Perayaan di Negeri Mama
Oleh: Hassanah
Terbaik ke-6 Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”
Pagi-pagi Mama sibuk-sibuk di dapur. Suara gemercik air berbarengan dengan dentingan gelas, piring, sendok, dan sumpit, suara bersin-bersin Bapak, lalu tawa-tawa kecil Mama dan Bapak, juga aroma kari yang khas, bergiliran mengetuk pintu kamar Ami. Mungkin juga Yume, Zuri, ataupun Tomo. Ami tidak kepikiran apakah saudaranya terbangun juga atau tidak, tapi satu hal yang membuatnya bersemangat ialah hari ini adalah Hari Kemerdekaan Indonesia.
Buru-buru, Ami membereskan futon merah mudanya, mengikat rambutnya asal dengan kain seperti bunga yang lentur, mengecek jam dinding, menggeser pintu hingga menimbulkan suara ”sreek” yang keras, lalu berlari menuruni tangga berbahan kayu hingga terdengar ”duk-duk-duk”.
”Ohayou gozaimasu!” sapaan Ami yang panjang mengejutkan Mama dan Bapak. Walau langkah kedatangannya terdengar jelas, mereka tidak menyangka anak bungsunya mengeluarkan semangat seluarbiasa itu. Seperti sakura yang mekar di musim semi, wajah Ami membuat Bapak membungkus kembali kalimat-kalimat nasihat yang tak disukai putrinya.
”Ohayou, Ami-chan!” Mama membalas terlebih dahulu sebelum Bapak ikut menyahut, ”Pagi sekali bangunnya, Ami-chan.”
”Katanya mau lomba agustusan. Jadi, ‘kan?” Ami sudah mendekat dan menempelkan pipinya pada bahu sang ibu seperti anak kucing yang bergelendotan untuk menyusu.
”Tentu saja,” ucap Mama setelah mendengar Bapak menerjemahkannya dalam bahasa Jepang. Ami bisa saja mengucapkan itu menggunakan bahasa ibunya secara langsung, tapi Bapak tidak pernah memaksanya dan kakak-kakaknya demikian. Bagi Bapak, melihat Mama memerhatikannya dengan serius saat menerjemahkan, sangatlah momen yang disukainya. Momen yang belum bisa dimengerti anak-anaknya.
Ami memeluk ibunya, menghidu aroma pelembut pakaian yang tersisa di bajunya yang sudah bercampur keringat dan aroma masakan pagi itu. Salah satu hal yang disukainya dari rumah. Hal yang mungkin tidak dimengerti Bapak.
Setelah mencicipi kari daging sapi dan mengelap cucian piring yang diselesaikan bapaknya, Ami kembali ke lantai dua dan menggaduhkan kamar-kamar kakak-kakaknya. Dengan bahasa ibu dan logat ibunya pula, satu per satu dari kakaknya mendapat giliran ”acara pagi”. Sebutan yang Ami buat untuk menjuluki ibunya yang sering bergerundel sendiri ketika naik ke lantai dua dan keadaannya masih sepi.
”Oneechaaan, Oniichaaan! Banguuun!”
”Nande suka tidur terus?” ungkap Ami setelah bergiliran ke kamar kakak-kakaknya. Dia masuk ke kamarnya dan tiba-tiba saja mendendangkan lagu 17 Agustus dengan langkah bak patriot di garda terdepan. Entakan kakinya cukup berisik hingga membuat Yume di kamar sebelah memekik, ”Nande berisik subuh-subuh?”
***
Ami sudah memilih pakaiannya: kaus putih lengan panjang, rok dan kerudung merah, juga stiker bendera Indonesia yang ditempelnya di pipi. Remaja SMA kelas satu itu sudah tak sabar menunggu sarapan pagi usai, persis ketika dia tak sabar tiba di rumah untuk membagi-bagikan roti isi dan jus jeruk kepada kakak-kakaknya yang dibeli dengan gaji pertamanya bekerja paruh waktu di minimarket bulan lalu. Grup chat sekolah lamanya dulu juga ribut membicarakan upacara bendera sejak semalam. Membuatnya serasa jadi bagian dari mereka di tanah air bapaknya.
Ami, Yume, Zuri, dan Tomo barulah sebentar tinggal di Nagoya. Sekitar dua tahun. Dulu, mereka tinggal di kampung bapaknya, di sebuah desa di Tanah Minang. Mama akan bolak-balik Indonesia-Jepang tiap tahunnya, sementara Bapak bisa dihitung jari pulang ke Indonesia. Jika dihitung dari usia Ami yang saat itu baru empat tahun, dia dan kakak-kakaknya sudah dua belas tahun di Indonesia.
”Kita lombanya di mana, Bapak?” Ami bertanya di sela-sela mengunyah. Tahun lalu, mereka tidak bisa merayakannya karena bukan hari libur. Kemudian pula bapaknya lembur, kakeknya sakit, lalu dia kelelahan di sekolah.
”Di taman. Biar tetangga tidak keberisikan sama kamu, Mi.” Zuri mengambil posisi untuk menjawab adik yang berbeda dua tahun dengannya itu.
”Ami tidak berisik!” tegas Ami yang menyipitkan matanya ke arah Zuri. Tomo dan Yume tertawa serentak, seakan-akan sudah diaba-aba. Makin mengambeklah bungsu keluarga itu. Dan pagi itu pun jadi ramai dibuatnya.
”Mama, nanti kita lomba apa saja?” Ami yang masih sedikit kesal itu bertanya pada ibunya di seberang meja. Kemudian Bapak menerjemahkannya dan Mama menjelaskan beberapa permainan masa kecilnya. Ada tebak benda berdasarkan kata yang ditulis dengan aksara kanji, bermain kendama (sebuah alat permainan dari kayu berbentuk palu dan memiliki bola dengan seutas tali), mengambil permen di dalam tepung menggunakan mulut, lalu juga permainan Indonesia: sendok dan kelereng.
Ami sudah tak sabar. Zuri mulai antusias. Yume bertanya apa hadiahnya. Tomo biasa saja. Dan Bapak menikmati masakan Mama sambil tertawa kecil.
‘‘Sugoi, Mama!” Ami memuji sang ibu dan mengacungkan jempolnya dan terbitlah bunga sakura di wajahnya. Mama tersipu malu dibuatnya.
”Mama, makanannya enak!” ucap Ami lagi dengan bahasa Jepang setelah menghabiskan sarapannya. Makin meronalah wajah Mama.
”Arigato, Ami-chan.” Wajah Mama membuat Bapak tersenyum-senyum. Zuri memergoki hal itu dan ikut tersenyum, lalu Yume memindahkan potongan wortel ke piring Tomo. Seperti sudah biasa dengan kelakuan adiknya, Tomo melanjutkan makannya dan menghabiskan wortel Yume tanpa bicara apa-apa.
Pukul 08.15 waktu Jepang, Ami sudah siap di depan rumah. Sambil menunggu kakak-kakak dan mamanya, dilakukannya peregangan ringan dan menghirup udara pagi yang tak sedingin beberapa bulan lalu. Bapak meledeknya yang seperti cumi terbang yang juga musim di musim panas. Membuat Ami memonyongkan bibirnya. Dia tak membalas Bapak yang masih tertawa.
Di perjalanan, Mama mengendarai mobil dengan lihai. Kemudian Zuri yang duduk di bangku paling belakang bersama Yume menayangkan saluran televisi Indonesia di ponselnya. Waktu Indonesia masih lebih pagi. Tayangan seputar persiapan upacara menjadi topik utama. Terlebih lagi upacara tahun ini perdana diadakan di ibu kota negara yang baru. Namun, Ami tak seberisik sebelumnya.
Perjalanan mereka masih di sekitar rumah, melewati rumah-rumah tetangga yang tak kelihatan orang-orangnya. Setiap berbelok ke gang yang lain, rumah-rumahnya tertutup rapat semua tak ubahnya rumah kosong.
Tayangan di ponsel Zuri pula menayangkan gang-gang perumahan yang super meriah menyambut perayaan 17-an. Umbul-umbul, lampu-lampu, hias-hiasan serba merah-putih, apalagi bendera merah-putih, menjadi pemandangan sepanjang gang perumahan seakan-akan sedang ada karnaval besar-besaran. Suara tawa anak-anak yang terekam sehari sebelumnya juga memenuhi mobil mereka. Namun, pandangan Ami jatuh pada jalanan yang bersih dan kosong. Antara rumah yang satu dan lainnya tak ubahnya model rumah-rumah di majalah.
”Tanah airku tidak kulupakan.”
”Kan terkenang, selama hidupku.”
Ketika lagu Tanah Airku ciptaan Ibu Soed memenuhi mobil mereka, air mata Ami berjatuhan.
”Ami-chan, kenapa diam saja?” tanya Mama dalam bahasa Jepang.
”Baterai Ami sudah habis, Mama,” kali ini Yume mengambil posisi untuk menjawab. Dia fokus menatap ke depan dan sedikit terkekeh menggoda adiknya.
”Nande, Ami-chan?” kali ini Zuri yang bertanya kenapa dengan adiknya.
Tomo melihat ke sebelahnya. Ami memandang ke luar jendela mobil yang dibuka sedikit. Dia tidak melihat adiknya menangis, tapi sebentar lagi akan menyadari kesedihan yang tiba-tiba memeluknya.
Di pangkuan Ami, layar ponselnya masih menyala. Ponsel yang baru dimilikinya tiga bulanan ini. Ruang grup teman-temannya pula masih terbuka. Setelah membenarkan posisi kacamatanya, Tomo pun melihat jelas obrolan teman-teman adiknya.
”Merdeka! Tanah airku merdeka!”
”Selamat ulang tahun Indonesia-ku!”
”Hore! Indonesia merdeka! Penjajah Jepang sudah dipukul pulang! Merdeka!”(*)
Pekanbaru, 22 Agustus 2024
*Ohayou gozaimasu: sapaan selamat pagi dalam bahasa Jepang
**Nande: kenapa dalam bahasa Jepang
***Sugoi: keren, wow, hebat, atau luar biasa dalam bahasa Jepang
Hassanah, gadis Jawa kelahiran Aceh yang besar di Riau. Pemimpi yang akan terus berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya.
Komentar juri, Inu Yana:
Cerita yang dikemas begitu manis namun memiliki ending yang miris. Rasanya pengen peluk si tokoh utama dan bilang, “Nggak papa. It’s oke, Sayang.”