menata rumah, tapi menjadikan urusan yang lain seperti menunggu tetesan air memenuhi ember besar. Aku tak masalah. Sama sekali tidak.
Aku mengerti perasaanmu yang tidak bisa merasakan apa pun terhadapku meski kita tidur bersisian setiap malam. Bagimu mungkin itu seperti mengulang masa-masa kecil kita yang sering merebah pada tumpukan jerami yang siap dijadikan humus. Bahkan, lebih dari itu, kita sering saling menggosok punggung dengan batu saat mandi bersama di sungai. Aku bisa senantiasa membendungnya, meskipun aku selalu bersiap kapan pun kau akan mendatangiku.
Aku tidak masalah jika sampai akhir kehidupan, harus berbagi tempat berteduh denganmu meski tanpa saling bersentuhan. Tapi aku selalu melihatmu sebagai lelaki yang utuh, bagaimanapun suara-suara serak selalu mencecarku. Bahkan ibuku, yang dulu tampak amat semringah di hari pernikahan kita, berangsur mulai luntur binar-binar matanya. Ia mungkin kecewa, mungkin pula akan segera menganggapku putri durhaka. Ia seperti tahu apa yang terjadi di antara kita, tidak mau meyakini diri bahwa aku belum juga hamil karena sudah takdir. Itu adalah puncak tekanan, Ir, tapi aku masih sanggup bertahan. Menurutmu, kenapa bisa demikian?
Bagiku, asal kau masih mau menonton TV bersamaku saat malam tiba dan mau mencoba masakan baru yang kubuat sebelum berangkat kerja, aku akan menganggap bahwa pernikahan kita baik-baik saja sampai seratus tahun menjelang. Namun, beberapa minggu sebelum hari yang mengguncang itu, kuakui sikapmu memang sedikit berbeda. Mulai kapan persisnya, aku tak begitu yakin. Mungkinkah ketika kau tidak lagi bekerja di tempat yang sama denganku?
Sejak awal, kau memang sudah berniat mencari pekerjaan lain. Bukan yang selamanya bergelut dengan gumpalan kapas-kapas. Aku tahu kau jenuh, sebagaimana juga aku dan hampir semua yang bekerja di sana, mungkin. Bedanya, kejenuhanku memiliki obat. Sedangkan kamu tidak. Kau begitu saja menerima, ketika Andi menawarimu kerja di perusahaan kelistrikan. Semenjak di sana, kau memang mulai sering pulang larut dan bahkan sering keluar kota beberapa hari bersama Andi. Hal-hal sederhana yang kusebutkan tadi, hampir sudah tidak bisa lagi kita lakukan.
Sementara suara-suara, kian keras saja dalam mencecarku. Dan aku, tanpa sadar sudah sedikit demi sedikit memercayai ucapan mereka. Benarkah, Ir … apa yang mereka bilang?
***
Kau menghentikan prasangkaku, tepat ketika ia mencapai puncaknya. Sambil memegang tanganku, kau berkata: ingin bercerai. Aku hanya melihat wajahmu lekat-lekat, tanpa bisa mengatakan apa pun barang pertanyaan kenapa.
“Aku mencintai seseorang.”
Seakan kau tahu aku hampir ambruk, kau menggenggam tanganku lebih kuat. Dan seakan kau tahu apa yang membuatku hampir ambruk, kau berkata, “Dia … perempuan.”
Aku tak tahu bagaimana perasaanku. Ia campuran dari rasa sakit yang mencengkeram sangat kuat dan rasa lega yang meloloskan tubuhku ke udara.
“Tapi demi Tuhan, aku tidak berselingkuh,” ujarmu, cepat-cepat.
“Kau pikir, selingkuh hanya ketika kau menggandeng perempuan lain di belakangku? Perasaanmu bercabang begitu juga sudah termasuk.” Aku mengatakannya sambil terkekeh, tapi agaknya, kau tidak menganggapku sedang bercanda.
“Maafkan aku, Nal. Maafkan. Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya, sejujurnya aku juga tidak yakin.”
“Tidak apa, kau sudah melakukannya dengan benar. Terima kasih sudah memberitahuku.”
“Aku yang terima kasih.”
“Tapi maukah kau mencoba resep baru yang kubuat sambil nonton TV?”
“Tentu saja.”
Itu malam yang amat indah, ada bulan yang bersinar terang di luar jendela yang gordennya sengaja kita buka, dan desau angin yang menyusup masuk melalui celah-celah. Namun, itu terlalu singkat. Saat cahaya timur mulai menyembul, saat itulah masaku sudah habis. Aku tidak bisa memperpanjangnya meski aku ingin.
****
Jepara, 25 September 2024.
Retno Ka. Ibu dari seorang anak lelaki. Menyukai hijau, dan laut.