Merdeka, Upacara, Bendera, Tentara
Oleh: Erien
Terbaik ke-8 Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”
Merdeka senang sekali saat tahu bahwa besok, tanggal 17 Agustus, ada upacara di kantor kecamatan. Bersama teman sekelas, dia akan mewakili sekolah. Saking senangnya, Merdeka sudah meminjam baju seragam tetangga yang berwarna lebih merah dan lebih putih dari seragamnya. Maklum saja, baju Merdeka adalah lungsuran kakaknya. Lipatan kerah sudah berburai benangnya. Jejak pulpen menempel bak tompel di saku–tidak hilang meski sudah digosok ibunya menggunakan belimbing wuluh.
Pukul empat pagi Merdeka sudah bangun meski dia baru bisa tidur pukul satu dini hari, itu pun setelah dia dimarahi bapaknya. Merdeka tidak sabar ingin segera upacara. Dia segera memasak air, mencuci piring, menyapu lantai, membersihkan kamar mandi, dan menggoreng telur untuk sarapan. Ibunya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Merdeka sudah siap saat jarum jam di angka enam. Sebotol air sudah disiapkan untuk bekalnya.
“Doain Merdeka, ya, Bu. Semoga hari ini benderanya macet.”
“Hush!” Ibu Merdeka mendelik mendengar doa anaknya. “Kenapa berdoa kayak gitu?”
Merdeka tertawa sambil mencium tangan ibunya. “Iya, maaf. Kan, seru, Bu.”
“Ada-ada aja.” Ibu Merdeka membekali Merdeka satu nasihat. “Jangan pulang sebelum upacara selesai! Penuhi kewajibanmu.”
Merdeka mengangguk. Dia pun berjalan menuju kantor kecamatan. Letaknya tidak jauh dari sekolah. Perlu waktu sepuluh menit berjalan kaki ringan untuk sampai ke sana. Merdeka berjalan pelan karena tidak ingin berkeringat dan membuat bajunya basah. Apalagi sampai berbau. Dia lupa menggosok ketiaknya dengan batu tawas milik ibunya. Maka, dua kuntum melati liar diremas lalu digosok ke masing-masing ketiak. Merdeka tersenyum geli karena idenya sendiri.
Sampai di lapangan, ternyata sudah ramai orang. Di tengah, sebagian sudah berbaris, sebagian lagi asyik jajan dan mengobrol di pinggir lapangan. Ternyata, banyak sekali pedagang makanan di pinggir lapangan. Pasti mereka diundang oleh Pak Camat untuk meramaikan upacara 17 Agustus ini. Barisan bapak-bapak hansip, petani, pegawai kantor kecamatan, lurah-lurah dan jajarannya, dan barisan anak-anak sekolah adalah yang paling cepat rapi. Sementara, barisan pedagang adalah yang paling telat. Merdeka langsung bergabung di barisan teman-temannya. Tak lama, Pak Camat datang dan langsung menuju podium.
Upacara pun dimulai.
Merdeka tampak tenang sampai akhirnya petugas pengibar bendera keluar dengan langkah tegap. Pembawa bendera adalah anak pemilik toko beras di pasar yang pernah menolak permintaan hutang ibu Merdeka. Merdeka mengenalinya. Dia berulang kali melongok dari balik bahu temannya. Mulutnya komat-kamit.
“Semoga macet. Semoga macet.” Merdeka berdoa sambil berjinjit melongok.
Bendera dibentangkan. Dua pengerek tali pun bergerak pelan saat lagu Indonesia Raya mulai berkumandang. Pelan tapi pasti, bendera itu pun naik.
Saat paduan suara sampai pada lirik ‘Merdeka, merdeka!’, bendera berhenti. Posisinya ada di tiga perempat tiang. Hentakan berulang kali dari dua pengerek yang wajahnya memucat hanya bisa menggoyang bendera, tapi tidak mengantar sampai puncak.
Lagu kebangsaan pun mengecil dan hilang diiringi raut kebingungan semua orang.
Merdeka terlihat sangat senang. Lirik saat bendera berhenti bagaikan mantra pemanggilnya. Dia berlari ke arah tiang dengan gembira. Dua orang panitia yang berusaha menghentikannya dilarang oleh satu polisi yang berada di dekat Pak Camat. Merdeka pun mendekati tiang.
Lapangan menjadi sepi. Semua mata menatap Merdeka.
Merdeka memanjat pelan tiang bendera. Dia sangat cekatan. Itu adalah hasil latihan selama dua bulan memanjat tiang bendera di sekolahnya. Wajahnya penuh senyum.
Perihal bendera macet dan penyelamat bendera yang memanjat tiang dilihat Merdeka di ponsel kakaknya. Merdeka takjub ketika anak yang naik tiang bendera itu dijanjikan akan masuk menjadi tentara. Dan dia mau juga. Dia mau jadi tentara.
Angin berembus pelan. Merdeka memejam sejenak merasakan sejuk di pertengahan tiang. Meski sedikit bergoyang, dia tak gentar. Bahkan, Merdeka membuka mata lalu memandang sekeliling dan mendapati hampir semua orang memperhatikannya, termasuk Pak Camat yang turun dari podium.
Dia mengenali atap sekolah dan atap rumahnya. Seekor burung melintas di dekat tiang dan meliriknya dengan kebingungan. Merdeka nyengir. Dia kembali memanjat hingga mendekati bendera yang tak bergerak. Dengan satu tangan berpegang pada tiang, dia memeriksa bendera dan tali. Benar saja, talinya terbelit dan entah kenapa tidak bergerak. Dalam sekali sentak, tali terurai. Bendera berkibar meski belum bergerak naik lagi.
Tepuk tangan bergemuruh riuh.
Merdeka meluncur turun. Sangat mudah, jauh lebih mudah daripada naik. Di bawah, satu polisi dan dua panitia sudah menanti. Mereka membawa Merdeka ke barisan paling depan.
Lagu Indonesia Raya kembali berkumandang. Petugas pengerek, dengan wajah semringah, diam menanti lagu sampai pada lirik “Merdeka, merdeka!”. Ketika lirik itu terdengar, mereka pun dengan semangat kembali mengerek bendera.
Tanpa diduga, tali itu putus. Bendera melayang terbang dan hinggap di bahu Merdeka yang berbaris paling depan. Wajahnya tertutup sempurna. Spontan, dia langsung menyingkirkan bendera dan kembali mendapati semua orang memandanginya.
“Ini.”
Kain merah putih yang disodorkan Merdeka diraih petugas pembawa bendera. Kemudian, lagu kebangsaan dinyanyikan kembali dengan banyak nada yang lari. Mungkin sebagian dari mereka sudah capek atau kering tenggorokannya.
Upacara berjalan baik hingga akhir. Ada tiga orang yang pingsan. Satu kepanasan, satu belum sarapan, satu lagi kena sikut teman sebelahnya saat aba-aba hormat kepada Pak Camat. Merdeka bertahan dalam posisi siap hingga upacara berakhir dan barisan dibubarkan.
Setelah upacara selesai, diadakan lomba. Namun, Merdeka tidak antusias. Tidak ada yang memanggil seperti anak penyelamat bendera di ponsel kakaknya. Jangankan janji menjadi tentara, ucap terima kasih saja tidak ada. Pak Camat langsung pergi begitu saja. Panitia mempersiapkan lomba. Tidak ada yang peduli.
Merdeka mendekati tiang bendera dan mendongak. Matanya menangkap Merah Putih yang berkibar dengan gagahnya. Seekor burung melintas dan menjatuhkan tahi ke dahi Merdeka bak pesawat tempur menjatuhkan bomnya. Satu umpatan keluar tanpa sengaja dari mulut Merdeka. Satu calon tentara terombang-ambing nasibnya.
Di salah satu sudut lapangan, seorang ibu meninggal saat berlomba. Dia tersedak pisang berlumur susu kental manis yang diletakkan di antara paha dan dijejalkan ke mulut oleh pasangannya.
Penonton tertawa.(*)
Kotabaru, 22 Agustus 2024
Erien, insyaAllah penulis yang merdeka.
Komentar juri, Freky:
Keunikan cerita ini terletak pada keinginan tokohnya, Merdeka, yang mengharapkan sebuah insiden selama upacara bendera peringatan 17 Agustus berlangsung. Namun keinginannya itu bukanlah sekadar sebuah keinginan nyeleneh melainkan cara yang terpikirkan oleh pikiran anak-anaknya sebagai sebuah cara untuk mencapai impian. Sebuah cerita yang layak untuk dinikmati dan direnungkan.