Merdeka?
Oleh: M Indah
Terbaik ke-7 Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”
Dari kaca spion dalam, Awe mengamati Jiibii yang terus sibuk memutar ponsel ke kanan, kiri, depan, dan belakang. Perempuan berambut pendek model bob seperti anggota pasukan pengibar bendera itu tiada lelah mengabadikan semua sudut jalan yang mereka lewati. Sesekali selebgram yang bernama lengkap Gemerlap Bintang itu mengadakan siaran langsung di akun media sosialnya jika mereka melewati tempat terkenal di Tokyo. Baru dua menit yang lalu Jiibii menyudahi sesi siaran langsungnya setelah mobil Honda Odyssey yang mereka tumpangi meluncur menjauhi Rainbow Bridge.
Di sebelah perempuan itu, Arena Parikesit—sang suami—duduk tenang dengan mata terpejam. Awe tahu lelaki berbadan tegap yang mengenakan kaos merek ternama itu tidak tidur. Mungkin dia hanya lelah melihat tingkah istrinya yang terus berputar seperti roda mobil dinas kedutaan yang mereka gunakan itu. Anehnya, Arena langsung terlihat bersemangat saat Jiibii memberi isyarat mereka sedang siaran langsung. Sama sekali tak tampak gurat letih di wajah pria berkumis tipis itu. Begitu selesai, dia kembali layu seperti kangkung yang terlalu lama ditumis. Sungguh pemain sandiwara yang ulung.
Tiba-tiba, Arena membuka mata dan melihat ke kaca spion dalam. Awe yang tepergok tengah memperhatikannya langsung mengulas senyum salah tingkah sambil mengangguk kecil.
“Capek, ya, Pak?”
“Risiko punya istri selebgram, ya, gini. By the way, panggil ‘bang’ aja, lah. Jangan terlalu formal. Kayaknya kita nggak beda jauh.” Awe mengangkat jempol kanan sambil mengangguk.
“Lagi studi lapangan apa gimana ini, Bang?” Sejak menjemput mereka di Stasiun Tokyo tadi pagi, Awe memang belum mengobrol sama sekali dengan Arena karena Jiibii mendominasi obrolan dengan berbagai macam pertanyaan. Sekarang Awe mencoba menciptakan suasana nyaman dengan obrolan ringan.
“Semacam itulah.”
“Sambil jalan-jalan, ya, Yang? He he ….” Arena hanya tersenyum menanggapi ucapan istrinya yang sudah kembali sibuk dengan ponselnya.
“Udah dari mana aja, Bang?”
“Baru dari Osaka, Kyoto, Nara, dan sekitarnya.”
“Wah, mampir KJRI Osaka juga, Bang?” Arena hanya mengangguk kecil.
“Hebat banget, masih muda udah jadi tamu Bapak.” Awe berusaha membuat pujiannya terdengar setulus mungkin.
“Papa mertuaku itu bestie-an ama anak Jen—” Dari spion kaca dalam, Awe melihat Arena menggenggam erat jemari kiri Jiibii dan itu membuat selebgram sekaligus pemilik merek pakaian JiiBii itu menghentikan ucapannya.
Terjawab sudah. Pagi tadi, ketika menerima perintah dari kantor untuk menemani tamu ring satu, Awe sedang dalam perjalanan ke Sekolah Indonesia Tokyo, tempat pelaksanaan upacara bendera dalam rangka memperingati kemerdekaan RI dan pasar rakyat selepas upacara. Di sana, dia akan menjadi petugas pembaca proklamasi pada upacara pertama yang diikutinya sebagai staf kedutaan. Lalu, di pasar rakyat, dia akan membantu istrinya menjual lima ratus porsi mie ayam dan bakso.
Akan tetapi, dia harus berganti rencana dan kelabakan menghubungi anak baito* yang seharusnya menjaga toko kelontong yang menjual segala bumbu dan bahan makanan Asia yang mereka kelola. Biarlah toko itu buka sore, ketika baito sif sore sudah datang. Padahal, biasanya toko ramai pengunjung yang mampir setelah mengikuti rangkaian acara di KBRI. WNI yang berkumpul dari berbagai daerah di wilayah Kanto** pasti tidak menyia-nyiakan kesempatan berbelanja. Sekalian mampir karena sudah datang ke Tokyo, begitu biasanya alasan mereka. Apalagi, hari ini adalah akhir pekan.
“Mas Agus sudah lama di kedutaan?” Pertanyaan Arena membuat Awe kembali fokus menyetir.
“Panggil Awe aja, Bang. Inisial nama lengkap, kayak Kak Jiibii, Agus Wicaksana jadi Awe,” terang Awe ketika melihat kerutan di dahi Arena saat dia menyebut nama Awe. “Bulan depan pas setahun, Bang. Itungannya masih baru.”
Arena mengangguk-angguk sambil mendengarkan penjelasan Awe. “Dulu kuliah di Tokyo University?”
“Tokyo University of Foreign Studies, Bang. Saya anak bahasa.”
Arena ber-oh panjang. “Baru lulus?”
“Udah lima tahun lalu. Sebelum di kedutaan, saya kerja di perusahaan Jepang, Bang. Tapi, nggak lama trus berhenti.”
“Loh, kenapa, Mas? Aku denger gajinya gede?” Kali ini Jiibii yang bertanya.
“Iya, Kak. Tapi, bebannya juga berat. Apalagi, saya yang muslim ini sering harus ikut pesta dengan klien dan kadang dipaksa minum alkohol.” Obrolan terus mengalir dengan Awe sebagai topik utama.
“Nggak apa-apa sih, Mas. Biar jadi sopir yang penting cukup untuk keluarga. Eh, nanti aku boleh foto di depan mobil nggak, Mas?”
“Bii ….” Jiibii terkejut mendengar suara Arena yang rendah dan penuh ancaman. Bahkan, Awe dapat merasakan ketegangan di deret kursi tengah itu.
“Emm …, Mas, bisa mampir minimarket nggak?” tanya Jiibii sambil merapikan blus putih tanpa lengan yang dikenakannya.
“Lima menit lagi sampai, Kak. Nanti kita mampir yang di Minato Mirai saja.”
“Tapi kalo di tempat wisata gitu harganya suka dimahalin nggak, sih?”
“Enggak, sama saja.”
“Ngapain ke minimarket, Yang?” Arena membuka suara.
“Beli cemilan, lah, sama makanan buat Mas Awe. Eh, kita makan malam onigiri*** lagi aja, ya, Yang?”
“Ada restoran Chinese yang ramai dan tidak perlu reservasi di Yokohama Landmark Tower. Kalau mau, bisa saya reservasi-kan biar nggak nunggu lama nanti.”
Jiibii memandang Arena dengan penuh permohonan. “Onigiri aja, ya, Yang? Jadi waktu kita buat keliling lebih banyak. Ini aja sekarang udah jam satu, loh.”
Setelah memarkir mobil, Awe mengantarkan pasangan itu ke 7-Eleven di Landmark Plaza. Selama pasangan itu mengelilingi berbagai tempat, Awe menunggu di taman sambil terus memantau istri dan timnya, dua anak gadis dan satu anak baito, yang mengurusi penjualan di pasar rakyat.
Pasangan tamu itu memutuskan untuk kembali ke hotel di Tokyo pada pukul sembilan malam. Kali ini Awe menyetir dengan tenang dan hati-hati sebab kedua tamu itu tertidur pulas selama perjalanan dan bagasi penuh dengan barang belanjaan yang tidak boleh rusak, pesan tegas Jiibii.
Mereka tiba di hotel pukul setengah sebelas malam karena jalanan sedikit macet. Setelah Awe selesai membantu mengeluarkan semua barang dari bagasi, Jiibii mengulurkan dua lembar uang seribu yen sambil mengucapkan terima kasih.
“Jangan lupa besok lebih pagi lagi. Soalnya aku nggak mau kesiangan nyampe Disneyland. Oke? Merdeka!” Jiibii memekikkan kata terakhir dengan tangan kanan mengepal dan tangan kiri sibuk menjaga keseimbangan kamera ponselnya.
Awe hendak mengembalikan uang yang dia terima, tetapi Jiibii memaksanya sehingga dia menerima dengan senyum bisnis yang masih sempurna. Tak lupa Awe sedikit mengangkat kepalan tangan kanannya. Sambil mengendarai mobil untuk dikembalikan ke kantor, Awe mendesah kecil. Bayangan tidur seharian di hari Minggu yang tenang, yang menggelembung dalam kepalanya, tiba-tiba meletus dengan suara ‘pop’ ringan. Awe mengembuskan napas lalu bergumam, “Merdeka?”(*)
Tangerang, 22 Agustus 2024
Catatan kaki:
*Baito: berasal dari bahasa Jerman ‘arbeit’ yang diserap ke dalam bahasa Jepang dan berarti ‘pekerja paruh waktu’ atau ‘pekerjaan paruh waktu’. Kata lengkapnya adalah ‘arubaito’.
**Kanto: wilayah di timur pulau Honshu yang terdiri dari 6 prefektur (Ibaraki, Tochigi, Gunma, Saitama, Chiba, Tokyo, dan sebagian Kanagawa).
***Onigiri: nasi kepal Jepang yang biasanya berbentuk segitiga dengan macam-macam isi.
Komentar juri, Berry:
Sebuah slice of life yang menarik dengan pesan yang cukup menyentak. Si tokoh yang merayakan Hari Merdeka di Jepang nyatanya masih bisa merasakan “penindasan”. Atasannya yang sewenang-wenang menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi, hingga selebgram yang tanpa persetujuan memperlakukannya sebagai sopir pribadi yang bisa mengantarnya jalan-jalan keliling Jepang. Menjadi lebih ironis karena si pribumi ini menjadi korban dari perbuatan orang dari bangsanya sendiri.