Paw-siden
Oleh: Vianda Alshafaq
5 Naskah Terbaik Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”
Ibu Kota Nusantara, 17 Agustus 2045
Sejak kemarin malam, seluruh negeri digemparkan oleh berita yang sangat mengejutkan: tuanmu yang menjadi presiden republik ini menghilang! Bukan karena meninggal, apalagi diculik. Tuanmu hanya menghilang begitu saja. Tanpa jejak. Tanpa bekas. Seolah-olah menguap bersama harapan rakyat. Kehilangan tuanmu itu berujung pada kekacauan yang merebak di seluruh negeri seperti wabah Covid-19 yang terjadi puluhan tahun lalu. Dari media massa hingga media sosial, semua saluran informasi sibuk berspekulasi tentang nasib tuanmu. Sebagian menyebutkan bahwa ia tengah melarikan diri karena tekanan politik, juga tekanan massa yang beberapa waktu terakhir sibuk mengajukan tuntutan untuk mencabut kebijakan-kebijakan tuanmu yang sangat menyengsarakan rakyat. Sebagian lain menyebutkan bahwa peristiwa hilangnya tuanmu hanyalah bagian dari kejutan besar untuk perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-100 tahun. Tetapi, jauh dari anggapan-anggapan itu, masyarakat biasa hanya mempertanyakan satu hal: siapa yang akan memimpin upacara di hari yang penting ini?
Kau menyambut pagi ini seperti biasa: kau berkeliling istana; menghidu setiap sudut untuk mencari aroma tuanmu; mengibas-ngibaskan ekormu yang berbulu tebal; sesekali menjilati bulu-bulumu yang berwarna cokelat; dan sesekali menggonggong kecil. Ketika sampai di depan pintu ruang rapat, kau lihat beberapa orang sedang berdiskusi—lebih tepatnya berdebat—mengenai sesuatu. Dengan santai kau masuk ke dalam. “Guk, Guk!” gonggongmu menyapa orang-orang di sana. Di ruangan itu kau lihat Pak Menteri Pertahanan yang sering mengunjungi tuanmu, sedang berdiri dengan muka merah padam. Di seberangnya, Pak Menteri Perekonomian juga mengeluarkan air wajah yang sama—dan sebetulnya hampir semua wajah di ruangan itu memerah padam. Hanya satu orang yang mukanya terlihat sedikit lebih tenang. Dia adalah laki-laki berbaju batik cokelat yang tengah memandangimu sebegitu lekat, sampai-sampai kau merasa seolah-olah matanya siap menusukmu hingga sekarat. Kau mengenalnya sebagai Pak Menteri Pendidikan, yang juga kerap mengunjungi tuanmu di istana selama ia menjadi anggota Kabinet Nusantara Maju.
“Bagaimana kalau kita minta Asu menjalankan tugas itu?” Mendengar namamu disebut oleh Pak Menteri Pendidikan, kau menggonggong. Kau merasa dipanggil—dan memang kau dilatih begitu: menggonggong setiap kali dipanggil.
Kau memandangi semua orang yang menjatuhkan matanya padamu dalam keheningan yang tiba-tiba tercipta itu. Mereka terlihat kaget karena usulan Pak Menteri Pendidikan yang sungguh tak terduga. Tetapi, sebagai anjing, tentu kau tak menangkap maksud mereka. Kau hanya menggonggong, lalu menjilati kakimu yang terasa gatal, setelahnya kembali menatap mereka bingung. Lidahmu masih menjulur keluar dan meneteskan air liur ke karpet.
Namun, Pak Menteri Pendidikan kemudian melanjutkan, “Asu adalah simbol kesetiaan dan kejujuran. Dia telah berada di samping presiden selama bertahun-tahun, bahkan lebih lama dari kita semua yang ada di ruangan ini. Tidak ada yang lebih setia dan jujur daripada Asu, baik pada presiden maupun negara ini. Jika kita tidak berani memimpin upacara di tengah kondisi bangsa yang kacau ini, biarlah kesetiaan Asu yang memimpin. Lagi pula, kita juga tidak ada yang bersedia. Toh, tugas ini juga tidak masuk dalam cakupan gaji kita.”
Beberapa detik kemudian perdebatan kembali meletus. Bu Menteri Keuangan tidak sepakat, dan bagaimana mungkin seekor anjing sepertimu memimpin upacara, pikirnya. Bu Menteri Keuangan lebih menyetujui untuk menjemput Pak Wakil Presiden yang diagendakan memimpin upacara di istana Jakarta.
“Tidak mungkin. Pak Wakil Presiden harus tetap di Jakarta. Bagaimanapun, upacara di istana Jakarta juga penting. Dan, kita tidak mungkin menerbangkan Pak Wakil Presiden dari Jakarta ke Kalimantan dalam waktu setengah jam.” Bu Menteri Sosial menyanggah.
Kekacauan di ruangan itu makin menjadi-jadi. Pun begitu dengan keputusasaan yang makin tak berujung. Sementara aktivitasmu masih juga sama; menjilati bulumu dan menatap mereka bingung. Dan, di tengah kekacauan yang makin tak masuk akal itu, ide Pak Menteri Pendidikan untuk menjadikanmu sebagai pemimpin upacara mulai dirasa masuk akal. Mereka tidak menemukan pengganti presiden yang lain. Opsi untuk membatalkan atau mengundur upacara juga tak pernah ada di meja—itu adalah sesuatu yang mustahil. Mana mungkin upacara peringatan kemerdekaan ke-100 tahun yang sejak dulu digadang-gadang bakal menjadi masa Indonesia emas dibatalkan? Oleh sebab itulah, dengan sedikit keberatan, mereka semua menyepakati bahwa kau akan menggantikan presiden memimpin upacara hari ini. Setelahnya, mereka menyebarkan informasi ini melalui akun-akun resmi media sosial mereka untuk meredakan kepanikan suasana di luar istana.
Waktu untuk melaksanakan upacara semakin dekat. Kau juga sudah didandani sedemikian rapi: dasi merah putih dipasangkan di lehermu; baju seragam berlencana yang dulu dibuatkan tuanmu sudah melekat di tubuhmu yang gembul. Setelah semua dirasa cukup, beberapa orang pegawai kepresidenan mendatangimu. Salah satunya memberi isyarat agar kau mengikutinya—tentu kau sudah familier dengannya. Dan, begitulah, kau mulai berjalan meninggalkan istana melalui karpet merah yang terbentang hingga podium yang telah disiapkan, masih dengan lidahmu yang menjulur dan ekor yang mengibas-ngibas. Kau melongok kanan-kiri, melihat para pejabat tinggi luar dan dalam negeri, menteri-menteri, hingga Jenderal TNI dan pasukan militer yang berbaris rapi, memberikan hormat kepadamu selaku pemimpin upacara hari ini. Puluhan kamera juga menyorot tubuhmu yang tegap sejak tadi, untuk ditayangkan di berbagai kanal televisi.
Kau berhenti ketika sampai di podium sebagaimana yang diinstruksikan oleh seorang pegawai presiden. Di atas podium, kau lihat sebuah mikrofon kecil yang menarik perhatianmu. Kau menjilat mikrofon itu hingga suara jilatanmu terdengar ke seantero lapangan. Kau tidak peduli pada pandangan orang-orang yang menatapmu dengan kening berkerut. Yang kau tahu hanyalah bahwa benda hitam kecil itu menarik, tetapi kau harus berhenti menjilatinya setelah pegawai tadi memberimu isyarat untuk duduk dengan tenang.
Tak lama, upacara dimulai. Semua rangkaian acara berjalan dengan baik. Dan tibalah saatnya kau berpidato selaku pemimpin upacara. Pegawai tadi berdiri di depanmu, sementara seorang perempuan yang dianggap mengerti bahasa anjing berdiri di samping kiri, bersiap menerjemahkan setiap gonggongan yang keluar dari mulutmu.
“Guk, guk, guk!” gonggongmu saat pegawai presiden memberi isyarat. “Rakyat Indonesia yang saya cintai,” terjemah Penerjemah Bahasa Anjing, suaranya mantap dan berwibawa. “Hari ini adalah hari yang bersejarah, kita memperingati 100 tahun kemerdekaan bangsa ini. Meskipun Pak Presiden tak ada di sini, kita tidak perlu khawatir karena saya, Asu, akan mewakilinya menyampaikan pesan persatuan dan kesetiaan.”
Kau lagi-lagi menggonggong sesuai instruksi pegawai presiden. “Meski saat ini negara kita sedang terpuruk dengan hutang yang tinggi dan nilai tukar rupiah yang makin rendah, juga penguasaan investor asing di berbagai sektor perekonomian, kita tidak perlu khawatir. Semuanya akan baik-baik saja selama kita bisa bersatu dan bekerja sama.” Kau memiringkan kepala, menatap Penerjemah Bahasa Anjing yang entah berkata apa, padahal kau hanya menggonggong tanpa maksud apa-apa. Lalu kau beralih menatap para peserta upacara yang mengangguk-angguk, seolah-olah betul-betul memahami gonggongan yang kau keluarkan sejak tadi. Tak lama, pegawai presiden memberimu instruksi terakhir, dan kau menggonggong sebagaimana mestinya. “Marilah kita lanjutkan perjuangan para pahlawan kita, dengan cara damai dan penuh bijaksana. Kemerdekaan yang sudah satu abad ini bukanlah akhir, melainkan tugas besar yang harus kita emban bersama. Terlebih di tengah semua kekacauan yang sedang menguasai negeri kita ini.” Penerjemah Bahasa Anjiing menerjemahkan gonggonganmu untuk terakhir kali sebelum ia menutup pidato dan kembali ke tempat semula.
Upacara berlangsung khidmat dan tentu saja meriah. Semuanya berjalan sebagaimana yang direncanakan, dan kau sudah dikembalikan ke ruang presiden tempat kau menemaninya sehari-hari. Kali ini, ruangan itu dipenuhi oleh orang-orang yang tadi berada di ruang rapat. Mereka membicarakan berita-berita mengenai upacara hari ini yang disorot dengan begitu cepat oleh media internasional. “Barking Orders: Indonesia’s Canine Commander Takes the Helm on Independence Day”, “Unprecedented Leadership: Dog Leads Indonesia’s 100th Independence Ceremony”, “Indonesian Independence Day Goes to the Dog—Literally!”, demikianlah bunyi beberapa headline di koran digital internasional yang membuat nyaris satu dunia heboh. Bahkan beberapa kanal televisi internasional menampilkan rekaman dirimu yang sedang “berpidato”. Berbagai analisis muncul, ada yang menyebut bahwa pemilihanmu sebagai pemimpin upacara adalah tanda kemunduran sistem politik di Indonesia, sedangkan yang lain menganggapnya sebagai simbol dari lahirnya sistem kepemimpinan yang baru dalam dunia perpolitikan.
Namun, meski kehebohan itu meliputi seluruh dunia dan kau tiba-tiba saja menjadi terkenal seperti selebritas, bagimu semua itu hanyalah sesuatu yang tak bisa dipahami. Kau hanya menaiki kursi tuanmu yang kini kosong, lalu berbaring. Kau menatap orang-orang yang berada di ruangan itu. Dan, mereka sudah beralih pada topik lain: di mana presiden sebenarnya?
Somewhere on Earth, 21-22 Agustus 2024
Vianda Alshafaq, calon pengarang yang sedang belajar mengarang.
Komentar juri, Berry:
Bentuk satir lain yang dikirim penulis yang sama dalam dua perlombaan terakhir di LokerKata. Tidak seperti cerpen sebelumnya, kali ini satirnya cukup berhasil. Keberlebih-lebihannya lebih terasa natural untuk tujuan “main-main” ketimbang berusaha menunjukkan sebuah konsep-ide yang belum matang. Kritiknya mengenai banyak target, termasuk di antaranya adalah politikus, sistem perpolitikan, masyarakat umum, hingga media massa yang seringnya hanya fokus pada hal-hal yang ada di luar/tampilan daripada esensi. Hanya ada satu hal yang aku rasai sedikit janggal, apakah bahkan pada 2045 nanti masih juga dilakukan Upacara Bendera di dua tempat berbeda seperti tahun ini? Bukankah tidak ada alasan kuat untuk masih melakukan itu? Ya, bukan hal besar untuk meruntuhkan kekuatan cerita ini, memang.