Wati Masih Ingat
Oleh: Aryati
5 Naskah Terbaik Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”
Langit sedang bergembira, tak satupun deretan awan yang tampak. Sementara di bawah sana, bumi tengah dipaksa berpuasa, karena sudah sekian lamanya hujan tak turun. Biasanya juga begitu, hujan selalu tak turun sejak Juli hingga Oktober. Kadang-kadang hingga bulan sebelas. Meninggalkan amukan debu-debu jalanan yang setiap hari dihantam truk-truk pembawa pasir putih dari bukit di atas sana. Bertebaran kemana mereka mau, ke pagar halaman, dinding rumah, teras rumah, bahkan orang-orang yang lalu lalang mereka hantam pula.
Bendera panjang merah putih di sepanjang jalan sudah dipasang orang-orang sejak awal Agustus. Namun berbeda dengan pintu halaman rumah Wati. Jika kalian ingin berkunjung disarankan untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor, karena bisa dipastikan kalian akan kesulitan. Letaknya agak masuk ke dalam, melewati gang sempit yang kanan kirinya diapit kebun dengan tanaman teh-tehan yang jarang sekali dipangkah membuat jalanan makin sempit. Sementara di jalanan depan sana terpasang puluhan bendera, di depan rumah Wati tak ada apapun. Rumah berdinding kayu dan tak pernah makan cat itu tampak kusam.
Mijan, suami Wati, tengah mengisap cerutu di teras samping rumah. Sudah lama, ia merokok dari tembakau yang dilintingnya sendiri dengan campuran kemenyan dan kertas papir yang dibelinya tiap Sabtu di emperan pasar. Sebelum menikahi Wati, ia selalu membawa tembakau beserta bahan lintingan lainnya tiap berkunjung. Orangtua Wati sangat menyukainya, terutama bapaknya yang sama-sama penyuka rokok lintingan sendiri.
Dan setiap Sabtu, Mijan selalu ke pasar, duduk di antara pelanggan lainnya, menikmati berbagai jenis tembakau murahan. Sambil membuat lintingan mereka berbicara banyak hal, diselingin dengan tawa. Selain hari Sabtu, Mijan hanya mengerjakan pesanan kursi kayu. Itupun juga ada yang memesan. Ia selalu mengerjakan pesanan melebihi waktu yang disepakati. Sekarang jarang yang memesan padanya. Beberapa diantara para pemesannya hanyalah sahabat dekatnya.
“Sudah mau 17-an, kok, benderanya tidak dipasang, Pak?” Wati mengambil sapu ijuk dari pojok ruangan. Sementara Mijan tengah duduk-duduk sambil merokok.
Tanpa menoleh ke arah istrinya Mijan berkata, “Kain buluk begitu!”
“Nanti dikira kita tidak mau memeriahkan kemerdekaan!”
“Merdeka apa! Ke pasar saja tidak mampu.”
“E ….” Wati tak melanjutkan. Ia sudah paham dan sangat yakin dengan apa yang akan terjadi jika ia melanjutkan ucapannya. “Sekarang Sabtu, kan?” tanya Wati setelah beberapa saat terdiam.
“Iya. Kenapa?”
Wati tak menjawab. Ia segera meninggalkan suaminya. Ia berjalan mendekat ke arah dinding dengan kalender para pegawai berseragam batik kusuma bangsa—pemberian tetangganya yang kebetulan berprofesi sebagai guru. Terlihat bulatan merah pada angka 17.
Wati ingat, dua hari lalu ketika Wati hendak meminjam uang pada Bu RT, perempuan yang suaminya tak pernah tak mencalonkan diri dalam pemilihan ketua RT itu mengatakan bahwa hari ini, tepat setelah upacara peringatan kemerdekaan, katanya, akan diadakan lomba untuk ibu-ibu warga desa. Hadiahnya lumayan. Minimal dapat beras dan minyak.
“Lumayan,” gumam Wati. Kemudian ia masuk kamar, mengganti pakaiannya. Daster penuh tambalan ia lepaskan dan gantikan dengan kaus oblong hitam dengan celana kolor hitam selutut. Dadanya yang seperti dibakar membuat langkahnya makin ringan.
“Ke mana?” tanya Mijan yang masih saja duduk sambil mengisap cerutunya.
“Ada lomba di lapangan. Mau ikut nonton?”
Mijan hanya menggeleng.
Begitu Wati keluar dari pintu gang, dilihatnya bendera panjang berwarna merah putih berkibar-kibar. Ia berhenti sebentar. Truk pengangkut pasir putih baru saja lewat. Debu-debu menghantam wajah Wati.
“Huh! Nunggu ganti Bupati mungkin baru bisa merdeka dari debu!” keluh Wati sambil menutup hidung dan mulutnya dengan mengangkat bagian atas kausnya.
“Tidak bakalan, Yu.” Tiba-tiba sosok perempuan seusia dengan Wati sudah ada di sampingnya.
Wati segera menoleh. Ia tersenyum malu. “Maunya, sih, Mba Lis, tidak sampai ganti bupati kita panennya ganti. Jangan panen debu melulu. Panen duit, begitu, hehehe.”
“Jalurnya memang tidak ada yang lain. Ini satu-satunya. Mereka yang untung, lah, kita ….”
Wati tersenyum, tak lagi menanggapi ucapan perempuan yang disapanya Mbak Lis itu.
“Mau nonton apa ikutan lomba?” tanya Mbak Lis.
“Sebenarnya kepingin ikut, Mba Lis, tapi ….”
“Kebetulan! Ikut saja. Tim kita kurang satu orang. Pas sekali.”
“Hadiahnya lumayan.”
“Iya, Mba?”
“Yu Wati tenang saja, yang penting menang dulu.”
Begitu sampai lapangan, orang-orang sudah banyak yang datang. Kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak. Laki-laki dewasa yang ada hanya panitia saja. Di pojok lapangan sejumlah hadiah tampak berdiri menantang siapapun yang datang hendak mengambilnya. Mata Wati tertumbuk pada bungkusan parcel berisi minyak dan beras.
“Ayo ke sana!” Mbak Lis menarik tangan Wati dan bergerak cepat ke arah perempuan-perempuan lainnya. Suara mereka sangat berisik. Ada yang tertawa terbahak-bahak, ada yang tengah mengobrol, entah apa yang mereka bicarakan. Ada pula yang tengah berbisik-bisik, mungkin mendiskusikan strategi yang hendak mereka lakukan.
Wati tampak bingung tapi tetap bergerak mengikuti langkah Mbak Lis. Keduanya tiba di antara perempuan-perempuan bertubuh penuh lemak. Di antara mereka hanya Wati saja yang bertubuh lebih kecil.
“Nah, ini dia,” seru salah seorang perempuan.
“Lihat ototnya,” seru yang lainnya lain sambil memegang lengan Wati.
“Siap, ya, Yu.”
Wati mengangguk kemudian tersenyum.
Tiba saatnya lomba dimulai. Wati berada di barisan ke tiga dari depan. Tangannya dengan urat-urat yang menonjol keluar tampak sudah siap memegangi tali berukuran besar. Sementara satu temannya yang memiliki badan paling besar di antara lainnya, berada paling depan. Di belakang sendiri juga yang berbadan besar. Dan teman-teman satu kelompok lainnya tampak berjajar ke belakang dan juga sudah siap memegangi tali yang sama. Begitu peluit dibunyikan mereka menarik tali ke belakang. Wati berusaha menarik sekuat tenaga sambil bergerak mundur. Kegiatannya menimba air di sumur belakang rumah membuatnya terbiasa dengan beban berat. Tetapi kali ini, ia merasa sedikit kesulitan.
Pertarungan tarik menarik yang cukup sengit ini berlangsung cukup lama. Maju-mundur, maju-mundur. Maju lagi, mundur lagi. Penonton makin riuh dengan teriakan.
Wati merasa mulai kehabisan energi. Ia lupa kalau tadi pagi ia hanya sarapan kopi pahit saja. Ia juga mulai lupa kalau hari ini ada peringatan kemerdekaan, ia juga mulai lupa kalau ia sedang ikut lomba. Tapi ia masih ingat dengan hadiah sembako di pojok lapangan itu. Ia juga masih ingat ada mas-mas berjaket kulit, sepatu pantofel, dengan tas selempang hitam berisi buku catatan di dalamnya, yang selalu datang tiap minggu ke rumahnya. Ya, Wati masih ingat itu.
Banjarnegara, 22 Agustus 2024
Aryati, Ibu dua anak.
Komentar juri, Freky:
Yang paling menarik perhatian saya dari cerita ini adalah penggambaran setting baik itu latar tempat maupun suasana perlombaan tarik tambang yang seru. Namun yang paling berkesan tentu saja hal yang disampaikan oleh penulis tentang apa yang diingat Wati selama perlombaan berlangsung. Ending yang meninggalkan kesan—saya rasa inilah salah satu faktor kenapa cerpen ini masuk dalam jajaran naskah terbaik dalam event Agustus kali ini. Penasaran apa itu?