Pagi, pada Hari Kemerdekaan
Oleh: Halimah Banani
5 Naskah Terbaik Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”
Pagi-pagi sudah bising. Lagu Hari Merdeka disetel amat nyaring. Pakai salon Haji Jaring. Tapi yang didengarnya hanya bunyi “ngiiing”. Anak itu tutup kuping. Kepalanya pening. Berputar-putar seperti gasing. Akhirnya dia pilih berbaring. Padahal baru makan dua piring. Pakai nasi uduk sama emping.
“Abis makan jangan langsung tiduran, nanti kepala lu besar!” seru ibunya yang lewat depan kamar. Lalu ibunya masih lanjut berkomentar: Menasihati adiknya yang suka buat onar; Mengomeli ponselnya yang tak mendatangkan kabar. Terus nyerocos tak kelar-kelar.
Anak itu bangkit lagi. Niatnya mau menonton tivi. Tapi tidak jadi. Tak hanya lagu Hari Merdeka yang mengudara. Suara panitia lomba, anak-anak, dan orang dewasa juga membahana. Berlomba-lomba merusak telinga. Bikin dia mau teriak saja. Sayangnya tak bisa. Nanti dikira dia sudah gila.
Lagi pula, mana mungkin dia protes. Nanti dikata orang stres. Orang-orang akan bilang, “Ini hari kemerdekaan! Harus dirayakan!” Dirayakan siapa? Buat apa? Dia tak pernah jadi bagian. Tak boleh jadi bagian. Tak dibiarkan ambil peran. Mereka bilang dia orang luar. Memang pada minta digampar. Padahal jelas-jelas ibunya orang pribumi. Dia juga lahir dan besar di sini. Hanya bapaknya saja dari luar negeri. Itu pun lebih sering pergi.
Akhirnya dia duduk di meja belajar. Malas betul keluar kamar. Meski pintu dibiarkan terbuka. Siapa saja bisa masuk suka-suka. Dia ambil buku gambar yang isinya sisa dua lembar. Dia ambil pensil warna yang dibeli sewaktu obral. Dia ambil juga pensil 2B yang panjangnya sekelingking. Ujungnya diikat karet yang warnanya sudah keling. Setelah itu, mulailah dia menggambar.
Dia buat sebuah rumah. Dengan atap runcing. Dindingnya warna kuning. Tak ada pintu. Hanya ada jendela satu. Di dalamnya ada orang. Kecil, gemuk, dan hitam. Mirip lalat yang sedang hinggap. Atau semut merayap-rayap. Lalu, di depan rumah ada jalan. Jalan yang saaangat panjang. Berkelok-kelok, menurun amat terjal. Kalau naik sepeda di sana mungkin bakal jatuh terjungkal.
Rumah itu adalah rumahnya. Orang itu adalah dirinya. Memang tak serupa kenyataan. Di kampungnya, rumah-rumah saling berimpitan. Mirip warga yang berkerumunan saat kedatangan sumbangan. Tapi, kira-kira seperti itulah suasananya. Dia tak pernah merasa punya tetangga. Karena itu adiknya jadi banyak lagak. Katanya biar jadi pusat perhatian. Terus bisa dapat banyak teman. Sayangnya malah selalu dapat hinaan. Kadang juga dapat guyuran. Pakai air comberan. Atau pakai air kencing, makanya pulang-pulang bau pesing. Paling sering jadi babak belur. Wajahnya, punggungnya, tangannya, kakinya, semuanya pada biru anggur. Anehnya, semangatnya tak pernah gugur.
Sementara dia sudah terlalu muak. Memang jarang tubuhnya jadi samsak. Tapi hatinya sudah bengkak. Mungkin sebentar lagi bakal meledak. Hanya saja dia tak mau meledak. Takut kulitnya jadi gosong. Lalu ditertawai orang-orang otak kopong. Dikata-katai “negro gosong”.
“Negro! Negro!”
Dasar orang-orang bego!
Kerjaan mereka cuma bisa mengolok-olok. Tingkahnya benar-benar goblok. Tak tahu tata krama. Orang diam saja masih kena hina. Merasa diri paling sempurna. Kadang bikin dia diserang dilema. Ingin dia tonjok. Tapi takut kena keroyok. Kalau sudah begitu ujung-ujungnya dia juga yang bonyok. Jadi, memang sudah paling betul dia diam. Mungkin lama-lama orang-orang itu bakal bungkam. Meski entah kapan. Barangkali kalau sudah dibungkus kain kafan. Iiih … seraaam.
Dia menghela napas. Lagi-lagi ketenangannya terampas. Padahal saat ini dia sedang menggambar. Dia ingin menggambar … ah, iya, suasana di luar!
Dia buat sebuah lingkaran di ujung jalan. Itu tempat perayaan diselenggarakan. Bendera-bendera merah putih dikibarkan. Orang-orang seperti dedak diserakkan. Ada yang mengerubungi tukang-tukang mainan dan makanan. Ada juga yang mengelilingi arena perlombaan.
Di sana, macam-macam lomba digelar. Ada lomba makan kerupuk. Tali-talinya dipasang sama panjang. Hanya saja tinggi pesertanya yang rada jomplang. Ada juga lomba balap karung. Lompatan pesertanya agak tak terukur. Ada yang maju terus siap menggempur. Ada yang jatuh tersungkur. Juga ada lomba balap egrang, lomba tarik tambang, sampai lomba panjat pinang.
Orang-orang sibuk berjuang. Orang-orang berusaha menang. Orang-orang bersenang-senang.
Sementara dia … dikucilkan. Atau mengucilkan. Entahlah. Dia tak mau ambil pusing. Orang-orang juga tak ada yang menganggapnya penting. Lagi pula, dia tak pernah jadi bagian. Tak boleh jadi bagian. Jadi tak perlu ambil peran. Cukup diam seperti induk ayam sedang mengeram.
Tapi, lama-lama dia juga bosan. Dia sudah tak mau lagi menggambar. Maunya bisa tiduran. Lalu ketiduran. Biar pagi cepat jadi malam. Biar hari sudah berganti bulan. Tahu-tahu pas bangun sudah di dalam kuburan. Ah … kalau itu, sih, kecepatan. Juga terlalu menakutkan. Hanya saja hidup memang lebih mirip-mirip setan. Terasa sangat seram: terlalu banyak beban; sedikit sekali kebahagiaan.
Dia meremas kepalanya. Pusing bukan main. Telinganya juga masih berdenging. Tapi salon Haji Jaring belum juga mati. Lagu juga baru ganti. Dari Hari Merdeka jadi Indonesia Raya. Lalu terdengar suara panitia. Lewat pengeras suara. Mengumumkan pendaftaran baru saja dibuka.
Ya Tuhaaan …. Penderitaannya masih sangat panjang.
“Omar!”
“Omaaar!”
Terdengar beberapa anak memanggil nama adiknya dari luar.
Dia diam. Yakin kalau salah dengar. Mana mungkin adiknya punya teman? Paling-paling cuma dijadikan bahan olok-olokan.
“Sebentaaar!” Adiknya menyahut riang, lalu berlari kencang. Meninggalkan meja makan. Meninggalkan nasi uduk yang tinggal beberapa suapan.
“Cepetan, Bego! Keburu tutup pendaftarannya!”
“Iya, iya. Bawel banget lu! Baru juga dibuka.”
“Udah, buruan!”
Lalu terdengar suara langkah-langkah kaki berlari menjauh. Juga suara ibunya yang sibuk pisuh-pisuh. Sementara dia berdiri di tengah pintu. Diam membisu. Berubah jadi batu.
Jakarta, 21 Agustus 2024
Halimah Banani, salah satu penulis kumcer Iblis Pembisik (Omah Aksoro, 2019) dan Candramawa: Cinta dan Sebuah Kisah (Hazerain, 2019).
Komentar juri, Berry:
Cerita yang sangat menarik dan sesungguhnya akan lebih enak dibaca jika tidak ditulis dengan teknik berima semacam ini, karena hanya membuat nuansa di dalam ceritanya kabur. Bahasa yang puitis begini lebih cocok untuk cerita-cerita yang melankolis atau romantis yang di dalamnya memuat makna yang berlapis-lapis. Namun pada realisme, apalagi dengan tema yang lebih konkret seperti nasionalisme dan rasisme seperti pada cerita ini, penggunaan bahasa yang terlalu banyak atraksi hanya akan melemahkan pesan yang ingin disampaikan. Meskipun begitu, keberaniannya mencoba sesuatu yang baru—dan bisa dibilang berhasil pula—sudah pasti patut untuk dihargai.