Temaram

Temaram

Temaram

Oleh: Ika Mulyani

 

Lampu di atas selasar tangga makin lama makin redup. Aku membayangkan, ia berkedip beberapa kali, seakan mengerahkan sisa tenaga yang dimilikinya, sebelum sedetik kemudian benar-benar mati. Secercah cahaya bulan berhasil menerobos jendela–yang kacanya sudah buram karena amat sangat jarang, bahkan mungkin belum pernah dibersihkan–hingga aku bisa melihat kilau basah di lututku.

Kemarin, kemarin dulu, dan kemarin-kemarinnya lagi, sampai nyaris berbusa rasanya mulutku, aku berbicara pada pengelola gedung apartemen. Ah, sebetulnya, apartemen tua yang sudah lusuh ini lebih tepat disebut sebagai rumah susun. Untuk segera mengganti lampu yang sudah memperlihatkan tanda-tanda sekarat itu.

Tidak cukup lewat telepon, kuhampiri ruang kantornya di lantai dasar di sudut lobi. Tetapi perempuan gendut dengan bibir menghitam oleh nikotin itu hanya mengangguk dengan senyum yang tidak mencapai matanya, lalu berkata, “Akan segera kami tangani, Mbak.” Ia tidak berbicara apa-apa lagi sampai aku merasa jengah dan berbalik kembali ke tangga menuju kamarku di lantai tiga.

Lift-nya seperti biasa kuabaikan, meski papan tanda perbaikan sudah dicabut. Sebagaimana dalam gelap, aku juga tidak pernah merasa nyaman berada dalam ruangan sempit dengan langit-langit rendah. Jika dengan sangat terpaksa harus menggunakan lift, tubuhku akan menjadi kaku, punggung basah oleh keringat dingin, dan tanganku bergetar hebat sehingga aku harus berpegangan erat pada palang besi yang biasanya terpasang di sekeliling dinding bagian dalam lift.

Setiap kali ada yang bertanya, ingin tahu mengapa aku selalu lebih memilih berlelah-lelah dan berlama-lama menaiki puluhan bahkan terkadang sampai ratusan anak tangga, aku tidak sanggup untuk menjelaskan dengan jujur; kenangan buruk itu terlalu menakutkan untuk diingat, bahkan hingga kini, setelah aku beranjak dewasa. Aku hanya akan menjadikan slogan, “Ayo Naik Tangga untuk Hidup Lebih Sehat” sebagai alasan yang terdengar sangat bijak.

Ketika lampu itu kini akhirnya benar-benar mati, seharusnya aku merasa jengkel dan melancarkan sumpah serapah–seperti yang ingin kulakukan dalam beberapa hari terakhir, setiap kali menaiki tangga ini sepulang kerja yang hampir selalu lewat dari pukul delapan malam dalam suasana remang-remang karena lampu yang sekarat. Di samping rasa tidak nyaman yang meremangkan bulu kuduk dan membuatku berkeringat dingin, tidak sekali dua salah satu kakiku–yang terasa berat diganduli rasa lelah setelah hampir sepanjang hari berdiri di tempat aku mengais rezeki–terantuk anak tangga.

Namun, kali ini aku justru merasa lega.

Sudah dua jam lewat tengah malam kurasa, dan laki-laki di kamarku sepertinya sudah makin terbenam di alam mimpi setelah kelihatannya merasa puas menjelajahi hutan perawan. Aku tidak tahu pasti dan tentu saja tidak peduli. Yang kupedulikan hanyalah bahwa notifikasi m-banking sudah muncul di layar ponselku, memperlihatkan angka rupiah yang masuk, dua kali lebih banyak dari harga yang sudah dijanjikan.

“Kamu luar biasa, Manis! Kamu pantas untuk dapat bonus.” Begitu ucap si tua bangka itu tadi, setelah selesai mentransfer–aku yakin–secuil dari isi rekeningnya, seraya kembali menciumku dengan rakus hingga membuat aku terpaksa menelan percikan ludahnya yang berbau seperti aroma mulut orang yang berhari-hari tidak menggosok gigi. “Tunggu kira-kira satu jam. Aku juga mau minta bonus,” lanjutnya sambil mengedip genit, tersenyum, lalu menjawil pipiku.

Aku menggerakkan bibir dengan berat, mencoba membalas senyumannya.

Laki-laki tua itu terbahak. Suara tawanya begitu keras, membuatku sedikit tersentak. “Kamu benar-benar masih polos! Beruntung benar aku bisa memenangkan lelang itu!” Lagi-lagi ia terbahak, lalu menjatuhkan diri ke tempat tidur dengan kaki mengangkang. “Tunggu satu jam! Aku perlu istirahat sebentar.”

Satu jam, bahkan sepertinya dua jam telah berlalu. Tapi dari tempatku memeluk lutut di sini, dengkuran laki-laki itu masih sayup-sayup terdengar.

Ya, kali ini aku justru merasa sangat lega ketika lampu itu akhirnya mati–fobiaku tiba-tiba sembuh. Keberadaanku di anak tangga ini tidak akan dengan mudah diketahui oleh tetangga kamarku, kecuali mereka menajamkan penglihatan dan pendengaran serta perasaan. Jadi, tidak akan ada yang bisa melihat kaki telanjangku, aliran air mata di pipiku, juga bayangan wajah ibuku yang sedang koma di dalam benakku, serta bayangan deretan angka di atas kertas tagihan biaya ruang ICU selama empat bulan tiga belas hari. Oh, empat belas. Sekarang sudah lewat tengah malam, bukan? []

 

Ciawi, 24 September 2024

 

Ika Mulyani, emak-emak penyuka warna hijau dalam segala nuansanya, dari hijau pupus hingga hijau tahi kuda.

Leave a Reply